Mahkamah Konstitusi Taiwan pada Mei lalu membuka jalan bagi kesetaraan pernikahan di Taiwan dengan menghapuskan rumusan hukum bahwa pernikahan dilakukan “antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.”
Putusan penting tersebut menyatakan bahwa sempitnya rumusan pernikahan tidak sesuai dengan konstitusi dan memberi waktu dua tahun kepada parlemen untuk mengubah undang-undang yang selama ini berlaku, atau mengajukan undang-undang baru yang mengatur pernikahan sesama jenis. Jika parlemen gagal mengambil tindakan, pasangan sesama jenis akan secara otomatis diizinkan menikah. Sebelumnya parlemen telah mengajukan rancangan undang-undang yang menyetujui pernikahan sesama jenis namun hingga saat ini belum berhasil.
Putusan Taiwan, memberlakukan batas waktu yang jelas, bukan hanya merupakan kemenangan bagi pendukung kesetaraan gender di Taiwan, melainkan juga sebuah perkembangan berarti di Asia, di mana tak satu pun negara membolehkan pernikahan sesama jenis.
Kasus ini diajukan melalui dua petisi – satu oleh Kota Taipei, setelah digugat karena gagal merilis izin menikah bagi pasangan sesama jenis. Petisi lain diajukan oleh Chi Chia-wei, seorang aktivis yang menggugat batasan hukum perdata tentang pernikahan.
Kesetaraan pernikahan di Kolombia (2016) dan Afrika Selatan (2006) mengikuti jalur yang sama, dengan mahkamah konstitusi di masing-masing negara memberikan batas waktu bagi parlemen untuk memberlakukan undang-undang tersebut. Pada 2007, Mahkamah Agung Nepal menginstruksikan pemerintah untuk membentuk sebuah komite guna merumuskan undang-undang tentang pernikahan sesama jenis. Meski demikian, sampai saat ini rancangan undang-undang terkait belum diajukan. Nepal adalah negara kesepuluh di dunia yang mencantumkan perlindungan bagi warga lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), ke dalam konstitusi tahun 2015.
Putusan ini adalah tonggak sejarah dalam perjalanan menuju kesetaraan bagi kalangan LGBT di Taiwan, yang menghadapi stigma sosial dan budaya, serta diskriminasi. Meski Taiwan telah mengambil langkah maju yang signifikan, masih ada sejumlah hambatan sosial dan hukum yang kuat menuju kesetaraan di wilayah Asia. Sebagai contoh, pada 2014 Mahkamah Agung Singapura menolak peninjauan kembali undang-undang sodomi, yang berasal dari era penjajahan, sementara warga LGBT di Indonesia menghadapi serangkaian sentimen homofobia, sejumlah penahanan, dan hukuman cambuk di hadapan publik atas dua laki-laki gay di Aceh. Negara-negara lain di Asia sebaiknya segera mengikuti contoh Taiwan dan bergabung dalam gerakan global demi penghapusan diskriminasi dan penegakan hak-hak kesetaraan bagi setiap manusia.