(New York) – Pemerintah Indonesia harusmembatalkan tuntutan “makar” berlatar politis terhadap lima aktivis Papua yang didakwa bersalah pada 16 Maret 2012, dan harus membebaskan mereka segera, demikian Human Rights Watch hari ini.
Pengadilan negeri Jayapura, ibukota provinsi Papua, menghukum 5 aktivis dan menjatuhkan vonis 3 tahun penjara karena pernyataan yang mereka kemukakan pada Kongres Rakyat Papua pada Oktober 2011. Saat itu demonstrasi dibubarkan secara brutal oleh pihak berwenangIndonesia, mengakibatkan tiga warga Papua tewas. Lima aktivis kemudian ditangkap pada 16 Maret: Selpius Bobii, aktivis sosial media, August Sananay Kraar, pegawai negeri sipil,Dominikus Sorabut, pembuat film,Edison Waromi, mantan pesakitan politik, dan Forkorus Yaboisembut, salah satu kepala suku Papua.
“Jika pemerintah Indonesia ingin memberi contoh yang baik, maka mereka harus membebaskan para pesakitan ini sebagai simbol komitmen akan kebebasan berekspresi,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia dari Human Right Watch. “Tapi, pemerintah malah membubarkan Kongres Papua dan menahan 5 aktivis tak bersalah, sementara pihak-pihak yang bertanggung-jawab terhadap kekerasan itu dibiarkan bebas.”
Pada 19 Oktober 2011, di Jayapura, pasukan keamanan Indonesia bertindak secara brutal saat membubarkan Kongres Rakyat Papua, berlangsung tiga hari, yang mendukung kemerdekaan Papua, demikian Human Right Watch.Setelah Yaboisembut, seorang pemimpin kongres, membacakan Deklarasi Kemerdekaan Papua 1961, polisi dan tentara Indonesia menembakkan peluru peringatan untuk membubarkan sekitar 1,000 peserta Kongres. Pasukan keamanan itu menggunakan tongkat dan bahkan beberapa senapan ke para demonstran, yang akhirnya membunuh sedikitnya tiga orang dan melukai lebih dari 90 orang. Para saksi berkata demonstran terluka kena pukul di kepala dan beberapa lainluka tembak.
Setelah insiden itu, tujuhbelas polisi, termasuk Kapolda Jayapura, Imam Setiawandan tujuh bawahannya,dijatuhi hukuman peringatan untuk pelanggaran disiplin karena tidak memprioritaskan perlindungan terhadap warga sipil. Namun, tak ada tindakan serius terhadap para polisi atau personil militer untuk kemungkinan pelanggaran sewenang-wenang.
Pidana terhadap lima aktivis ini perlu diawasi secara serius, menurut Human Right Watch.Selama persidangan, tim pembela mengatakan bahwa polisi menahan terdakwa selama 24 jam pertama tanpa didampingi pengacara. Pembela juga menyatakan 5 aktivis ini dipukulpolisi saat berada di tahanan. Polisi-polisimenendang dada Yaboisembut dan memukul kepalanya dengan popor senapan. Sorabut juga bersaksi polisi memukul kepaladengan pistol dan menghantam badannya berkali-kali dengan senapan M-16. Kraar berujar polisi memukul kepaladua kali dengan pistol.
Human Right Watch kembali mengingatkanpemerintah Indonesia untuk segera melepaskan semua pesakitan politik dan mengizinkan organisasi hak asasi manusia dan jurnalis internasional untuk mendapat akses bebas ke Papua tanpa diawasi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu diamenden guna memastikan tak ada seorang pun yang dituntut atas perbuatan makar hanya karena mengungkapkan protes secara damai, menurut Human Rights Watch. Pasal karet tentang pidana “makar” melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan hukum HAM internasional. Padal 28(e) dalam UUD (Amendemen Kedua) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pasal 28(f) menetapkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2006, melindungi hak untuk kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai.
Human Rights Watch mengambil posisi netral atas klaim kemerdekaan di Papua. Namun, konsisten terhadap hukum internasional, Human Rights Watch mendukung hak setiap orang, termasuk mereka yang pro-kemerdekaan, untuk mengekspresikan pandangan politiksecara damai tanpa ada ketakutan ditangkap atau mengalami bentuk-bentukpenindasan.
“Mengirim para aktivis ke penjara atau menuduh mereka ‘makar’hanya akan memperkuat keyakinan rakyat Papua bahwa pemerintah Indonesia memakai hukum sewenang-wenenang untuk tujuan politis,”kata Pearson. “Dan saat pemerintah sibuk menuntut para demonstran damai, tampaknya tak ada waktu yang memadai untuk menyelidiki kekerasan terhadap para korban.”