Skip to main content

Indonesia/Malaysia: Akhiri Eksploitasi Upah Pekerja Sektor Domestik

Nota Kesepakatan Harus Jamin Upah Minimum Dan Awasi Ongkos Perekrutan

(New York) - Para pejabat Indonesia dan Malaysia yang tengah melakukan pertemuan di Kuala Lumpur hari ini, seharusnya memastikan bahwa revisi kesepakatan perburuhan yang masih tertunda akan mencakup upah minimum dan pengetatan pengawasan atas ongkos perekrutan. Demikian pernyataan Human Rights Watch hari ini. Pemerintah kedua negara sebelumnya telah mengisyaratkan persetujuan guna merevisi nota kesepakatan (MoU) yang ditandatangani pada tahun 2006 untuk mengijinkan pekerja rumah tangga memegang paspor mereka sendiri dan mendapat cuti mingguan. Namun pembicaraan seputar upah minimum belum mencapai kata sepakat.

Pertemuan hari ini merupakan persiapan dari pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak yang dijadwalkan berlangsung minggu depan. Selama pertemuan persiapan ini para pejabat berupaya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang sering timbul antara kedua negara termasuk batas-batas negara dan pekerja migran sektor domestik.

"Yang sangat memalukan adalah, pekerja rumah tangga Indonesia yang sudah mengabdikan waktu dan tenaganya untuk keluarga Malaysia sehari penuh justru dibayar dengan upah sangat rendah," kata Nisha Varia, peneliti senior masalah hak-hak perempuan di Human Rights Watch. "Perilaku diskriminatif itu semakin jelas ketika pekerja rumah tangga dari negara lain secara otomatis menerima upah yang lebih tinggi," lanjutnya.

Sebagian besar dari 300 ribu pekerja sektor domestik di Malaysia adalah pekerja yang berasal dari Indonesia. Kebanyakan mereka bekerja hingga 18 jam perhari, tujuh hari seminggu, dengan upah sebesar 400 - 600 ringgit (1,1 - 1,6 juta rupiah) perbulan. Pada umumnya upah pekerja rumah tangga juga dipotong selama enam bulan pertama untuk membayar ongkos perekrutan agen tenaga kerja yang sudah menyalurkan mereka ke tempat kerja.

Dengan adanya potongan upah untuk membayar ongkos perekrutan itu, pekerja rumah tangga Indonesia hanya mendapat gaji sebesar 300 - 450 ringgit (840 ribu -1,2 juta rupiah) perbulan untuk masa kontrak kerja selama dua tahun.

Dengan tidak adanya peraturan pemerintah, agen tenaga kerja dan majikan pada umumnya mematok upah pekerja rumah tangga berdasarkan standar yang berlaku di negara asal dan bukan berdasarkan latar belakang pendidikan dan pengalaman mereka. Pekerja rumah tangga asal Filipina memperoleh gaji paling tinggi sebesar 400 dolar Amerika karena persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah Filipina. Dibandingkan dengan negara lain yang menerima tenaga kerja Indonesia dalam jumlah banyak, Malaysia merupakan negara yang menetapkan upah terendah. Sebagai contoh, Arab Saudi mewajibkan majikan untuk memberi upah sebesar 800 rial (1,9 juta rupiah) perbulan tanpa potongan apapun.

Malaysia tidak memiliki standar upah minimum secara nasional, namun Kementerian Tenaga Kerja negara tersebut sedang melakukan penelitian untuk memperkenalkan mekanisme upah minimum terhadap pekerja sektor swasta. Serikat Pekerja Malaysia sendiri mendorong diterapkanya penetapan upah minimum sebesar 900 ringgit (2,5 juta rupiah) sementara pemerintah Malaysia menetapkan siapa saja yang berpenghasilan 750 ringgit (2,1 juta rupiah) perbulan masuk dalam kategori mereka yang berada di bawah garis kemiskinan nasional.

"Jika seseorang sangat membutuhkan pekerjaan, mereka biasanya tidak memiliki posisi tawar yang tinggi untuk menetapkan syarat-syarat yang layak atas pekerjaannya," ujar Varia. "Persoalan yang dihadapi oleh para pekerja Indonesia ini merupakan contoh nyata bahwa pemerintah harus melakukan campur tangan untuk menanggulangi perilaku pasar yang berdampak pada kondisi kerja yang diskriminatif dan eksploitatif," ungkap Varia.

Keluhan terbanyak yang disampaikan oleh pekerja rumah tangga adalah berkisar pada upah yang tidak dibayar dan mencuatnya berbagai kasus penyiksaan yang mendorong pemerintah Indonesia untuk menunda pengiriman tenaga kerja ke Malaysia pada bulan Juni 2009 hingga adanya mekanisme perlindungan yang jelas. Setelah melalui beberapa perundingan yang berlarut-larut, Indonesia dan Malaysia masih belum sepakat atas tuntutan Indonesia mengenai penetapan standar upah minimum dan dalam rancangan kesepakatan saat ini terdapat pasal yang rentan terhadap penyalahgunaan dimana majikan diperbolehkan memberi uang pengganti jika pekerja tidak mengambil hari libur. Di samping itu Human Rights Watch juga menekankan bahwa ongkos perekrutan masih merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian serius.

"Memberikan perlindungan terhadap pendapatan para pekerja sektor domestik bukan hanya meningkatkan gaji bulanan mereka saja tetapi juga mengakhiri praktek pemotongan upah untuk membayar ongkos perekrutan," kata Varia. "Kebiasaan ini mendorong timbulnya kesewenangan dan kerja paksa. Baik Indonesia dan Malaysia telah gagal melakukan pengawasan terhadap agen penyalur tenaga kerja yang menggunakan pekerja migran perempuan untuk memperoleh keuntungan," pungkasnya.

Penyalur tenaga kerja di Indonesia mematok harga tinggi atas jasa untuk menyalurkan tenaga kerja ke tempat kerja mereka. Sering kali mahalnya harga tersebut sulit diterima oleh akal sehat. Karena pada umumnya pekerja rumah tangga tidak mampu membayar harga tersebut, biasanya agen penyalur menawarkan "pinjaman" kepada calon pekerja. Pinjaman tersebut kemudian dialihkan kepada agen penyalur di Malaysia atau majikan yang kemudian memotong gaji pekerja selama enam atau tujuh bulan untuk membayar pinjaman tersebut.

Pekerja rumah tangga yang pada umumnya berasal dari keluarga miskin dan terlilit oleh berbagai kebutuhan dasar, tidak memiliki pilihan selain menerima persyaratan-persyaratan ini. Sistem ini turut serta membuat para pekerja rumah tangga terperangkap dalam kondisi kerja yang memprihatinkan akibat pembatasan ruang gerak oleh majikan yang khawatir apabila pekerja melarikan diri sebelum melunasi hutangnya. Dalam kasus lain, pekerja rumah tangga ditekan oleh agen penyalur untuk tetap bekerja pada majikan yang sewenang-wenang sampai hutang mereka lunas, atau terpaksa harus bertahan dalam kondisi tersebut sampai akhirnya mereka mampu mengirim uang ke kampung halaman.

Pada tanggal 4 Maret lalu Human Rights Watch mengeluarkan pernyataan yang mengungkap berbagai kekurangan yang terdapat dalam revisi MoU serta memuat usulan penyempurnaan yang harus dilakukan. Di antara usulan tersebut adalah komitmen untuk memberikan perlindungan yang setara kepada pekerja rumah tangga dibawah undang-undang ketenagakerjaan Malaysia, dalam pasal XII Undang-Undang Buruh 1955; pemberian kontrak baku yang menjamin perlindungan kerja minimum termasuk waktu istirahat selama 24 jam perminggu, upah minimum yang adil, pembatasan waktu kerja mingguan serta keuntungan lain; peraturan yang lebih ketat untuk mengatur agen penyalur, termasuk menghilangkan kebiasaan pemotongan gaji untuk membayar ongkos perekrutan dan mengadakan mekanisme untuk mengawasi dan menerapkan peraturan-peraturan ini.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country