(Jakarta) – Pemerintah Indonesia tanpa menunda lagi harus segera mengakhiri bisnis-bisnis milik militer , demikian disampaikan oleh Human Rights Watch bersamaan dengan penerbitan laporan edisi bahasa Indonesia setebal 159 halaman tentang usaha swadana militer di Indonesia.
“Harga Selangit: Hak Asasi Manusia Sebagai Ongkos Kegiatan Ekonomi Pihak Militer Indonesia” telah diterbitkan dalam bahasa Inggris pada bulan Juni 2006, berdasarkan penelitian yang dilaksanakan dari tahun 2004 hingga tahun 2006. Penelitian ini menggambarkan praktek panjang aparat militer Indonesia dalam membiayai diri sendiri dan menyajikan sebuah ‘anatomi’ tentang hasrat bisnis-bisnis yang tersebar luas tersebut. Laporan ini juga memberikan beberapa contoh keterlibatan aparat militer Indonesia dalam bisnis-bisnis yang menimbulkan dampak yang berbahaya bagi masyarakat sipil. Laporan ini juga memberikan rekomendasi untuk melaksanakan reformasi yang sangat dibutuhkan, sesuai dengan mandat resmi pemerintah untuk mengambilalih bisnis-bisnis militer.
"Ketika edisi bahasa Inggris ‘Harga Selangat’ diterbitkan, beberapa pejabat tinggi Indonesia telah menyatakan persetujuan mereka bahwa keterlibatan aparat militer dalam ekonomi telah memperlemah kontrol sipil dan memacu pelanggaran HAM, kriminalitas dan korupsi,” kata Lisa Misol, Peneliti Senior di Program Bisnis dan HAM di Human Rights Watch dan penulis laporan ini. “Namun hampir tidak ada tindakan apapun yang telah mereka ambil dalam hal ini.”
Undang-undang tahun 2004 melarang kegiatan komersial militer dan meminta pemerintah Indonesia untuk mengambilalih seluruh bisnis militer selambat-lambatnya pada tahun 2009. Pemerintahan President Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan niat mereka untuk mematuhi undang-undang tersebut dan mengakhiri bisnis-bisnis militer, namun tim antar-instansi yang dibentuk untuk menyusun rencana pengambilalihan bisnis-bisnis militer telah membuahkan hasil kecil saja sejak pembentukannya pada tahun 2005
Pada awalnya, pemerintah berjanji akan menerbitkan peraturan presiden untuk menerapkan undang-undang tersebut pada awal bulan November 2005; target tersebut kemudian dimundurkan ke dengan bulan April 2006, dan kemudian dimundurkan lagi ke bulan Agustus 2006. Pernyataan terbaru dari pejabat Indonesia menunjukkan bahwa akan ada penundaan-penundaan baru.
Pada tanggal 7 Februari, Letjen Sjafrie Sjamsoeddin, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan mengumumkan bahwa rancangan Peraturan Presiden hanya menunggu persetujuan. Namun dua hari kemudian, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengumumkan bahwa kantor kepresidenan telah mengembalikan rancangan tersebut untuk diperbaiki, tanpa menyebutkan perubahan-perubahan apa yang diharapkan. Tidaklah jelas kapan rancangan yang baru akan selesai.
“Parlemen memberikan batas waktu lima tahun untuk mengakhiri usaha swadana militer dan saat ini kita telah menghabiskan separuh dari waktu tersebut,” kata Misol. “Namun pemerintah belum mencapai hasil yang berarti; keputusan resmi untuk menerapkan undang-undang tersebutpun belum dikeluarkan. Sepertinya pemerintah hanya membuang-buang waktu saja dan berharap semua orang akan lupa terhadap undang-undang tahun 2004 tersebut.
Human Rights Watch meminta President Yudhoyono untuk mengambil posisi terdepan untuk memimpin keberhasilan reformasi militer, yang merupakan satu hal yang sangat mendasar untuk memperkuat institusi demokrasi dan perlindungan HAM.
Human Rights Watch juga meminta negara-negara yang memiliki kerjasama erat dengan pemerintah dan aparat militer Indonesia, termasuk Amerika Serikat dan Australia untuk memberikan tekanan kepada pemerintah Indonesia untuk bertindak cepat dalam upaya reformasi militer.
“Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan segera untuk menegaskan kontrol resmi terhadap bisnis-bisnis militer, dan President Yudhoyono harus menekankan tujuan ini," tegas Misol. “Selama Jakarta tidak serius bertindak untuk mengakhiri usaha swadana militer, niat dan kesungguhan dalam kebijakan reformasi militernya akan selalu dipertanyakan, baik di dalam maupun di luar negeri.”
Indonesia: Reformasi Bisnis Militer, Kertas Kerja Human Rights Watch tentang Latar Belakang Kasus.