(Jakarta) – Pemerintah daerah Jakarta telah menggusur secara paksa puluhan ribu masyarakat miskin ibukota dari rumah-rumah mereka, yang seringkali membuat mereka semakin miskin dan tidak memiliki tempat tinggal, demikian dikatakan Human Rights Watch dalam sebuah laporan yang mereka keluarkan hari ini.
Laporan sepanjang 112-halaman yang berjudul Masyarakat yang Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta ini menggambarkan bagaimana pemerintah menggunakan kekuatan yang berlebihan untuk mengosongkan wilayah kumuh perkotaan secara paksa. Laporan tersebut dibuat berdasarkan cerita dari banyak warga tergusur mengenai bagaimana pasukan keamanan pemerintah memukuli atau memperlakukan mereka secara tidak layak sebelum kemudian menghancurkan rumah dan harta benda mereka. Banyak warga yang mengatakan bahwa mereka hanya mendapat sedikit sekali peringatan sebelum rumah mereka dihancurkan sehingga mereka tidak punya cukup waktu untuk mengumpulkan harta benda mereka. Beberapa warga lain menggambarkan bagaimana pasukan keamanan menembaki masyarakat dan membakar bangunan selagi penghuninya masih berada di dalam bangunan tersebut.
Pemerintah Jakarta melakukan pembenaran atas sebagian besar penggusuran tersebut dengan mengklaim bahwa mereka berusaha untuk menegakkan ketertiban umum, memindahkan penghuni yang tidak sah dari lahan milik pribadi maupun tanah negara, atau mengosongkan lahan untuk proyek-proyek infrastruktur. Akan tetapi, pemerintah menggunakan kekuatan yang berlebihan untuk melaksanakan penggusuran tersebut dan gagal dalam menyediakan perumahan alternatif atau bantuan lain bagi mereka yang dipindahkan.
“Bukan saja pemerintah daerah telah gagal melindungi rakyatnya – dalam beberapa kasus pemerintah justru menyerang rakyat,” kata Sophie Richardson, wakil direktur Divisi Asia Human Rights Watch. “Pemerintah seharusnya menetapkan moratorium atas praktek penggusuran sampai pemerintah dapat bermusyawarah dengan kelompok masyarakat sipil dan mendapatkan prosedur penggusuran yang lebih baik.”
Penggusuran biasanya diorganisir oleh pejabat berwenang setempat, dan dilaksanakan oleh polisi dan petugas ketertiban umum setempat, serta militer. Kadangkala, kelompok-kelompok preman juga membantu pasukan pemerintah dalam melaksanakan penghancuran rumah, demikian menurut laporan tersebut.
“Sejumlah orang mengatakan kepada kami bahwa mereka diperlakukan dengan sangat kasar oleh petugas ketertiban umum sampai-sampai polisi harus ikut terlibat untuk melindungi mereka,” kata Richardson. “Penggunaan kelompok preman yang tidak terlatih dan tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk melaksanakan penggusuran berarti memberikan resiko tambahan yang cukup besar bagi warga sipil dalam hal kekerasan dan pelanggaran hak-hak mereka.”
Laporan tersebut juga menceritakan secara mendetail masalah yang dihadapi warga tergusur sebagai konsekuensi dari penggusuran yang mereka alami. Sejumlah besar warga sebelumnya memiliki toko kecil di lingkungan mereka dan karenanya mereka tidak hanya kehilangan rumah, tetapi juga mata pencaharian mereka. Pendidikan anak-anak seringkali terganggu sebagai akibat dari hilangnya buku-buku dan seragam sekolah, atau karena orangtua mereka tidak mampu lagi membayar biaya pendaftaran di sekolah baru.
“Pemerintah mengklaim bahwa pihaknya semata-mata berupaya menegakkan aturan-aturan ‘ketertiban umum’, tetapi mengingat kekacauan besar yang diakibatkan bagi ribuan warga yang digusur, respon tersebut jelas-jelas tidak proporsional dibandingkan dengan keuntungan ketertiban umum apapun,” kata Richardson. “Jauh dari meningkatkan kualitas hidup di Jakarta, pengusiran paksa ini justru hanyalah memindahkan masalah ke bagian lain dari kota dengan mengorbankan manusia yang terlibat.”
Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia secara agresif mengejar investor internasional, pengembang sektor swasta, dan perusahaan konstruksi untuk mengembangkan infrastruktur kota melalui forum seperti misalnya Pertemuan Infrastruktur di bulan November mendatang. Dalam laporannya, Human Rights Watch mendorong para investor dan pengembang asing untuk menuntut jaminan bahwa lahan untuk proyek infrastruktur diperoleh dengan cara-cara yang sesuai dengan kewajiban hak asasi manusia sebelum memasuki perjanjian kontrak dengan pemerintah nasional atau daerah.
“Investor dan pengembang internasional harus memperhatikan buruknya catatan Jakarta dalam hal memindahkan warganya dengan cara yang manusiawi,” kata Richardson. “Perusahaan asing yang terlibat dalam proyek-proyek semacam itu perlu memastikan adanya rencana mendetail yang telah dikembangkan untuk meminimalisir dampaknya terhadap warga, dan memastikan bahwa rencana tersebut benar-benar dijalankan.”
Penggusuran paksa yang terus berlangsung merupakan pelanggaran hukum nasional dan internasional. Indonesia baru-baru ini meratifikasi dua perjanjian internasional, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, yang melarang pemerintah campur tangan secara tidak sah dengan masalah rumah seseorang dan menjamin hak atas perumahan yang layak. Standar internasional yang melindungi individu dari penggusuran paksa berfokus pada perlindungan bagi setiap individu yang menempati sebuah rumah dan lahan dan tidak tergantung pada bentuk kepemilikan tertentu atas tanah atau rumah tersebut, maupun keabsahan tinggal mereka.
“Bergabungnya Indonesia dengan dua perjanjian hak asasi manusia yang penting ini merupakan faktor kunci terpilihnya Indonesia menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang baru,” kata Richardson. “Sekarang pemerintah harus memenuhi komitmen internasionalnya itu.”