Skip to main content

Saya menghabiskan dua hari terakhir di sebuah hotel di Jakarta, mendengarkan lebih dari 20 jam cerita tentang topik paling sensitif dan tabu di Indonesiapembantaian yang didalangi negara pada tahun 1965-66 yang menewaskan lebih dari 500.000 orang.

Simposium dua hari ini didukung pemerintah dan bertajuk "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan", menghadirkan forum publik yang belum pernah ada sebelumnya untuk membahas detail mengerikan dari kekejaman yang terjadi setengah abad lalu. Narasi resmi telah lama menganggap rangkaian pembunuhan tersebut sebagai respons yang dibenarkan dan heroik terhadap rencana Partai Komunis Indonesia untuk menggulingkan pemerintah, yang dimulai dengan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965.

Simposium dua hari dengan dukungan pemerintah bertajuk “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan,” menghadirkan forum publik yang belum pernah ada sebelumnya untuk membahas pembantaian 1965. © 2016 Andreas Harsono for Human Rights Watch

Simposium ini memungkinkan masyarakat Indonesia untuk mendengarkan kisah alternatif dari para penyintas pembunuhan maupun anggota keluarga korban. Mereka menggambarkan kejahatan yang dilakukan oleh pasukan keamanan pemerintah dan berbagai kelompok paramiliter di bawah kendali mereka, termasuk eksekusi massal dan penculikan, pemerkosaan merajalela, dan penahanan tanpa proses peradilan. Mereka menggambarkan bagaimana pemerintah memperpanjang ketidakadilan atas kejahatan tersebut melalui diskriminasi selama puluhan tahun terhadap sekitar 40 juta korban selamat yang dituduh "komunis" dan keturunan mereka. Simposium ini membangkitkan momen-momen yang lebih menyentuh dari film-film dokumenter pemenang penghargaan karya Joshua Oppenheimer tentang pembantaian tersebut, "Jagal" dan "Senyap."

Para pejabat pemerintah Indonesia di simposium tersebut tampak merasa tidak nyaman dengan pengungkapan berbagai detail dugaan pelanggaran berat hak asasi manusia di depan umum. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, mempertanyakan akurasi dari perkiraan setengah juta korban tewas dan mengesampingkan kemungkinan permintaan maaf resmi atas pelanggaran tersebut. Namun, Ketua Panitia Pengarah simposium tersebut, Letjen (Purn) Agus Widjojo, yang juga putra dari salah satu jenderal yang dibunuh pada September 1965, mendesak para peserta —yang sebagian besar laki-laki serta perempuan lanjut usia—untuk menceritakan kisah mereka. Agus Widjojo juga menepis berbagai tuduhan yang dilontarkan sejumlah kelompok nasionalis yang menentang pertanggungjawaban atas pembantaian tersebut, bahwa simposium tersebut merupakan upaya "untuk menghidupkan kembali komunisme."

Simposium tersebut berhasil menarik perhatian publik Indonesia. Tagar #Simposium65 dan #Ingat65 menjadi topik hangat di jagat Twitter, sementara televisi Indonesia menyiarkan liputan acara tersebut hampir tanpa henti beserta rangkaian kesaksian menyayat hati di seluruh negeri. Simposium tersebut merupakan langkah awal amat tentatif menuju apa yang diharapkan akan menjadi proses pengungkapan kebenaran yang bermakna, berkelanjutan, dan terbuka tentang peristiwa 1965-66, serta keadilan bagi para korban. Pertanyaannya tetap saja, apakah pemerintah Indonesia memiliki keberanian politik untuk mengupayakan keadilan tersebut. 

GIVING TUESDAY MATCH EXTENDED:

Did you miss Giving Tuesday? Our special 3X match has been EXTENDED through Friday at midnight. Your gift will now go three times further to help HRW investigate violations, expose what's happening on the ground and push for change.
Region / Country