Skip to main content

Bangladesh: Pengurangan Bantuan Luar Negeri Berdampak pada Pendidikan Anak-Anak Rohingya

Dukung Sekolah yang Dikelola Masyarakat untuk Siswa Pengungsi

Seorang anak perempuan Rohingya sedang berjalan melewati tempat penampungan di kamp pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh, 9 Maret 2025. © 2025 Abdullah Bawshore
  • Pengurangan bantuan kemanusiaan oleh Amerika Serikat dan donor asing lainnya telah memperburuk krisis pendidikan yang sudah terjadi pada 437.000 anak usia sekolah di kamp-kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh, di mana sekolah-sekolah yang melayani ratusan ribu anak tersebut telah ditutup.
  • Pengurangan bantuan tersebut telah menutup sejumlah pusat kegiatan belajar yang dikelola oleh sejumlah kelompok donor. Sekolah-sekolah berbasis masyarakat masih beroperasi dan dianggap lebih baik tetapi tidak mendapat pengakuan pemerintah dan karenanya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan dukungan donor, dan harus memungut biaya yang tidak terjangkau oleh banyak keluarga.
  • Para donor yang berupaya memulihkan layanan pendidikan semestinya berfokus pada perluasan dan dukungan sekolah-sekolah berbasis masyarakat yang didukung partisipasi dari para pengungsi Rohingya.

(Bangkok) – Pengurangan bantuan kemanusiaan oleh Amerika Serikat dan donor asing lainnya telah memperburuk krisis pendidikan yang sudah terjadi pada 437.000 anak-anak usia sekolah di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, kata Human Rights Watch hari ini. Pada tanggal 3 Juni 2025, Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menangguhkan ribuan “pusat kegiatan belajar” yang dijalankan oleh organisasi nonpemerintah di kamp-kamp pengungsi, karena kekurangan dana.

Satu-satunya pendidikan yang saat ini tersedia di kamp-kamp pengungsi Bangladesh adalah di sekolah-sekolah yang didirikan oleh komunitas Rohingya tanpa dukungan pihak luar atau pengakuan resmi. Pemerintahan sementara Bangladesh seyogianya segera mencabut pembatasan pendidikan bagi pengungsi Rohingya, seperti kurangnya akreditasi, dan kelompok donor seharusnya mendukung sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat. Pemerintah juga seharusnya mengizinkan anak-anak Rohingya untuk bisa mendaftar di sekolah-sekolah di luar kamp.

“Amerika Serikat dan pemerintah negara-negara donor lainnya mengabaikan pendidikan bagi anak-anak Rohingya setelah upaya pemblokiran panjang yang dilakukan pemerintah Bangladesh sebelumnya,” kata Bill Van Esveld, Direktur Muda Urusan Hak-Hak Anak di Human Rights Watch. “Pemerintahan sementara Bangladesh seharusnya menegakkan hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan, sementara para donor semestinya mendukung upaya komunitas Rohingya untuk mencegah hilangnya generasi pelajar.”

Pada bulan April dan Mei, Human Rights Watch berbincang dengan 39 siswa, orang tua, serta guru Rohingya di kamp-kamp di Distrik Cox’s Bazar, 22 orang di Pulau Bhasan Char yang juga menampung para pengungsi, dan 14 guru, pekerja kemanusiaan, dan pakar pendidikan, baik yang berasal dari Bangladesh maupun luar negeri. Sebagian besar pengungsi Rohingya melarikan diri dari penganiayaan dan kekejaman selama masa perang di Myanmar, tempat mereka sama sekali tidak memiliki kewarganegaraan dan hak-hak lainnya.

Pada tahun 2024, pemerintah Amerika Serikat menyediakan dana sebesar US$300 juta (Rp4,8 triliun) untuk menanggapi krisis pengungsi Rohingya, lebih dari setengah jumlah total yang diterima oleh lembaga-lembaga kemanusiaan. Namun pada Juni 2025, pemerintahan Presiden Donald Trump telah memangkas bantuan menjadi $12 juta (Rp194 miliar). Pada bulan April, sektor pendidikan kemanusiaan di Bangladesh – yang mendanai pusat-pusat kegiatan belajar – hanya memperoleh sekitar $22 juta (Rp356 miliar) dari anggaran tahunannya sebesar $72 juta (Rp1,1 triliun) dan secara signifikan mengurangi pengeluaran. Dari target 437.000 anak usia sekolah di kamp-kamp tersebut, sekitar 304.000 anak terdaftar di pusat-pusat kegiatan belajar, yang sekarang telah ditutup. UNICEF berencana membuka kembali sejumlah pusat kegiatan belajar yang didanai organisasi itu untuk kelas 6 ke atas pada tanggal 29 Juni, dan mendorong organisasi-organisasi nonpemerintah untuk membuka kembali kelas-kelas yang lebih rendah jika mereka bisa menemukan sumber pendanaan lain.

Sejumlah pengungsi Rohingya mengatakan, sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat menawarkan pendidikan yang lebih berkualitas daripada pusat-pusat kegiatan belajar. Mereka mempekerjakan guru-guru yang telah menyelesaikan sebagian besar pendidikan menengah atas mereka, dan kelas-kelas itu memiliki banyak guru yang mengkhususkan diri pada berbagai mata pelajaran.

Sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat, yang tidak mendapat dukungan dari pemerintah maupun pendanaan donor swasta, menarik biaya sekolah bulanan kepada orang tua mulai dari sekitar $0,50 (Rp8 ribu) untuk kelas 1 hingga $5 (Rp81 ribu) untuk kelas 12, yang menjadi hambatan bagi beberapa keluarga untuk mendaftarkan anak-anak mereka. Seorang pengungsi mengatakan: “Orang tua ingin menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang dikelola masyarakat tetapi tidak mampu membayar biayanya, jadi satu-satunya pilihan adalah [pusat kegiatan belajar]. Namun ketika mereka melihat bahwa anak-anak itu tidak belajar, mereka menyuruh anak-anak itu untuk bekerja.”

“Ada lebih dari 100 sekolah [yang dikelola masyarakat] [di kamp Cox’s Bazar],” kata seorang kepala sekolah. “Namun tidak ada [kelompok] kemanusiaan yang mendukung kami, karena otoritas Bangladesh tidak mengakui kami.”

Para guru mengatakan kurangnya sertifikasi, yang berdampak pada sejumlah pusat kegiatan belajar maupun sekolah yang dikelola masyarakat, juga merusak harapan siswa untuk membangun masa depan yang lebih baik saat mereka kembali ke Myanmar. “Jika berhasil naik ke kelas 12, tetapi tanpa ijazah, Anda harus memulai dari awal lagi,” kata seorang guru sekolah komunitas.

Kurangnya kesempatan pendidikan juga telah meningkatkan kerentanan anak-anak terhadap kekerasan yang terus meningkat oleh kelompok bersenjata dan geng kriminal di kamp-kamp Cox's Bazar, termasuk penculikan, perekrutan, dan perdagangan manusia. Penculikan anak-anak begitu sering terjadi pada akhir tahun 2024 sehingga banyak orang tua tak lagi mengizinkan anak-anak mereka meninggalkan tempat penampungan untuk pergi ke sekolah, ungkap sejumlah pengungsi. Beberapa pemantau perlindungan melaporkan terjadi 51 penculikan anak pada kuartal pertama tahun 2025.

Dengan ditutupnya pusat-pusat kegiatan belajar karena krisis pendanaan, terlepas dari apakah ada dana untuk membukanya kembali atau tidak, pemerintahan sementara Bangladesh dan para donor seharusnya mengakui dan mendanai sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat untuk meningkatkan kapasitas mereka, kata Human Rights Watch.

Pemerintahan sementara Bangladesh seyogianya mengakui sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat, sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa serta lembaga-lembaga bantuan semestinya melibatkan para pendidik Rohingya dalam peran pengambilan keputusan dan kepemimpinan, kata Human Rights Watch. Pengakuan terhadap sekolah-sekolah yang dikelola orang Rohingya dapat mendorong dukungan donor dan membantu mencapai pengajaran yang lebih baik bagi lebih banyak siswa.

Bangladesh seyogianya mencontoh negara-negara lain, termasuk Turki, yang telah memiliki pendidikan terakreditasi dan bersertifikat bagi anak-anak pengungsi, termasuk sekolah-sekolah yang dikelola pengungsi yang mengajarkan kurikulum tentang negara asal mereka.

Berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, semua anak memiliki hak atas pendidikan bermutu, tanpa diskriminasi, tanpa memandang status tempat tinggal atau migrasi mereka. Standar internasional untuk pendidikan pengungsi menganjurkan agar para pengungsi berpartisipasi secara bermakna dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program.

“Pemerintahan Bangladesh sebelumnya selama bertahun-tahun menutup akses pendidikan bagi ratusan ribu anak Rohingya karena mereka adalah pengungsi,” kata Van Esveld. “Pemerintahan sementara seharusnya menolak kebijakan-kebijakan lama serta mendukung pendidikan tanpa diskriminasi bagi semua anak.”

Latar Belakang

Mendidik Pengungsi Rohingya di Bangladesh

Bangladesh menampung lebih dari satu juta pengungsi Rohingya, 750.000 di antaranya melarikan diri dari kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, serta tindakan genosida yang dilakukan militer Myanmar pada tahun 2017. Sebanyak 150.000 orang Rohingya lainnya melarikan diri ke Bangladesh sejak pertengahan tahun 2024 untuk menghindari pertikaian antara militer Myanmar dan Tentara Arakan, kelompok etnis bersenjata yang kini menguasai sebagian besar Negara Bagian Rakhine di Myanmar. Karena orang Rohingya di Negara Bagian Rakhine hidup di bawah apartheid dan penganiayaan, akses anak-anak terhadap pendidikan telah terkikis dan kini hampir tidak ada, dengan ditutupnya sekolah-sekolah akibat konflik.

Penasihat keamanan nasional Bangladesh mengatakan kebijakan pemerintahan sementara adalah memulangkan orang-orang Rohingya ke Myanmar, meskipun penindasan dan kekerasan membuat pemulangan yang aman, bermartabat, dan sukarela menjadi mustahil. Pembatasan pemerintah Bangladesh terhadap pendidikan akan melemahkan kemampuan orang-orang Rohingya untuk membangun kembali kehidupan mereka ketika pemulangan dimungkinkan. “Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan di sini,” kata seorang pekerja pendidikan kemanusiaan, “ketika mereka kembali ke rumah, mereka akan memiliki kesenjangan pendidikan yang besar.”

Pemerintah Bangladesh telah melarang anak-anak pengungsi Rohingya yang tiba sejak 2017 untuk mendaftar di sekolah-sekolah negeri atau swasta, belajar bahasa Bangla, atau mempelajari kurikulum formal, untuk mencegah integrasi jangka panjang mereka di Bangladesh. Badan-badan kemanusiaan awalnya menanggapi larangan ini dengan mendirikan “pusat-pusat kegiatan belajar” di kamp-kamp Cox's Bazar tanpa kurikulum yang baku. Pada tahun 2018, guru-guru pengungsi Rohingya di kamp-kamp tersebut juga ikut mendirikan sekolah-sekolah informal yang dikelola masyarakat, yang mengajarkan kurikulum Myanmar.

Sejak saat itu, pusat-pusat kegiatan belajar tambahan didirikan di tempat penampungan dari siklon yang terbuat dari beton bertulang di Pulau Bhasan Char.

Pada tahun 2020, pemerintah Bangladesh mengizinkan pusat-pusat kegiatan belajar untuk memperkenalkan kurikulum Myanmar secara informal. Tempat-tempat itu ditutup selama pandemi Covid-19. Sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat terus melanjutkan kegiatan belajar mengajar hingga akhir tahun 2021, ketika pihak berwenang menutupsekolah-sekolah itu secara paksa karena tidak memiliki izin. Sekitar 100 sekolah yang dikelola masyarakat telah dibuka kembali sejak saat itu.

Sementara itu, pada awal tahun 2025, organisasi-organisasi kemanusiaan telah meningkatkan penggunaan kurikulum Myanmar dan memperkenalkan program belajar yang dipercepat untuk anak-anak putus sekolah, sebelum harus menghentikan kegiatan pada bulan Juni karena pemotongan dana oleh pemerintah Amerika Serikat.

Pusat-pusat kegiatan belajar yang dikelola oleh sejumlah organisasi nonpemerintah tersebut tidak memungut biaya sekolah. Pemerintah Bangladesh sebelumnya membatasi para guru Rohingya untuk bekerja sebagai “sukarelawan” dan mengharuskan pusat kegiatan belajar dikelola oleh staf profesional dari organisasi Bangladesh. Program pendidikan mereka dinegosiasikan antara PBB dan pemerintah. Di Cox's Bazar, guru “sukarelawan” Rohingya mengajar lima mata pelajaran, sementara warga negara Bangladesh mengajar bahasa Inggris. Pusat kegiatan belajar Bhasan Char hanya mempekerjakan guru-guru asal Rohingya, yang memperoleh penghasilan sekitar 13.000 taka Bangladesh (Rp1,7 juta) per bulan.

Sekolah yang dikelola masyarakat menarik biaya sekolah bulanan, dan para guru memperoleh penghasilan 3.000 hingga 8.000 taka (Rp400 ribu hingga Rp1 juta) per bulan. Sebagian besar dari guru ini memiliki pekerjaan utama di lembaga kemanusiaan, yang merupakan sumber pendapatan utama mereka. Pemerintahan sementara Bangladesh mengizinkan sekolah yang dikelola masyarakat untuk beroperasi sebelum pukul 8 pagi dan setelah pukul 4 sore, di luar jam operasional pusat kegiatan belajar.

Para siswa dan guru menggambarkan semakin tingginya angka ketidakhadiran di pusat kegiatan belajar, di mana lebih sedikit siswa yang melanjutkan ke tingkat sekolah menengah atas. Sejumlah pusat kegiatan belajar Cox's Bazar, sebelum adanya pemotongan anggaran dari Amerika Serikat, hanya memiliki 57 siswa di kelas 11, kelas tertinggi yang ditawarkan. Di Bhasan Char, tempat pihak berwenang telah memindahkan ribuan pengungsi Rohingya, sejumlah pusat kegiatan belajarnya memiliki 11.000 siswa, tetapi hanya 6 orang di kelas 9, kelas tertinggi yang tersedia di sana.

Sejumlah siswa dan guru Rohingya baik di sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat dan pusat kegiatan belajar, serta pakar pendidikan mengatakan kurangnya pendidikan terakreditasi atau jalur menuju pendidikan tinggi menyebabkan siswa putus sekolah sebelum menyelesaikan sekolah menengah. Para pengungsi menggambarkan anggota keluarga yang melarikan diri dari kamp pengungsian dan mengambil risiko perjalanan ke luar negeri yang berpotensi mematikan, termasuk untuk mendapatkan pendidikan formal di negara lain, atau mengirim uang untuk membayar biaya sekolah yang dikelola masyarakat di kamp tersebut.

Partisipasi Pengungsi dalam Program Pendidikan

Standar Minimum Pendidikan yang ditetapkan Jaringan Antar-lembaga untuk Pendidikan dalam Keadaan Darurat (INEE), yang dikembangkan oleh sejumlah lembaga pemerintah dan nonpemerintah terkemuka, merekomendasikan partisipasi komunitas pengungsi yang bermakna dalam respons pendidikan kemanusiaan. Konvensi hak asasi manusia internasional menjunjung tinggi “kebebasan individu dan badan untuk mendirikan dan mengarahkan lembaga pendidikan” dan memilih sekolah-sekolah yang “memastikan pendidikan agama dan moral anak-anak sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.”

Para siswa, orang tua, dan guru Rohingya yang diwawancarai oleh Human Rights Watch menyatakan ada kepuasan lebih besar terhadap sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat ketimbang pusat kegiatan belajar. Namun, “guru utama” Rohingya, yang melatih guru-guru di pusat kegiatan belajar, mengatakan kebijakan Bangladesh yang membatasi orang Rohingya pada peran “sukarelawan” yang digaji membatasi kemampuan mereka untuk meningkatkan kualitas.

“Jika Anda ingin mengembangkan masyarakat, Anda harus melibatkan orang-orang dari masyarakat tersebut,” kata seorang kepala sekolah yang dikelola masyarakat. "[Organisasi nonpemerintah bidang kemanusiaan] mengadakan banyak pertemuan dan mengatakan 'Kami memprioritaskan masukan Anda,' tetapi tidak mengimplementasikannya.”

Seorang guru utama di Bhasan Char mengatakan, “Kami tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan.… Semua orang yang menjamin kualitas dalam pendidikan adalah orang Bangladesh, tetapi mereka tidak mengetahui kurikulum [Myanmar], jadi mereka tidak dapat mengembangkan sistem tersebut.”

Seorang guru utama di Cox’s Bazar mengatakan bahwa seorang guru asal Bangladesh biasanya “datang dan masuk ke sekolah lalu pergi.” Ketika “saya mencoba mengatakan sesuatu, itu menimbulkan masalah, jadi sekarang saya diam saja,” kata guru utama tersebut. “Kantor [organisasi nonpemerintah] melarang kami mengatur guru-guru dari komunitas tuan rumah.”

Kualitas Pembelajaran

Sebuah kajian dari lembaga penelitian pada tahun 2019 menemukan bahwa guru-guru di sekolah yang dikelola masyarakat memiliki pengetahuan yang “sangat berharga” tentang sistem pendidikan Myanmar dan bahasa Rohingya dan Burma, tetapi belum “dilibatkan secara bermakna” oleh sektor pendidikan kemanusiaan.

Siswa, orang tua, dan pendidik Rohingya mengatakan bahwa guru-guru di pusat kegiatan belajar kurang memenuhi syarat dan biasanya mengajar lima mata pelajaran sekaligus, dibandingkan dengan guru-guru khusus di sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat. Seorang ibu mengatakan, “[J]ika tidak ada pusat kegiatan belajar yang dikelola masyarakat, anak-anak kami tidak akan berkembang sama sekali.”

Sejumlah guru membandingkan sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat, yang menggaji guru sesuai dengan kualifikasi mereka, dengan pusat-pusat kegiatan belajar, yang menggaji guru sekolah dasar dan menengah serta guru pembimbing dengan jumlah yang sama. Guru utama, posisi tertinggi di inisiatif pendidikan yang tersedia bagi orang Rohingya, digaji 15.000 taka (Rp1,9 juta) per bulan. Seorang pria Rohingya dengan gelar sarjana, yang mendirikan sekolah yang dikelola masyarakat, mengatakan salah satu muridnya dipekerjakan sebagai guru utama di sebuah pusat kegiatan belajar.

Laporan perencanaan kemanusiaan telah menggambarkan kurangnya pengungsi Rohingya yang berpendidikan, karena pembatasan diskriminatif terhadap pendidikan Rohingya di Myanmar, sebagai hambatan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sektor pendidikan kemanusiaan di Bangladesh memberikan pelatihan kepada para guru di pusat-pusat kegiatan belajar, termasuk tentang mata pelajaran dalam kurikulum Myanmar, perencanaan pelajaran bulanan, dan pencegahan serta pelaporan tindakan pelecehan pada anak, dan kepada guru pembimbing Rohingya (yang bertanggung jawab atas beberapa pusat kegiatan belajar) dan guru utama.

Namun, sejumlah guru dan kepala sekolah di sekolah yang dikelola masyarakat mengatakan bahwa orang Rohingya yang berpendidikan lebih tinggi sering kali memilih untuk tidak mengajar di pusat kegiatan belajar. Mereka berpendapat bahwa sistem yang lebih tertata, dengan pelibatan orang Rohingya dalam pengambilan keputusan manajemen, penggajian guru sesuai dengan kualifikasi mereka, dan kelas yang diajar oleh guru dengan keahlian mata pelajaran, akan menarik lebih banyak guru yang lebih baik dan menjangkau lebih banyak siswa.

Seorang Rohingya yang diwawancarai mengatakan kualitas pembelajaran juga terkait dengan jumlah siswa tinggal kelas di mana jumlahnya lebih besar di tingkat sekolah menengah dan atas di sekolah yang dikelola masyarakat ketimbang di pusat kegiatan belajar. “Ketika saya mulai di kelas 4, ada 20 siswa, sekarang hanya tersisa lima,” kata seorang siswa pusat kegiatan belajar kelas 8. Di Bhasan Char, sekolah yang dikelola masyarakat dengan 100 siswa memiliki lebih banyak siswa di kelas 9 hingga 11 dibandingkan semua pusat kegiatan belajar, dengan 11.000 siswa. Dua guru mengatakan mereka bertanya kepada sejumlah organisasi nonpemerintah apakah mereka bisa mengajar kelas sekolah yang dikelola masyarakat di ruangan-ruangan tak terpakai di tempat penampungan bencana siklon yang digunakan oleh pusat kegiatan belajar, tetapi diberi tahu kalau mereka akan dipecat jika terus mengajar di sekolah yang dikelola masyarakat.

Ujian dan Kenaikan Kelas

Para siswa di pusat kegiatan belajar mengikuti ujian akhir tahun pada bulan Juni 2024, sebuah proses yang diselenggarakan oleh UNICEF di mana, untuk memastikan keadilan, ujian dinilai oleh para guru dari berbagai pusat kegiatan belajar. Namun, hasilnya baru dibagikan pada Mei 2025, setelah siswa naik kelas. Dua guru mengatakan manajer mendesak mereka agar mengisi nilai siswa pada “buku rapor” mereka, tanpa mengetahui nilai para siswa yang sebenarnya pada awal tahun ajaran pada bulan Agustus 2024. Human Rights Watch mengamati nilai pada beberapa buku rapor siswa, sebelum nilainya dibagikan.

Beberapa ujian, yang dinilai oleh para guru dari pusat kegiatan belajar lain, jelas-jelas keliru, kata sejumlah guru. Seorang guru kelas 5 mengatakan dia memiliki seorang siswa “yang tidak bisa menulis bahasa Burma, dan dia mendapat nilai tertinggi dalam bahasa Burma. Siswa terbaik mendapat nilai yang jauh lebih rendah.” Seorang guru lain mengatakan nilai tertinggi di kelasnya diberikan kepada siswa yang tidak mengetahui materi pelajaran dan hanya masuk kelas “paling banyak lima hari dalam sebulan,” karena dia harus bekerja untuk membantu orang tuanya.

Akibat pemotongan anggaran, inisiatif pendidikan kemanusiaan membatalkan penilaian pembelajaran tahun 2025.

Sebaliknya, sekitar 50 sekolah yang dikelola komunitas Rohingya di kamp Cox’s Bazar membentuk “dewan pengawas ujian” untuk memastikan ujian yang adil, yang selanjutnya akan diadakan pada Maret 2026. Sekolah-sekolah yang dikelola komunitas sebelumnya telah menyelenggarakan ujian dan membagikan nilainya pada awal tahun ajaran berikutnya. Lulus dari kelas sebelumnya diperlukan untuk bisa naik kelas, yang menciptakan “motivasi bagi para pelajar untuk bekerja keras,” kata seorang guru utama.

Kelas Sekolah Menengah Atas bagi Remaja Perempuan

Hanya sedikit anak perempuan Rohingya yang melanjutkan pendidikan setelah usia 13 tahun, sebagian karena kekhawatiran orang tua mereka tentang risiko kekerasan, termasuk penculikan dan kekerasan seksual. Untuk mengurangi kekhawatiran ini, sektor kemanusiaan mendirikan “fasilitas kegiatan belajar berbasis masyarakat,” di mana sejumlah guru perempuan menggunakan tempat penampungan mereka sendiri sebagai ruang kelas untuk mengajar anak-anak perempuan yang tinggal di sekitarnya. Namun, tak satu pun pusat kegiatan belajar di kamp Cox's Bazar yang menawarkan pelajaran lebih tinggi dari kelas 5.

Di satu kamp dengan 28 fasilitas seperti itu, tingkat tertinggi yang ditawarkan adalah kelas 2, kata seorang guru utama. Di Bhasan Char, 13 pelajar perempuan, berusia 13 hingga 18 tahun, 2 di antaranya sudah menikah dan punya anak, saat ini sedang belajar di kelas 3 di sebuah pusat kegiatan belajar. Namun, ada kebutuhan bagi anak perempuan untuk memiliki akses yang aman dan terjamin baik di kelas dasar maupun menengah, kata para guru.

Sebaliknya, di satu sekolah yang dikelola komunitas Rohingya dengan 175 pelajar perempuan, yang menggunakan tempat penampungan individu sebagai ruang kelas di 5 kamp di Cox's Bazar, anak perempuan belajar di kelas 9 dan 10 yang menggunakan kurikulum Myanmar. Seorang siswi di kelas 10, berusia 14 tahun, mengaku berharap bisa menyelesaikan pendidikan menengah dan melanjutkan ke universitas. Seorang perempuan yang sekarang bekerja di program pendidikan berkelanjutan mengatakan ia dan enam perempuan teman sekelas memulai kelas 7 di sekolah yang dikelola komunitas “dan kami bertujuh sudah menyelesaikan kelas 12.”

Pernikahan dini anak perempuan di kamp pengungsian meluas karena kurangnya pendidikan, penghasilan, dan penuh sesaknya ruang-ruang di tempat penampungan, menurut hasil wawancara kelompok dengan enam perempuan dari berbagai kamp di Cox's Bazar. Meningkatkan akses ke pendidikan berkualitas bagi anak perempuan akan membantu mencegah pernikahan dini, kata seorang perempuan. Seorang perempuan lainnya menambahkan bahwa pusat kegiatan belajar melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi anak perempuan, tetapi katanya hal ini dirusak oleh persepsi buruknya kualitas pendidikan di pusat kegiatan belajar.

Pentingnya Pendidikan Lanjutan dan Pendidikan Tinggi

Tanpa pendidikan yang terakreditasi atau kemampuan untuk meninggalkan kamp, ​​mustahil bagi para siswa Rohingya di Bangladesh untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.

Sebagian besar dari mereka yang diwawancarai mengatakan kurangnya jalur profesional dan pendidikan menurunkan motivasi siswa dan meningkatkan angka putus sekolah serta memunculkan masalah disiplin. Seorang guru di sekolah yang dikelola masyarakat di Kamp 17, yang memiliki 300 siswa, mengatakan: “Siswa tidak melihat masa depan mereka, jadi tidak ada disiplin. Jika guru mengatakan sesuatu dan siswa tidak setuju, mereka mungkin akan pergi begitu saja dan mengatakan kami buang-buang uang.”

Seorang guru utama membandingkan masa mudanya di Myanmar, sebelum pembatasan menghalangi orang Rohingya untuk menempuh pendidikan universitas, dan di kamp pengungsi Cox’s Bazar. “Ketika saya masih duduk di kelas 2, kami sudah bermimpi untuk kuliah dan bekerja. Namun di sini … tidak ada tujuan, mereka tidak melihat apa pun di masa depan. Jika tidak ada mimpi, tidak ada alasan untuk bekerja keras.”

Satu inisiatif positif di kamp-kamp tersebut adalah program belajar selama enam bulan untuk orang Rohingya yang berusia 15-24 tahun, yang dijalankan oleh pemerintah Bangladesh, dengan tingkat kelulusan 83 persen, menurut para staf. Akan tetapi, kapasitas program tersebut terbatas. Sekitar 1.000 orang Rohingya telah menyelesaikan program tersebut dan 1.000 lainnya masih terdaftar padahal penilaian PBB tahun 2022 menemukan lebih dari 306.000 orang muda berusia 18-24 tahun berada di kamp-kamp tersebut.

Seorang pakar pendidikan Bangladesh mengatakan pemerintah seharusnya mengizinkan perguruan tinggi untuk menerima mahasiswa Rohingya dan mengizinkan akses internet untuk belajar daring termasuk pendidikan tinggi. Beberapa mahasiswa berhasil mendaftar di pendidikan tinggi daring di kamp-kamp tersebut tetapi tindakan ini sebenarnya melanggar aturan resmi.

Penculikan dan Perekrutan Anak oleh Kelompok Bersenjata

Penculikan demi uang tebusan atau yang dilakukan kelompok-kelompok bersenjata terhadap anak-anak di kamp Cox's Bazar begitu sering terjadi pada akhir tahun 2024, sehingga banyak orang tua tak lagi mengizinkan anak-anak mereka meninggalkan tempat penampungan, termasuk untuk pergi ke sekolah, kata sejumlah penghuni kamp. Sebuah program belajar untuk orang muda berusia 15-24 tahun berhenti beroperasi selama sebulan karena “sejumlah siswa telah diculik, baik anak-anak maupun orang dewasa,” kata direktur program tersebut. Seorang ayah mengatakan bahwa badan-badan PBB tidak dapat menjaga anak-anak tetap aman, dan menyesalkan bahwa putranya yang berusia 8 tahun, dan putrinya yang duduk di kelas 5 dan 4, semuanya putus sekolah karena takut setelah adanya percobaan penyerangan atau gangguan.

Pada kuartal pertama tahun 2025, pemantau perlindungan PBB melaporkan sebanyak 38 anak laki-laki dan 13 anak perempuan diculik atau ditawan di kamp-kamp tersebut. Dalam wawancara berkelompok yang dilakukan pada April 2025, 14 orang di kamp Cox's Bazar menggambarkan enam kasus penculikan anak demi uang tebusan pada tahun 2024 dan 2025, di mana salah satu anak yang diculik kemudian dibunuh. Mereka mengatakan tidak ada satu kasus pun yang diselidiki polisi secara serius.

Human Rights Watch mendokumentasikan sejumlah kasus di mana kelompok bersenjata Rohingya merekrut dan menggunakan seorang anak laki-laki berusia 13 tahun sebagai kuli angkut dan petugas kebersihan di Myanmar, dan menggunakan jasa seorang anak laki-laki berusia 10 tahun untuk menyelundupkan yaba, sejenis metamfetamin, melintasi pos-pos pemeriksaan. Menurut seorang pejabat kemanusiaan, maraknya perekrutan anak terkait dengan kurangnya pendidikan: “[Anak-anak] berada di daerah kecil ini, tanpa ijazah, tanpa masa depan. Tanyakan kepada mereka tentang impian mereka dan mereka mungkin akan tertawa. [Kelompok bersenjata adalah] jalan mendapatkan status dan sejumlah uang.”

Sebaliknya, di Bhasan Char, Human Rights Watch mewawancarai tiga keluarga pengungsi yang pindah ke pulau tersebut setelah menjadi incaran kelompok bersenjata di kamp di daratan. Semua orang yang diwawancarai mengatakan tidak ada aktivitas kelompok bersenjata di pulau itu, tidak seperti kamp di daratan, dan bahwa otoritas Bangladesh secara berkala menindak kelompok penyelundup.

Pulau Bhasan Char

Pemerintah Bangladesh telah memindahkan 37.000 orang Rohingya ke pulau terpencil Bhasan Char, banyak di antaranya tanpa keputusan bebas dan diinformasikan. Sebanyak 31 pusat kegiatan belajar di pulau Bhasan Char mengajarkan kurikulum Myanmar kepada lebih dari 11.000 siswa terdaftar hingga bulan Mei 2025.

Setiap pengungsi yang diwawancarai di pulau tersebut mengaku ingin meninggalkan tempat itu karena terpencil serta kurangnya layanan medis, mata pencarian, dan pendidikan menengah atas. Seorang guru di pusat kegiatan belajar di pulau itu ingin kembali ke kamp-kamp di daratan untuk menyelesaikan kelas 12 di sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat. Seorang guru lain mengatakan: “Saya harus mengungsi karena anak-anak saya. Mereka [keduanya] duduk di kelas 7, setelah tiga tahun mereka tidak akan memiliki kesempatan untuk belajar.”

“Alasan utama putus sekolah adalah kurangnya pendidikan bermutu, [pergi] bekerja, dan kembali ke kamp [daratan],” kata seorang guru. Seorang siswa di sebuah pusat kegiatan belajar mengatakan tiga dari empat guru yang mengajarnya tahun lalu telah mengungsi. Perjalanan ke daratan dapat berakibat fatal: selama musim hujan tahun 2024, dua atau tiga orang tenggelam setiap bulan saat mereka naik perahu untuk mencapai daratan, kata seorang guru.

Saat ini tidak ada program pendidikan khusus untuk anak-anak dengan disabilitas di kamp-kamp pengungsi di Cox's Bazar atau di Pulau Bhasan Char. Kelompok-kelompok yang mengkhususkan diri pada dukungan untuk anak-anak penyandang disabilitas dulu bekerja di Cox's Bazar, tetapi menutup program mereka karena pemotongan dana.

GIVING TUESDAY MATCH EXTENDED:

Did you miss Giving Tuesday? Our special 3X match has been EXTENDED through Friday at midnight. Your gift will now go three times further to help HRW investigate violations, expose what's happening on the ground and push for change.
Region / Country