Pada Sabtu, 8 Maret lalu, dalam sebuah kunjungan ke Belarus, pemimpin junta Myanmar mengumumkan bahwa negara tersebut akan menyelenggarakan pemilihan umum nasional pada bulan Januari 2026.
Jika usulan jadwal ini disetujui, warga Myanmar akan mendatangi tempat pemungutan suara di bawah kekuasaan junta yang telah melakukan banyak kekejaman sejak militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta Februari 2021. Penindasan yang meluas, termasuk penahanan sewenang-wenang terhadap sejumlah politisi dari pihak oposisi dan pembubaran serta kriminalisasi terhadap partai politik mereka, telah menciptakan iklim ketakutan sehingga pemilu yang bebas dan adil menjadi mustahil. Pelanggaran militer merajalela di beberapa wilayah yang diperebutkan oleh sejumlah kelompok etnis bersenjata dan pasukan anti-junta.
Para jenderal Myanmar tidak memiliki cukup kendali atas negara ini untuk menyelenggarakan pemilu yang kredibel. Oktober lalu, militer melakukan sensus nasional, yang diduga untuk menyusun daftar pemilih, yang ternyata merupakan alat rancangan kontra-pemberontakan untuk membasmi aktivis oposisi dan merekrut anggota wajib militer. Pejabat junta kemudian mengumumkan bahwa mereka berhasil melakukan sensus hanya di 145 dari 330 kota praja – kurang dari separuh wilayah negara.
Meski demikian, pemerintah sejumlah negara diperkirakan akan mendukung pemilu tersebut. Menurut media yang dikendalikan junta, Min Aung Hlaing telah meminta dukungan Tiongkok, dengan mengemukakan rencana tersebut kepada Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi pada bulan Agustus dan kemudian kepada Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang pada bulan November. Min Aung Hlaing juga telah mengundang sejumlah pemantau pemilu dari Belarus, yang baru-baru ini menyelenggarakan pemilu palsu untuk memastikan masa jabatan ketujuh berturut-turut bagi Presiden Aliaksandr Lukashenka.
Ada perbedaan pandangan di antara negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengenai apakah mereka akan mendukung pemilu tersebut. Mantan perdana menteri Kamboja dan Presiden Senat Kamboja saat ini, Hun Sen, telah menawarkan untuk mengirimkan anggota Komite Pemilihan Nasional negara tersebut guna membantu persiapan pemungutan suara di Myanmar. Kamboja memiliki sejarah pemilu yang tidak bermakna karena adanya ketidakberesan, pembubaran partai-partai politik, dan serangan fisik terhadap oposisi politik.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Malaysia Mohamad Hasan baru-baru ini mengatakan kepada wartawan, “Kami sudah sampaikan pada mereka [junta Myanmar] bahwa pemilu bukanlah prioritas saat ini.”
Sejumlah pakar hak asasi manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan secara lebih blak-blakan: “Kami mendesak Negara Anggota PBB untuk menyebut praktik ini sebagaimana adanya, sebuah penipuan.”
Pemerintah negara-negara yang peduli di Asia, termasuk negara anggota ASEAN, Jepang, Korea Selatan, dan India, semestinya juga mengikuti saran ini dan dengan tegas menentang pemilu palsu yang hanya akan melegitimasi kekuasaan militer.