Februari 2024
Pengantar
Human Rights Watch menyambut baik kesempatan untuk memberikan masukan kepada Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa ("Komite") menjelang peninjauan terhadap Indonesia yang akan datang. Pengajuan ini terutama didasarkan pada penelitian Human Rights Watch tentang situasi orang-orang dengan disabilitas di rumah serta di pusat-pusat penyembuhan keagamaan, berbagai rumah perawatan, dan rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia sejak tahun 2014 hingga 2020. Pengajuan ini mengajukan sejumlah persoalan dan pertanyaan yang mungkin ingin diajukan oleh anggota Komite dengan pemerintah Indonesia. Kami berharap pengajuan ini dapat menjadi bahan bagi penilaian Komite atas kepatuhan pemerintah Indonesia terhadap Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Pada 2016, Human Rights Watch menerbitkan laporan setebal 74 halaman, "Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia," yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran yang dihadapi orang-orang dengan disabilitas, termasuk anak-anak, di Indonesia, termasuk stigma, penahanan sewenang-wenang dan berkepanjangan, pengobatan paksa, merantai atau memasung, kekerasan fisik dan seksual, serta kontrasepsi paksa. Pada saat itu, Human Rights Watch mendokumentasikan 175 kasus pasung dan memperoleh bukti dari 200 kasus lain yang terdokumentasi.
Pada 2018, setelah menggelar penelitian tambahan, Human Rights Watch menerbitkan laporan terbaru, "Indonesia: Pasung Sudah Berkurang, Namun Tetap Ada," yang mencatat langkah-langkah positif yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi pemasungan. Pemerintah Indonesia meluncurkan program penjangkauan nasional guna mengumpulkan data, menumbuhkan kesadaran, dan menyediakan layanan berbasis masyarakat, termasuk perawatan kesehatan jiwa.
Laporan global Human Rights Watch tahun 2020, "Living in Chains: Shackling of People with Psychosocial Disabilities Worldwide," menemukan bahwa terlepas dari berbagai upaya pemerintah, praktik pasung masih ada di Indonesia dan orang-orang dengan disabilitas psikososial terus ditahan secara sewenang-wenang di rumah sakit jiwa, lembaga-lembaga perawatan perumahan, dan pusat penyembuhan keagamaan di mana mereka mengalami pelecehan.
Hak atas Kesetaraan dan Non-diskriminasi (pasal 2)
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak-hak dasar bagi semua warga negara. Meskipun konstitusi tidak secara eksplisit merujuk pada orang-orang dengan disabilitas, konstitusi menjadi dasar bagi undang-undang hak-hak disabilitas lainnya dan memberikan dasar hukum yang menentang diskriminasi.[1]
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa memuat sejumlah ketentuan untuk mengurangi stigma dan bias terhadap orang-orang dengan disabilitas psikososial, dan pertanggungjawaban atas berbagai pelanggaran termasuk pasung.[2] Namun, yang jadi persoalan, undang-undang ini mengadopsi pandangan yang merendahkan para penyandang disabilitas psikososial sebagai orang yang memiliki "hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia," yang dengan demikian dapat menjadi sasaran rehabilitasi "paksa".[3] UU ini membuka peluang bagi mereka untuk dilucuti kapasitas hukumnya, tanpa proses hukum yang adil, termasuk hak untuk membuat keputusan medis mereka sendiri.[4] Kedua ketentuan ini sering berujung pada perlakuan sewenang-wenang.
Pasung terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial (pasal 7, 9, 10, 12)
Di Indonesia, praktik pasung yang meluas mengacu pada pengekangan fisik terhadap para penyandang disabilitas psikososial baik yang nyata maupun yang dianggap demikian, baik di dalam rumah maupun di luar rumah.[5] Pasung biasanya dilakukan oleh keluarga yang meyakini bahwa kerabatnya yang menyandang disabilitas psikososial dirasuki roh jahat, atau khawatir orang tersebut akan melukai dirinya sendiri maupun orang lain, atau mungkin melarikan diri. Pasung juga dilakukan oleh para penyembuh di lembaga-lembaga keagamaan sebagai bentuk hukuman atau “pengobatan” dan oleh petugas di panti perawatan. Praktik yang terus berlanjut dan kegagalan pemerintah untuk mengambil tindakan efektif merupakan pelanggaran serius terhadap beberapa hak yang tercantum dalam ICCPR.
Perlakuan kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan martabat, perawatan medis secara paksa (pasal 7, Komentar Umum 20)
Pasung di Indonesia mencakup tindakan merantai atau mengurung orang di dalam sebuah ruangan, gudang, kandang, atau kandang hewan (termasuk kandang ayam, kandang babi, dan kandang kambing) untuk jangka waktu yang berkisasr dari beberapa jam, berhari-hari, hingga bertahun-tahun. Sifat pemasungan yang membuat orang tidak bisa berdiri atau bergerak sama sekali, sehingga menyebabkan kerusakan fisiologis jangka panjang dan trauma psikologis.
Penelitian Human Rights Watch secara global menemukan bahwa seseorang yang dipasung dapat terkena stres pascatrauma, kekurangan gizi, infeksi, kerusakan saraf, atrofi (penyusutan maupun penipisan) otot, dan masalah kardiovaskular.[6] Di Indonesia, orang-orang yang dipasung tidak dapat bergerak melebihi panjang rantai – biasanya sekitar dua meter, harus mandi, buang air besar, buang air kecil, dan tidur dalam radius di mana mereka dirantai.[7]
Human Rights Watch bertemu dengan perempuan penyandang disabilitas psikososial berusia 52 tahun yang diselamatkan oleh petugas kesehatan masyarakat di Cijeruk, Bogor. "Kami mengurungnya di kamar selama lima tahun," kata saudara perempuannya. "Ia tidur di lantai; ia tidak bisa berjalan karena otot-ototnya tak lagi berfungsi. Kami memberinya ember untuk buang air kecil dan besar. Itu bau sekali. Itu membuat saya sangat sedih." Keluarga merasa tidak punya pilihan selain mengurungnya. Tetapi setelah kunjungan dan bantuan dari petugas penjangkauan, kata saudara perempuannya, ia dibebaskan dan sekarang menerima dukungan di masyarakat.[8]
Pasung juga dapat menjadi tindakan sementara yang digunakan untuk menahan seseorang dengan disabilitas psikososial untuk jangka waktu lebih singkat saat keluarga pergi bekerja atau ketika orang tersebut mengalami krisis. Di pusat-pusat penyembuhan keagamaan, pasung digunakan sebagai bentuk pengekangan, hukuman, atau "pengobatan." Dalam kasus lembaga-lembaga swasta dan berbagai pusat penyembuhan, pihak manajemen mungkin memiliki insentif untuk menahan orang karena mereka dibayar oleh keluarga. Di banyak negara, termasuk Indonesia, ini adalah bisnis yang menguntungkan.
Di pusat-pusat penyembuhan keagamaan, Human Rights Watch mendokumentasikan bahwa orang-orang dengan disabilitas psikososial, baik yang nyata maupun yang dianggap demikian, secara rutin dipaksa untuk meminum obat atau menjalani “pengobatan” alternatif (seperti pijat dan mandi yang keras dan menyakitkan), tanpa persetujuan mereka.
Informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran adalah prinsip dasar dalam etika medis dan hukum hak asasi manusia internasional, dan memaksa individu untuk mengonsumsi obat-obatan tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka melanggar hak-hak mereka.[9] Pelapor Khusus PBB untuk penyiksaan telah mencatat bahwa "pengobatan paksa dan intervensi psikiatris lainnya di fasilitas perawatan kesehatan" dapat digolongkan sebagai bentuk penyiksaan dan penganiayaan.[10] Selain itu, Pelapor Khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan telah mengecam perawatan kejiwaan secara paksa sebagai bentuk kekerasan.[11] Dalam laporannya pada tahun 2018, Pelapor Khusus PBB untuk hak-hak penyandang disabilitas meminta negara-negara untuk memastikan bahwa semua layanan terkait kesehatan “mencakup pendekatan berbasis hak asasi manusia terhadap disabilitas, tidak diskriminatif, dan meminta persetujuan sebelum melakukan segala jenis tidakan medis, menghormati privasi dan bebas dari penyiksaan atau perlakuan kejam lainnya, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.”[12]
Pasien dengan disabilitas psikososial di rumah sakit jiwa yang dikelola pemerintah dan swasta juga secara rutin dipaksa minum obat, dikurung di ruang isolasi, dan menjalani pengobatan paksa mulai dari pengekangan fisik dan kimiawi hingga Electroconvulsive Therapy (ECT) alias terapi kejang listrik yang tidak dimodifikasi.[13] Mantan Pelapor Khusus PBB untuk penyiksaan, Manfred Nowak, telah mencatat bahwa ECT yang tidak dimodifikasi (tanpa anestesi, pelemas otot, dan oksigen) adalah praktik medis yang tidak dapat diterima yang dapat digolongkan sebagai penyiksaan atau penganiayaan, karena dapat menyebabkan efek samping seperti defisit kognitif dan kehilangan ingatan.[14]
Human Rights Watch mendokumentasikan 25 kasus kekerasan fisik termasuk pemukulan dan enam kasus kekerasan seksual, kurangnya penghormatan terhadap privasi dan martabat saat mandi, dan merantai anak-anak, perempuan, dan laki-laki secara berdekatan – membuat perempuan dan anak perempuan berisiko mengalami kekerasan seksual.[15] Lebih jauh lagi, Human Rights Watch mendokumentasikan 22 kasus pengasingan paksa, termasuk terhadap anak-anak, yang berlangsung selama beberapa jam hingga lebih dari satu bulan. Selain itu, di sejumlah panti sosial yang dikelola pemerintah maupun swasta, kami menemukan bukti adanya staf yang memberikan kontrasepsi kepada para perempuan tanpa persetujuan atau sepengetahuan mereka.
Penahanan sewenang-wenang, penghormatan terhadap martabat manusia yang melekat (pasal 9, 10, Komentar Umum 8.1)
Sejumlah panti yang dikelola negara dan pusat-pusat penyembuhan keagamaan swasta di mana penyandang disabilitas ditahan secara sewenang-wenang sangatlah padat, tidak sehat, dan tidak memiliki langkah-langkah untuk mendukung kebersihan pribadi.[16]
Berdasarkan hukum di Indonesia, relatif mudah untuk secara paksa memasukkan seseorang dengan disabilitas psikososial ke sebuah institusi. UU Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengizinkan anggota keluarga atau wali untuk memasukan seorang anak atau orang dewasa dengan disabilitas psikososial tanpa persetujuan mereka ke lembaga kesehatan jiwa atau layanan sosial, dan tanpa uji materi. Human Rights Watch menemukan 65 kasus di mana orang ditahan secara sewenang-wenang di rumah sakit jiwa, sejumlah panti sosial, dan panti-panti yang dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat atau panti adat dan keagamaan. Tak seorang pun dari penyandang disabilitas psikososial yang Human Rights Watch wawancarai dan tinggal di lembaga-lembaga tersebut mengaku berada di sana secara sukarela.[17]
Pada tahun 2015, Pelapor Khusus PBB untuk penyiksaan secara eksplisit menyatakan bahwa pemasungan “jelas-jelas merupakan penyiksaan meskipun dilakukan oleh aktor-aktor nonnegara dalam kondisi di mana negara mengetahui atau seharusnya mengetahui.” [18] Dalam laporannya pada tahun 2019, Pelapor Khusus PBB untuk hak-hak penyandang disabilitas menekankan bahwa “Negara harus melindungi penyandang disabilitas dari perampasan kebebasan di rumah, termasuk pengurungan di rumah dan pemasungan.”[19]
Pada tahun 2022, menyusul laporan awal soal Indonesia, Komite PBB untuk Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan keprihatinannya “tentang perampasan kebebasan atas dasar disabilitas, khususnya bagi penyandang disabilitas psikososial atau disabilitas intelektual” dan secara eksplisit merujuk pada pemasungan, pengasingan, dan pengekangan sebagai praktik-praktik yang berbahaya.[20] Komite itu menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar "melarang penggunaan pasung, pengasingan dan segala bentuk pengekangan di semua tempat, termasuk di dalam keluarga dan di Lembaga pelayanan sosial, serta mengembangkan dan mempromosikan dukungan juga layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang tidak bersifat paksaan."[21]
Kemajuan
Laporan tindak lanjut Human Rights Watch tahun 2018, "Indonesia: Pasung Sudah Berkurang, Namun Tetap Ada," mendokumentasikan langkah-langkah penting yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mengakhiri praktik pemasungan terhadap penyandang disabilitas psikososial dan memperluas layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat.
Pada saat itu, Human Rights Watch menemukan bahwa jumlah penyandang disabilitas psikososial yang dipasung atau dikurung di ruang terbatas telah menurun dari hampir 18.800 pada 2016 menjadi sekitar 12.800 pada Juli 2018, menurut data pemerintah Indonesia.[22] Perubahan ini sebagian disebabkan oleh program penjangkauan masyarakat ke lebih dari 16,2 juta rumah tangga. Terlepas dari kemajuan ini, Human Rights Watch menemukan bahwa penyandang disabilitas psikososial masih terus ditahan secara sewenang-wenang di pusat-pusat penyembuhan keagamaan, panti sosial, dan rumah sakit jiwa.
Ratih, seorang perempuan penyandang disabilitas psikososial yang telah ditahan selama beberapa tahun di Pusat Rehabilitasi Yayasan Galuh, sebuah lembaga swasta di Bekasi, mengatakan: “Saya telah dirantai di sini tiga kali. Menurut staf di sini, saya diborgol demi kebaikan saya sendiri. Saya dipukuli dan diborgol selama seminggu penuh. Saya bahkan tidak bisa pergi ke toilet, saya harus buang air kecil di sana, dengan pakaian saya. Saya harus meminta teman saya untuk membantu saya makan tetapi dia terlalu takut [pada staf]…. Saya ingin pulang, saya tidak suka tinggal di sini.”[23]
Pemerintah Indonesia secara resmi melarang pemasungan berdasarkan undang-undang pada tahun 1977. Namun, praktiknya masih ada hingga saat ini. Diperkirakan 57.000 penyandang disabilitas psikososial di Indonesia, termasuk anak-anak, pernah dipasung setidaknya sekali dalam hidup mereka dan sekitar 15.000 masih hidup terbelenggu rantai per November 2019.[24] Di banyak negara, termasuk Indonesia, Covid-19 menghambat penyediaan sejumlah layanan dasar, yang menyebabkan orang-orang dipasung untuk kali pertama atau kembali hidup terbelenggu setelah dibebaskan.
Menurut laporan media pada tahun 2023, tujuh orang dengan disabilitas psikososial yang dipasung meninggal dunia dalam kurun waktu tiga bulan di Pulau Flores.[25]
Pada tahun 2023, Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi Indonesia untuk meninjau pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk melarang perwalian bagi orang dengan disabilitas psikososial atau intelektual. Pada Juli 2023, dalam satu langkah maju yang penting, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan para pemohon dengan mengubah sifat perwalian bagi penyandang disabilitas dari yang awalnya wajib menjadi opsional.
Human Rights Watch mendorong Komite untuk bertanya kepada pemerintah Indonesia:
- Apakah ada data resmi jumlah orang yang saat ini dipasung di Indonesia?
- Langkah apa saja yang telah pemerintah tempuh untuk menghapus praktik pasung terhadap penyandang disabilitas psikososial?
- Ada berapa banyak anak penyandang disabilitas psikososial yang saat ini ditahan secara sewenang-wenang di pusat-pusat penyembuhan keagamaan, panti-panti yang dikelola pemerintah maupun swasta, dan rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia?
- Langkah apa saja yang telah pemerintah tempuh untuk mengakhiri penahanan sewenang-wenang terhadap penyandang disabilitas psikososial di rumah sakit jiwa, panti, dan pusat-pusat penyembuhan keagamaan?
- Langkah nyata apa saja yang telah pemerintah tempuh untuk melarang segala bentuk pengobatan paksa, termasuk Electroconvulsive Therapy (ECT) alias terapi kejang listrik, tanpa persetujuan bebas dan terinformasi dari orang tersebut?
- Langkah apa saja yang telah pemerintah tempuh untuk mengembangkan dukungan dan layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang memadai, berkualitas, dan bersifat sukarela?
Human Rights Watch meminta Komite agar mempertimbangkan untuk memasukkan sejumlah rekomendasi berikut dalam kesimpulan pengamatannya tentang Indonesia:
- Memperkuat dan memantau penerapan hukum yang melarang praktik pasung.
- Mengakui pelembagaan berdasarkan keberadaan seorang penyandang disabilitas sebagai bentuk diskriminasi dan tanpa persetujuan individu sebagai bentuk penahanan sewenang-wenang.
- Melarang segala bentuk perawatan paksa, termasuk Electroconvulsive Therapy (ECT) alias terapi kejang listrik, tanpa persetujuan bebas dan terinformasi dari pasien dan dalam segala situasi yang melibatkan anak-anak. Secara eksplisit melarang penggunaan pengasingan dan pengekangan yang berkepanjangan. Menetapkan keadaan luar biasa di mana seorang pasien dapat dianggap untuk sementara waktu tidak dapat memberikan persetujuan yang bebas dan terinformasi dan, dalam keadaan seperti itu, perawatan medis segera dapat diberikan sebagaimana yang akan diberikan kepada pasien lain tanpa kecacatan yang tidak dapat memberikan persetujuan atas perawatan pada saat itu, asalkan perawatan tersebut sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi yang mengancam jiwa atau kondisi dengan tingkat keparahan serupa.
- Mengembangkan rencana berbatas waktu untuk beralih secara progresif ke layanan kesehatan jiwa, dukungan, dan kehidupan mandiri berbasis komunitas.
- Membuat dan menerapkan kebijakan de-institusionalisasi dan rencana aksi de-institusionalisasi yang terikat waktu, berdasarkan nilai-nilai kesetaraan, independensi, dan inklusi bagi penyandang disabilitas.
- Memastikan bahwa orang-orang yang telah dibebaskan dari lembaga-lembaga negara dan swasta memiliki akses ke dukungan psikososial dan layanan sosial. Anak-anak seharusnya mempunyai akses ke psikolog anak dan layanan dukungan khusus.
- Secara progresif mengembangkan layanan dukungan kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang sukarela dan dapat diakses, melalui konsultasi dengan orang-orang dengan disabilitas psikososial dan dengan dukungan donor serta mitra internasional. Ini semestinya mencakup pengembangan layanan dukungan psikososial dan integrasi layanan kesehatan jiwa dalam sistem perawatan kesehatan primer.
- Mengamendemen atau mencabut seluruh perundang-undangan dalam negeri yang bertentangan dengan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas psikososial atau intelektual mendapat jaminan kapasitas hukum, pengakuan yang setara di hadapan hukum, dukungan dalam pengambilan keputusan dan bukan perwalian (baik penuh maupun terbatas), kebebasan dari diskriminasi, dan perlindungan dari penahanan dan perlakuan sewenang-wenang.
- Menggelar kunjungan pemantauan secara rutin dan mendadak ke lembaga-lembaga perawatan sosial milik pemerintah dan swasta serta pusat-pusat penyembuhan keagamaan, dengan interaksi tanpa hambatan dan rahasia dengan staf dan pasien, dan melaporkan secara terbuka temuan-temuan dari kunjungan ini.
- Melatih dan menyadarkan para petugas kesehatan pemerintah, profesional kesehatan jiwa, serta staf di lembaga-lembaga perihal keprihatinan dan kebutuhan para penyandang disabilitas psikososial, termasuk anak-anak, serta menciptakan mekanisme pengaduan yang rahasia dan efektif bagi para penyandang disabilitas psikososial untuk melaporkan tindak kekerasan.
- Menggelar kampanye kesadaran dan informasi publik yang luas termasuk melalui media, kelompok agama, dan sekolah tentang kondisi kesehatan jiwa, hak-hak penyandang disabilitas, dan alternatif lain dari pelembagaan dan pengekangan.
[1] Human Rights Watch, Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia, 20 Maret 2016, https://www.hrw.org/sites/default/files/accessible_document/indonesia0316_bahasa_etrwebpdf.pdf , hlm. 68-69.
[2]Undang-Undang Kesehatan Jiwa, 2014, pasal 86.
[3]Ibid., pasal 2, 28.
[4]Ibid., pasal 21, 70, 71, 72.
[5]Ibid.
[6] Human Rights Watch, Living in Chains: Shackling of People with Psychosocial Disabilities Worldwide, October 6, 2020, 6 Oktober 2020,https://www.hrw.org/sites/default/files/media_2020/10/global_shackling1020_web_2.pdf, hlm. 49.
[7]Ibid., hlm. 45.
[8]"Indonesia: Pasung Sudah Berkurang, Namun Tetap Ada," rilis berita Human Rights Watch, 2 Oktober 2018, https://www.hrw.org/id/news/2018/10/02/indonesia-shackling-reduced-persists
[9] Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), diadopsi pada 16 Desember 1966, G.A. Res. 2200A (XX1), 21 Supp GAOR PBB. (No. 16) di 52, Dok. PBB. A/6316 (1966), 999 U.N.T.S. 171, mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976. Indonesia meratifikasi ICCPR pada tahun 2006. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), diadopsi pada 16 Desember 1966, G.A. Res. 2200A (XXI), 21 Supp GAOR PBB. (No. 16) di 49, Dok. PBB. A/6316 (1966), 993 U.N.T.S. 3, mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976, pasal. 12. Indonesia meratifikasi ICESCR pada tahun 2006. Lihat juga Deklarasi dan Platform Aksi Beijing, Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan, 15 September 1995, A/CONF.177/20 (1995), pasal. 108(e); Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Deklarasi Universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia, diadopsi pada Oktober 2005, SHS/EST/05/CONF.204/3 REV, art. 6 dan 9; Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komentar Umum 14, Hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai (Sesi ke dua puluh dua, 2000), U.N. Doc. E/C.12/2000/4 (2000), Dok. PBB. HRI/GEN/1/Rev.6 at 85 (2003), para. 8; Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia/WHO, FactSheet No. 31, The Right to Health, http://www.ohchr.org/Documents/Publications/Factsheet31.pdf , hal. 16-18.
[10]Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Laporan Pelapor Khusus tentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, Juan E. Méndez, A / HRC / 22/53, 1 Februari 2013,http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/HRCouncil/RegularSession/Session22/A.HRC.22.53_English.pdf(diakses 28 Desember 2013), para. 64.
[11]Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Laporan Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan, penyebab dan konsekuensinya, A/67/227, 3 Agustus 2012,http://www.ohchr.org/Documents/Issues/Women/A.67.227.pdf(diakses 10 Desember 2013), hlm. 10, 13.
[12]Majelis Umum PBB, Laporan Pelapor Khusus tentang hak-hak penyandang disabilitas, A/73/161, 16 Juli 2018,https://undocs.org/en/A/73/161(diakses pada 17 September 2020), para. 74(e).
[13]Ibid., hlm. 46-58.
[14]Majelis Umum PBB, Laporan sementara Pelapor Khusus tentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, A/63/175, 28 Juli 2008,https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/440/75/PDF/N0844075.pdf(diakses 28 Juli 2022), para. 50.
[15]Human Rights Watch, Hidup di Neraka, https://www.hrw.org/sites/default/files/accessible_document/indonesia0316_bahasa_etrwebpdf.pdf , hlm. 12.
[16]Ibid., hlm. 45.
[17]Ibid., hlm. 6.
[18]Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), Laporan tindak lanjut Pelapor Khusus tentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat lainnya pada kunjungan lanjutannya ke Republik Ghana, A / HRC / 31/57 / Add.2, 25 Februari 2015,https://undocs.org/en/A/HRC/31/57/Add.2(diakses pada 10 Februari 2022).
[19]UNHRC, Laporan Pelapor Khusus tentang hak-hak penyandang disabilitas, A/HRC/40/54, 11 Januari 2019,
https://undocs.org/en/A/HRC/40/54 (diakses 28 Juli 2022), para. 52.
[20]Komite PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Menyimpulkan pengamatan atas laporan awal Indonesia, CRPD/C/IDN/CO/1, 12 Oktober 2022,https://tbinternet.ohchr.org/_layouts/15/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=CRPD%2fC%2fIDN%2fCO%2f1&Lang=en(diakses pada 14 Desember 2023), paras. 34, 36.
[21]Ibid., para. 37.
[22] "Indonesia: Pasung Sudah Berkurang, Namun Tetap Ada," rilis berita Human Rights Watch, 2 Oktober 2018, https://www.hrw.org/id/news/2018/10/02/indonesia-shackling-reduced-persists.
[23]Ibid.
[24] Human Rights Watch, Living in Chains, https://www.hrw.org/sites/default/files/media_2020/10/global_shackling1020_web_2.pdf; Hidup di Neraka, https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0316web.pdf, hal. 35; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan Diskriminasi Terhadap Orang Dengan ‘Gangguan Jiwa’,” 10 Oktober 2014, http://www.depkes.go.id/article/view/201410270011/stop-stigma-dan-diskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj.html (diakses pada 20 Agustus 2015); Marsel Rombe, “Indonesian Mental Health Law Passed after Five Years,” Jakarta Globe, 13 Juli 2014, http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesian-mental-health-law-passed-five-years (diakses 19 pada Agustus 2015)
[25]Ditulis Oleh Pater Avent Saur SVD, "Ketika Napas Berakhir di Pasungan,"Krebadia, 1 Oktober 2023, https://krebadia.com/ketika-napas-berakhir-di-pasungan/(diakses pada 14 Desember 2023).