Skip to main content
Presiden Xi Jinping berbicara saat pembukaan Kongres Nasional ke-19 Partai Komunis Tiongkok di Beijing, 18 Oktober 2017. © 2017 Aly Song/Reuters

Kunjungan Perdana Menteri Anthony Albanese ke Tiongkok, yang dimulai pada hari Sabtu, menandai peringatan 50 tahun kunjungan pertama oleh seorang perdana menteri Australia, Gough Whitlam, pada tahun 1973. Albanese telah mencerminkan bahwa prinsip-prinsip di balik visi Whitlam di Tiongkok masih mendorong hubungan Australia dengan Tiongkok.

Visi Whitlam untuk hubungan Tiongkok-Australia tidak diragukan lagi berfokus pada perluasan perdagangan. Tapi tak hanya itu. Saat berada di Tiongkok pada tahun 1973, ia berkata: "Saya ingin melakukan kunjungan ini di tahun pertama masa jabatan saya sebagai wujud nyata dari arti penting yang diberikan oleh rakyat Australia untuk mengembangkan hubungan dengan Tiongkok, dan dengan keyakinan bahwa kedua negara kita ini sekarang seyogianya bekerja bersama untuk saling memberi keuntungan demi kesejahteraan dan keamanan rakyat kedua negara."

Apa yang lebih berkaitan dengan kesejahteraan dan keamanan selain penghormatan terhadap hak asasi manusia? Dan, selama 50 tahun terakhir telihat jelas bahwa realitas hak asasi manusia Tiongkok dan Australia semakin saling terkait.

Whitlam memberikan perhatian khusus pada pengadopsian perjanjian internasional yang masih digunakan untuk melindungi hak asasi manusia saat ini. Tetapi Albanese berkunjung saat pemerintah Tiongkok melemahkan sistem hak asasi manusia multilateral. Pemerintah Tiongkok berusaha untuk memposisikan kembali hukum hak asasi manusia internasional sebagai masalah hubungan antarnegara, bukan sebagai kewajiban global untuk melindungi individu.

Pemerintah Tiongkok berusaha mengejar pembangunan tanpa HAM (rights-free development) di seluruh dunia. Pemerintah Tiongkok berusaha untuk menetralisir pengawasan mekanisme hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Tiongkok dan, lebih luas lagi, melemahkan kemampuan PBB untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah setiap negara atas pelanggaran serius.

Dan pemerintah Tiongkok melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dari kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang hingga penindasan yang dimungkinkan teknologi, penindasan transnasional terhadap orang-orang yang dianggap sebagai pembangkang di luar negeri, pembongkaran lembaga-lembaga demokrasi di Hong Kong, dan secara sewenang-wenang menahan para pembela hak asasi manusia, termasuk sejumlah warga negara Australia.

Dan selagi Albanese berada di Tiongkok, peringatan 50 tahun ini memberikan kesempatan untuk merefleksikan kembali pendekatan pemerintah Tiongkok terhadap masalah yang menjadi fokus utama Whitlam – hak-hak buruh. Pemerintah Whitlam meratifikasi instrumen hak asasi manusia yang signifikan, termasuk konvensi inti Organisasi Buruh Internasional (ILO) – perjanjian yang dirancang untuk melindungi hak-hak para pekerja. Pelanggaran mencolok yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap hak-hak buruh, termasuk larangan yang mereka berlakukan pada serikat pekerja independen, sangat kontras dengan undang-undang yang Whitlam perjuangkan di Australia.

Meski Tiongkok sudah meratifikasi dua perjanjian utama ILO tentang kerja paksa sebelum kunjungan Kepala Hak Asasi Manusia PBB saat itu Michelle Bachelet pada April 2022, sebuah laporan PBB tahun lalu menemukan bahwa tindakan pemerintah Tiongkok terhadap warga Uighur dan Muslim Turki lainnya di Xinjiang "dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan", dan bahwa kebijakan perburuhannya di kawasan itu "tampaknya bersifat atau berdampak diskriminatif, dan mengandung unsur paksaan".

Laporan PBB tentang Xinjiang merekomendasikan agar kalangan bisnis meningkatkan upaya untuk mengatasi risiko pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi dan rantai pasokan mereka, yang sebagian besar di antaranya terkait dengan Xinjiang. Pemerintah sejumlah negara telah membatasi impor atau mengambil langkah-langkah lain untuk membatasi kerja paksa, termasuk di Xinjiang, sementara yang lainnya menerapkan berbagai hukum uji tuntas yang mengharuskan perusahaan untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap operasi dan rantai pasokan global mereka. Australia masih belum melakukan keduanya.

Dalam sebuah surat kepada Albanese tentang kunjungan ini, Human Rights Watch mengatakan bahwa pemerintah Australia seharusnya mengambil tindakan untuk menunjukkan kepada Tiongkok bahwa penindasan ini dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap sistem hak asasi manusia internasional semestinya dihentikan. Ada sejumlah cara untuk melakukan ini.

Australia seyogianya menyatakan bahwa mereka akan bergabung dengan pemerintah negara-negara lain untuk mendukung penyelidikan internasional terhadap kekejaman di Xinjiang. Perdana menteri semestinya berbicara dengan para korban dan penyintas pelanggaran hak asasi manusia pemerintah Tiongkok sekembalinya dari lawatan luar negeri. Pemerintah Australia seharusnya memelopori koalisi pemerintah yang berpikiran sama untuk memulai sebuah proyek guna membantu warga Uighur di negara lain menemukan anggota keluarga yang hilang di Xinjiang.

Ketika mereka bertemu pada hari Senin, semestinya Albanese secara terbuka meminta Presiden Xi Jinping untuk membebaskan warga Australia yang ditahan secara sewenang-wenang di Tiongkok, termasuk Yang Hengjun, dan menjelaskan bahwa penahanan semena-mena terhadap siapa pun, baik warga negara Australia atau bukan, tidak dapat diterima. Ia semestinya memberi tahu rekan-rekannya bahwa pihak berwenang Australia akan dengan sungguh-sungguh dan secara tepat menuntut penindasan yang dilakukan para pejabat Tiongkok dan proksi mereka di Australia yang melanggar hukum Australia, termasuk melecehkan, mengintimidasi, dan melakukan pengawasan terhadap para kritikus pemerintah Tiongkok. Dan ia seharusnya menjelaskan bahwa pemerintah Australia akan bekerja dengan para sekutunya agar mereka melakukan hal yang sama di negara masing-masing.

Akhirnya, pemerintah Australia seyogianya menunjukkan dukungan untuk kebebasan media dengan mengadakan penjelasan singkat baik di Tiongkok maupun saat kembali sehingga jurnalis yang dilarang masuk ke Tiongkok dan Hong Kong dapat berpartisipasi.

Ketika Whitlam meninggal dunia, Albanese merenungkan: "Ia mengajari kami untuk menjadi berani – berani tentang ambisi reformasi kami, berani dalam menghadapi para kritikus kami dan tanpa kenal lelah mengejar ambisi terbesar yang bisa kami kejar: keadilan dan kesempatan untuk semua."

Meski Whitlam tidak secara terbuka mengangkat Revolusi Kebudayaan dan pelanggaran HAM berat dalam pidatonya tahun 1973 di Beijing, Albanese seharusnya berbeda. Albanese memiliki kesempatan untuk menjadi berani dan mengejar keadilan serta mengadvokasi kesejahteraan warga Australia dan rakyat Tiongkok. Pertanyaannya adalah apakah Australia akan menghadapi tantangan itu dengan penuh kesungguhan.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country