Skip to main content

Mengenang Peraih Nobel Asal Tiongkok Liu Xiaobo

Enam Tahun Sejak Kematian Liu, Aktivis Menentang Penindasan Beijing

Kursi kosong, piagam dan medali yang seharusnya diberikan kepada pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Liu Xiaobo di Balai Kota di Olso, Norwegia, 10 Desember 2010. © 2010 AP Photo/Scanpix/Heiko Junge

Besok adalah peringatan enam tahun kematian Liu Xiaobo. Peraih Nobel Perdamaian tahun 2010 itu meninggal dunia karena komplikasi kanker hati pada 13 Juli 2017, di sebuah rumah sakit di provinsi Liaoning dengan penjagaan ketat oleh pasukan keamanan negara.

Liu adalah seorang kritikus sastra Tiongkok dan pemimpin aksi protes pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen tahun 1989. Dia dipenjara tiga kali karena kritik damainya terhadap pemerintah. Tetapi penganiayaan tanpa henti makin memperdalam bukannya mengurangi komitmen Liu untuk mempromosikan hak asasi manusia di seluruh Tiongkok. Pada tahun 2009, dia dijatuhi hukuman 11 tahun penjara karena “menghasut subversi,” tuduhan yang berasal dari keterlibatannya dalam penyusunan Piagam 08, sebuah manifesto pro-demokrasi. Menanggapi tuduhan tersebut, dia menulis, “tidak ada kekuatan yang dapat mengakhiri pencarian manusia akan kebebasan, dan Tiongkok pada akhirnya akan menjadi negara yang diatur oleh hukum, di mana hak asasi manusia jadi yang terpenting.”

Bertahun-tahun sejak kematiannya, para aktivis Tiongkok dan warga biasa bersama-sama telah membuktikan ini berkali-kali.

Pada tahun 2019 dan 2020, jutaan warga Hong Kong turun ke jalan dengan damai menentang upaya pihak berwenang dalam melemahkan supremasi hukum. Puluhan pengacara hak asasi manusia telah bekerja untuk memajukan kebebasan berekspresi dan berserikat melalui sistem hukum. Pada akhir 2022, setelah tiga tahun penguncian (lockdown)sewenang-wenang di bawah kebijakan “nol-Covid”  yang dijalankan pemimpin Tiongkok Xi Jinping, sejumlah aksi protes spontan meletus di seluruh Tiongkok dan di dalam komunitas diaspora Tiongkok di seluruh dunia menyerukan diakhirinya pembatasan berbahaya dan kurangnya akuntabilitas dalam kebijakan tersebut. Warga Tibet dan Mongolia memprotes penghapusan pendidikan bahasa ibu dari sekolah-sekolah, sementara kelompok feminis menentang pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan diskriminasi di tempat kerja. Sementara Ibu-Ibu Tiananmen terus memperingati pembantaian itu setiap tanggal 4 Juni.

Pihak berwenang Tiongkok menanggapi aktivisme ini dengan penindasan yang lebih keras, menyebarkan ketakutan dan kekejaman untuk meredam setiap penentangan terhadap kekuasaan mereka. Liu memperingatkan pendekatan semacam itu hanya akan memperpanjang perlawanan, dan sebaliknya, ia berpandangan bahwa lingkungan di mana “semua pandangan politik akan menyebar di muka bumi untuk dipilih oleh masyarakat, di mana setiap warga negara dapat menyatakan pandangan politik tanpa rasa takut, dan di mana tak seorang pun, dalam keadaan apa pun, harus mengalami penganiayaan politik karena menyuarakan pandangan politik yang berbeda.”

Beijing sebaiknya memperhatikan nasihat Liu itu.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country