(New York) – Pihak berwenang Tiongkok meningkatkan upaya untuk menghapus ingatan mengenai Pembantaian Lapangan Tiananmen 4 Juni 1989 di Beijing sementara orang-orang di seluruh dunia memperingati peristiwa tersebut, kata Human Rights Watch hari ini.
Pemerintah Tiongkok seharusnya mengakui tanggung jawabnya atas pembunuhan massal para demonstran pro-demokrasi tersebut dan memberikan ganti rugi bagi para korban dan anggota keluarga mereka.
“Pemerintah Tiongkok terus menghindari pertanggungjawaban atas Pembantaian Tiananmen yang berlangsung puluhan tahun lalu, yang telah mendorong penahanan sewenang-wenang terhadap jutaan orang, penyensoran dan pengawasan ketat, dan upayanya untuk merongrong hak asasi manusia secara internasional,” kata Yaqiu Wang, peneliti senior Tiongkok di Human Rights Watch. “Tetapi, orang-orang di seluruh Tiongkok dan dunia terus mempertaruhkan keselamatan dan kebebasan mereka dengan bersuara dan menuntut hak-hak mereka.”
Baru-baru ini, pada akhir tahun 2022, ribuan orang di seluruh Tiongkok turun ke jalan untuk memprotes tindakan keras pemerintah dalam menangani Covid-19 dan pemerintahan otoriter Partai Komunis Tiongkok. Menanggapi protes itu, pemerintah tiba-tiba mencabut sebagian besar pembatasan pandemi, tetapi menahan puluhan pengunjuk rasa.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada pekan-pekan sebelum memperingati pembantaian Tiananmen, pihak berwenang sudah mendahului peringatan. Mereka membatasi pergerakan dan komunikasi para aktivis dan anggota Tiananmen Mothers atau Para Ibu Tiananmen, sekelompok kerabat korban pembantaian 1989. Pada 27 Mei 2023, pihak berwenang di Provinsi Hunan menahan aktivis Chen Siming setelah pria tersebut menolak menghapus cuitannya di Twitter yang mengenang Tiananmen. Polisi di Shandong memanggil aktivis Qi Chonghuai dan memperingatkan dia agar tidak berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan peringatan.
Tiananmen Mothers mengeluarkan sebuah pernyataan terbuka yang menegaskan kembali seruan mereka demi “kebenaran, kompensasi dan pertanggungjawaban” atas pembantaian tersebut.
Menanggapi kegiatan peringatan tahun 2022, pihak berwenang di Hangzhou menahan Xu Guang, seorang aktivis dan peserta gerakan pro-demokrasi 1989, tak lama setelah dia pergi ke kantor polisi setempat untuk menuntut pemerintah Tiongkok mengakui pembantaian tersebut. Pada bulan April, pengadilan mengadili pria tersebut karena “memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah”. Vonisnya sampai kini belum diumumkan.
Pada Juli 2022, pihak berwenang menahan seorang teman Xu, Chen Ziliang, 55 tahun, seorang anggota Partai Demokrasi yang terlarang, terkait dengan penyelidikan terhadap Xu. Pada bulan Desember, Chen, yang menderita strok sebelum penahanannya, meninggal dalam tahanan setelah tidak mendapat perawatan medis yang memadai. Pihak berwenang memperingatkan keluarga Chen agar tidak membicarakan kematian pria tersebut di depan umum. Di Guangdong, pihak berwenang menghilangkan secara paksa aktivis Ye Hongwen, tak lama setelah dia mengunggah foto dirinya di Twitter yang memperingati Tiananmen di sebuah lapangan tahun 2022. Dia kemudian dibebaskan.
Pada Maret, Jiang Yanyong, seorang dokter terkemuka yang dikenal karena membeberkan penyembunyian epidemi SARS oleh pemerintah Tiongkok pada tahun 2003, meninggal dunia di Beijing. Jiang, seorang saksi pembunuhan yang dilakukan militer pada bulan Juni 1989 sebagai dokter bedah di sebuah rumah sakit militer di Beijing, telah meminta para pemimpin Tiongkok agar mengakui pembantaian tersebut, yang membuat pria itu ditahan untuk kali pertama ditahan dan kemudian secara berkala menjadi sasaran pemantauan, gangguan, dan tahanan rumah. Pihak berwenang hanya mengizinkan beberapa anggota keluarga dan mahasiswanya untuk menghadiri pemakaman Jiang.
Di Hong Kong, pada bulan Februari, pengadilan menjatuhkan hukuman empat setengah bulan penjara kepada tiga penyelenggara acara aksi tahunan Tiananmen -yang sekarang dilarang- karena tidak memberikan informasi kepada pihak berwenang soal kelompok penyelenggara tersebut. Di antara mereka saat itu, Chow Hang-tung telah menjalani hukuman masing-masing 15 bulan dan 12 bulan karena berpartisipasi dalam peringatan tahun 2021 dan 2020. Pada 4 Juni 2022, meskipun ada larangan dan dijaga banyak polisi, beberapa orang masih mendatangi Taman Victoria, tempat acara peringatan, dan menyalakan lilin elektronik dan senter ponsel, atau menyanyikan sejumlah lagu kenangan. Polisi menangkap 15 peserta acara tersebut karena menghalang-halangi petugas dan pelanggaran lainnya.
Pada Mei, kepolisian Hong Kong menyita “Pillar of Shame”, sebuah patung besar yang dibuat untuk mengenang para korban pembantaian, dari sebuah fasilitas yang dijalankan oleh Universitas Hong Kong. Sebelumnya otoritas universitas telah memindahkan patung itu dari kampus pada tahun 2021. Pematungnya yang berasal dari Denmark, Jens Galschiø, berulang kali mencoba untuk mengambil kembali karya tersebut, tetapi universitas mengabaikannya. Pada bulan Mei itu pula, otoritas Hong Kong menghapus setidaknya sembilan judul buku tentang pembantaian di Lapangan Tiananmen dari sejumlah perpustakaan umum di kota tersebut. Bulan itu Keuskupan Katolik Hong Kong mengumumkan bahwa tidak akan ada misa peringatan Tiananmen tahun ini; Gereja membatalkan misa tahun 2022 karena kekhawatiran atas Undang-Undang Keamanan Nasional.
Berbeda dengan keheningan yang dipaksakan di wilayah Tiongkok dan Hong Kong, orang-orang di seluruh dunia, termasuk di Paris, Boston, Sydney, dan Osaka, mengadakan diskusi publik, pameran, pertemuan, dan menerbitkan esai untuk memperingati penumpasan Tiananmen. Berbagai acara tersebut diselenggarakan oleh kelompok pro-demokrasi diaspora terkenal atau akun media sosial anonim. Beberapa mengenakan kostum Xi Jinping sementara yang lain mengenakan pakaian hitam. Banyak yang menutupi wajah mereka karena takut akan pembalasan oleh otoritas Tiongkok terhadap mereka atau keluarga mereka di Tiongkok. Banyak anak muda yang lahir setelah pembantaian tersebut ikut serta dalam aksi unjuk rasa di kawasan Los Angeles.
Pemerintah Tiongkok telah lama mengabaikan seruan dari dalam maupun luar negeri untuk keadilan atas Pembantaian Tiananmen, dan beberapa sanksi yang diberlakukan oleh Uni Eropa dan AS atas sikap tersebut, selama bertahun-tahun telah dilemahkan atau dihindari. Kurangnya tanggapan internasional yang berkelanjutan dan terkoordinasi terhadap pembantaian tersebut dan tindakan keras setelahnya adalah salah satu faktor pelanggaran hak asasi manusia Beijing yang semakin berani dilakukan, kata Human Rights Watch. Ini termasuk pengetatan kontrol terhadap masyarakat sipil, media, dan internet, penahanan massal sekitar satu juta Muslim Turki di Xinjiang, dan pemberlakuan langsung undang-undang keamanan nasional di Hong Kong yang menekan kebebasan fundamental.
“Tidak peduli seberapa keras pemerintahan Tiongkok di bawah Presiden Xi Jinping berusaha, mereka tidak akan berhasil menghapus memori Tiananmen dari benak rakyat Tiongkok,” kata Wang. “Semakin banyak anak muda di Tiongkok yang bergabung untuk menuntut kebenaran dan akuntabilitas.”
Pembantaian Tiananmen dipicu oleh pertemuan damai para mahasiswa, pekerja, dan kelompok lainnya di Lapangan Tiananmen Beijing dan kota-kota Tiongkok lainnya pada April 1989, yang menyerukan kebebasan berekspresi, akuntabilitas, dan diakhirinya korupsi. Pemerintah menanggapi protes yang semakin intensif pada akhir Mei 1989 itu dengan mengumumkan darurat militer.
Pada 3 dan 4 Juni, sejumlah anggota Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menembaki dan membunuh banyak sekali pengunjuk rasa dan warga di sekitar lokasi. Di Beijing, beberapa warga menyerang konvoi tentara dan membakar kendaraan sebagai tanggapan atas kekerasan yang dilakukan militer.
Menyusul pembantaian tersebut, pemerintah melakukan penumpasan di seluruh negeri dan menangkap ribuan orang dengan tuduhan “kontra-revolusi” dan tuduhan kejahatan lainnya, termasuk pembakaran dan menganggu ketertiban sosial.
Pemerintah tidak pernah menerima tanggung jawab atas pembantaian tersebut atau meminta pertanggungjawaban secara hukum atas pembunuhan tersebut. Pemerintah tak pernah mau menyelidiki peristiwa tersebut atau merilis data tentang mereka yang dibunuh, terluka, dihilangkan secara paksa, maupun dipenjara. Tiananmen Mothers mendokumentasikan rincian 202 orang yang dibunuh selama penumpasan gerakan di Beijing dan kota-kota lainnya.
Sebagai pihak dalam sejumlah perjanjian hak asasi manusia internasional dan sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa saat ini, yang mewajibkan Tiongkok untuk “menjunjung standar hak asasi manusia yang paling tinggi”, pemerintah Tiongkok seharusnya segera mengambil langkah-langkah berikut sehubungan dengan Pembantaian Tiananmen:
- Menghormati hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai, serta menghentikan gangguan dan penahanan sewenang-wenang terhadap individu yang menentang laporan resmi mengenai Pembantaian Tiananmen;
- Bertemu dan meminta maaf kepada para anggota Tiananmen Mothers, mengumumkan nama para korban yang meninggal, dan memberikan kompensasi yang pantas kepada keluarga korban;
- Mengizinkan penyelidikan publik yang independen atas peristiwa Tiananmen dan dampaknya, dan segera mempublikasikan temuan dan kesimpulannya;
- Membolehkan kembalinya warga negara Tiongkok yang diasingkan karena keterkaitan mereka dengan peristiwa tahun 1989 tanpa hambatan; dan
- Menyelidiki semua pejabat pemerintah dan militer yang merencanakan atau memerintahkan penggunaan kekuatan mematikan yang melanggar hukum terhadap para demonstran, dan mengadili mereka sebagaimana mestinya.