Skip to main content
© 2022 John Holmes for Human Rights Watch

(Beirut) - Pemerintah Irak seharusnya segera menarik kembali rancangan undang-undang yang saat ini diajukan ke parlemen yang akan memberlakukan hukuman mati bagi hubungan seksual sesama jenis dan hukuman penjara bagi ekspresi transgender, kata Human Rights Watch hari ini. Jika disahkan, RUU itu akan melanggar hak asasi manusia yang mendasar, termasuk hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, privasi, kesetaraan, dan nondiskriminasi bagi kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Irak.

Pada 15 Agustus 2023, Raad Al-Maliki, seorang anggota parlemen independen, memperkenalkan sebuah RUU yang akan mengamendemen "Undang-Undang Pemberantasan Prostitusi," No. 8 tahun 1988, untuk secara eksplisit menjadikan hubungan sesama jenis dan ekspresi transgender sebagai tindak pidana. Jika RUU disahkan menjadi UU, ia akan mengganjar hubungan sesama jenis dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, menghukum orang yang "mempromosikan homoseksualitas" dengan pidana minimal tujuh tahun penjara berikut denda, dan mengkriminalisasi "meniru-niru perempuan" dengan hukuman penjara hingga tiga tahun. Dalam memperkenalkan RUU itu, Al-Maliki mengaku bertujuan untuk "melestarikan entitas masyarakat Irak dari penyimpangan dan menyerukan 'paraphilia' [dorongan seksual abnormal] yang telah menginvasi dunia."

"UU anti-LGBT yang diusulkan Irak akan mengancam kehidupan warga Irak yang sudah menghadapi lingkungan tak bersahabat bagi kelompok LGBT," kata Rasha Younes, peneliti senior hak-hak LGBT di Human Rights Watch. "Anggota parlemen Irak mengirim pesan mengerikan kepada kelompok LGBT bahwa ucapan mereka adalah kejahatan dan nyawa mereka bisa melayang."

Meskipun perilaku sesama jenis konsensual tidak secara eksplisit dikriminalisasi di Irak, pihak berwenang telah menggunakan undang-undang "moralitas" yang samar-samar untuk mengadili orang-orang LGBT. Pengenalan RUU anti-LGBT ini menyusul retorika permusuhan secara berbulan-bulan terhadap minoritas seksual dan gender oleh para pejabat Irak, serta tindakan keras yang diambil pemerintah terhadap kelompok-kelompok hak asasi manusia.

RUU yang telah dikaji oleh Human Rights Watch tersebut menyamakan hubungan sesama jenis dengan "penyimpangan seksual," yang didefinisikan sebagai "hubungan seksual berulang antara orang berjenis kelamin yang sama ... jika terjadi lebih dari tiga kali." Ia juga mengatur hukuman tujuh tahun penjara serta denda antara 10 juta dinar Irak (US $ 7.700) hingga 15 juta dinar ($ 11.500) karena "mempromosikan homoseksualitas," yang tidak terdefinisi.

RUU tersebut secara khusus menyasar perempuan transgender, dengan hukuman penjara antara satu hingga tiga tahun, atau dengan denda antara 5 juta dinar ($ 3.800) hingga 10 juta dinar ($ 7.700) bagi siapa saja yang "meniru perempuan." Undang-undang mendefinisikan "meniru-niru perempuan" sebagai "memakai riasan dan pakaian perempuan" atau "tampil sebagai perempuan" di ruang publik.

RUU itu melarang terapi penggantian hormon dan apa yang disebutnya "perubahan jenis kelamin" berdasarkan keinginan pribadi, serta segala upaya untuk mengubah identitas gender seseorang, yang dapat dikenai pidana penjara antara satu hingga tiga tahun. Hukuman yang sama berlaku untuk setiap ahli bedah atau dokter lain yang menangani operasi penegasan gender. Undang-undang membuat pengecualian interseks untuk kasus-kasus yang memerlukan intervensi bedah untuk mengkonfirmasi jenis kelamin biologis, berdasarkan kategori biner laki-laki dan perempuan.

Kekerasan dan diskriminasi terhadap LGBT sudah merajalela di Irak. Pengincaran kelompok LGBT secara daring dan kekerasan mematikan terhadap orang-orang LGBT oleh sejumlah kelompok bersenjata di Irak kerap kali mendapat kekebalan hukum, kata Human Right Watch.

Pada 8 Agustus, Komisi Komunikasi dan Media Irak menerbitkan sebuah arahan yang memerintahkan semua media agar mengganti istilah "homoseksualitas" dengan "penyimpangan seksual" dalam bahasa yang mereka terbitkan dan disiarkan dan melarang penggunaan istilah "gender."

Pada 31 Mei, sebuah pengadilan di wilayah Kurdistan Irak memerintahkan penutupan Rasan Organization, sebuah organisasi hak asasi manusia di Wilayah Kurdistan, atas "kegiatan-kegiatannya seputar homoseksualitas."

Pada September 2022, anggota parlemen regional Kurdistan memperkenalkan "RUU tentang Larangan Mempromosikan Homoseksualitas," yang akan menghukum setiap individu atau kelompok yang mengadvokasi hak-hak orang LGBT.

Pemerintah Irak bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak semua warga Irak, kata Human Rights Watch. Undang-undang yang diusulkan tersebut bertentangan dengan Konstitusi Irak, yang melindungi hak atas nondiskriminasi (pasal 14) dan privasi (pasal 17), serta kewajibannya di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diratifikasi Irak pada tahun 1971, menegaskan hak untuk hidup, kebebasan, privasi, kebebasan berekspresi, dan keamanan orang tersebut. Demikian pula, Piagam Arab tentang Hak Asasi Manusia, di mana Irak juga adalah anggotanya, menegaskan hak-hak ini.

Perlindungan yang tidak setara terhadap kekerasan dan akses yang tidak setara terhadap keadilan dilarang di bawah hukum internasional. ICCPR, dalam pasal 2 dan 26, menjamin hak asasi manusia yang mendasar dan perlindungan hukum yang setara tanpa diskriminasi. Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan ahli internasional yang memberikan interpretasi otoritatif atas kovenan tersebut, telah menjelaskan bahwa orientasi seksual adalah status yang dilindungi dari diskriminasi berdasarkan ketentuan ini.

"Pemerintah Irak telah gagal memberantas praktik-praktik diskriminatif yang mendukung kekerasan terhadap kelompok LGBT," kata Younes. "Sebaliknya, Pemerintah Irak telah mempromosikan undang-undang berbasis moralitas anti-LGBT yang memicu kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas seksual dan gender yang sudah terpinggirkan. Pemerintah Irak seharusnya segera meninggalkan undang-undang anti-LGBT yang diusulkan dan mengakhiri siklus kekerasan dan impunitas terhadap kelompok LGBT."

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Topic