Skip to main content

Thailand: Cabut Tuntutan Terhadap Para Pembela HAM

Cabut Pidana Pencemaran, Perkuat Langkah-Langkah Anti-SLAPP

Tiga pembela hak asasi manusia asal Thailand —Angkhana Neelapaijit, Puttanee Kangkun, dan Thanaporn Saleephol—menghadapi tuduhan pencemaran karena melaporkan sejumlah pelanggaran. © 2022 Prachatai

(New York) — Jaksa di Thailand seharusnya segera mencabut kasus pidana pencemaran yang diajukan oleh Thammakaset Company Ltd. terhadap tiga pembela hak asasi manusia terkemuka atas dukungan mereka terhadap sejumlah aktivis lain yang menghadapi tuntutan pidana, kata Human Rights Watch hari ini. Pemerintah Thailand seharusnya mengambil tindakan guna mencabut ketentuan-ketentuan pencemaran dan memperkenalkan perlindungan yang kuat untuk mencegah penggunaan tindakan hukum yang sembrono, menjengkelkan, atau jahat yang akan berdampak buruk bagi kebebasan berpendapat.

Pada 14 Maret 2023, Pengadilan Pidana Bangkok Selatan memulai persidangan yang melibatkan 28 dakwaan dugaan pencemaran berdasarkan KUHP Thailand pasal 326 dan 328. Tuduhan tersebut berasal dari unggahan atau unggahan ulang di media sosial oleh Angkhana Neelapaijit, Puttanee Kangkun, dan Thanaporn Saleephol yang mengungkapkan solidaritas mereka pada pembela hak asasi manusia lainnya yang sedang menghadapi tuntutan hukum yang diajukan oleh Thammakaset. Mereka menuding Thammakaset atas pelanggaran hak buruh di peternakan ayam perusahaan di Provinsi Lopburi. Perusahaan telah mengajukan setidaknya 37 kasus perdata dan pidana terhadap para pembela hak, jurnalis, dan pekerja sejak 2016.

“Pihak berwajib Thailand seharusnya tidak membantu perusahaan menggunakan pidana pencemaran atau jalur hukum lainnya untuk membungkam pekerja agar tidak mengajukan keluhan tentang kondisi kerja mereka, maupun para pembela hak asasi manusia, atau jurnalis karena melaporkan dugaan pelanggaran di perusahaan,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch. “Tuduhan terhadap Angkhana, Puttanee, dan Thanaporn seharusnya segera dibatalkan, dan pihak berwajib Thailand seharusnya bertindak untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa mendatang.”

Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan dalam Komentar Umum No. 34 tentang kebebasan berekspresi bahwa pemerintah “harus mengambil langkah-langkah yang efektif untuk melindungi siapapaun dari serangan yang bertujuan membungkam mereka yang menjalankan hak kebebasan berekspresi, termasuk orang-orang yang bertugas mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang situasi HAM serta mempublikasikan laporan terkait HAM.”

Pada 16 Desember 2022, Kelompok Kerja PBB untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia mendesak pihak berwenang Thailand untuk mengambil tindakan guna menghentikan tuntutan hukum Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP) yang semakin banyak digunakan oleh perusahaan Thailand untuk mengintimidasi jurnalis dan pembela hak asasi manusia.

Kelompok Kerja tersebut secara khusus menyebut Thammakaset, dengan menyatakan bahwa: “Sejumlah kasus yang diajukan oleh perusahaan, seperti Thammakaset Company Limited, terhadap pembela hak asasi manusia adalah contoh nyata dari bisnis yang menyalahgunakan sistem hukum untuk menyensor, mengintimidasi, dan membungkam kritik melalui SLAPP sebagai metode pelecehan yudisial.”

Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-ocha telah berulang kali menekankan soal pentingnya perusahaan menghormati hak asasi manusia dalam operasi mereka dan menjunjung tinggi Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Pada Oktober 2019, Thailand menjadi negara pertama di Asia yang mengumumkan Rencana Aksi Nasional tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, yang berkomitmen untuk melindungi pembela hak asasi manusia dan mencegah pelecehan yudisial. Namun dakwaan terhadap Angkhana, Puttanee, dan Thanaporn, serta kegagalan untuk membantu mereka yang masih menghadapi banyak kasus perdata dan pidana lainnya yang diajukan oleh Thammakaset, sangat bertentangan dengan janji pemerintah Thailand untuk melindungi hak asasi manusia, kata Human Rights Watch.

Pada 2018, Majelis Nasional mengamendemen Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk mencegah penyalahgunaan kasus pidana. Meskipun itu merupakan langkah yang berguna, pemerintah Thailand seharusnya mencabut semua ketentuan pidana pencemaran. Baik jaksa maupun pengadilan di Thailand tidak pernah benar-benar melaksanakan, apalagi mempertimbangkan, untuk mengamendemen pasal 161/1, yang membolehkan hakim untuk menolak dan melarang pengajuan kembali pengaduan pidana oleh perorangan jika pengaduan itu diajukan “dengan itikad buruk atau dengan penyajian yang keliru atas fakta-fakta yang ada untuk melecehkan atau memanfaatkan terdakwa.” Lebih lanjut, pasal 165/2 mengizinkan pengajuan bukti yang menunjukkan bahwa pengaduan tersebut “kurang pantas”.

Ketentuan-ketentuan reformasi KUHAP ini masih belum digunakan dan belum teruji. Penting juga untuk menyediakan sumber daya dan dukungan yang memadai bagi para jaksa penuntut umum untuk melaksanakan kewenangan mereka berdasarkan pasal 21 dari Undang-Undang Kejaksaan 2010 untuk menyaring kasus-kasus yang remeh-temeh.

Human Rights Watch, bersama dengan semakin banyak pemerintah dan lembaga internasional, sudah secara konsisten menyerukan pencabutan hukum pidana pencemaran karena pada dasarnya tidak proporsional untuk ekspresi ucapan yang dinilai merusak reputasi. Hukum perdata pencemaran, bila dilengkapi dengan perlindungan anti-SLAPP yang kuat, menyeimbangkan kebutuhan pelaporan yang adil demi kepentingan publik dengan kekhawatiran tentang kerugian reputasi bagi pelaku swasta. Selain itu, seperti yang ditunjukkan oleh dakwaan terhadap Angkhana, Puttanee, dan Thanaporn, hukum pidana pencemaran di Thailand mudah disalahgunakan dan dapat berdampak buruk pada kebebasan berekspresi demi kepentingan publik.

Thailand seharusnya memberlakukan undang-undang anti-SLAPP yang komprehensif untuk memperkuat perlindungan kebebasan berbicara dan berekspresi, lalu mencegah pembalasan terhadap para pekerja, pembela hak asasi manusia, dan jurnalis, kata Human Rights Watch.

Pelapor khusus PBB dalam soal hak kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai merekomendasikan bahwa “Negara seharusnya melindungi dan memfasilitasi hak kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat untuk memastikan bahwa hak-hak ini dinikmati oleh semua orang” termasuk dengan “menetapkan undang-undang anti-SLAPP yang memungkinkan pemecatan dini (dengan pesangon) dari tuntutan tersebut dan penggunaan langkah-langkah untuk menghukum pelanggaran.”

“PBB dan pemerintah dari seluruh dunia seharusnya bersama-sama dengan Thailand berupaya mereformasi untuk memperkuat perlindungan anti-SLAPP dan menunjukkan bahwa undang-undang pencemaran dan tidak adanya perlindungan anti-SLAPP yang kuat menghambat kemampuan bisnis untuk menegakan hak asasi manusia yang penting dan uji tuntas kelayakan” kata Elaine Pearson. “Jika pemerintah Thailand tidak bergerak sekarang untuk melindungi Angkhana, Puttanee, dan Thanaporn dari jerat pidana, janji yang dibuat para pejabat Thailand dalam hal bisnis dan hak asasi manusia akan jadi omong kosong belaka.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Topic