(Jakarta) - Pemerintah Indonesia seyogianya menangguhkan dan secara substansial merevisi peraturan tentang konten daring guna memenuhi standar hak asasi manusia internasional, kata Human Rights Watch dalam surat 17 Mei 2021 kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020, yang mulai berlaku pada November 2020 dengan sedikit konsultasi, mewajibkan semua layanan dan platform digital swasta untuk mendaftar ke Kementerian Komunikasi dan Informatika dan setuju untuk memberikan akses ke sistem dan data mereka sebagaimana ditentukan dalam peraturan tersebut. Layanan dan platform digital yang gagal mendaftar sebelum 24 Mei akan diblokir di Indonesia. Menkominfo seharusnya menangguhkan peraturan ini sebelum tenggat tersebut.
“Peraturan ini adalah alat sensor yang memberikan beban tidak realistis pada banyak layanan dan platform digital yang digunakan di Indonesia,” kata Linda Lakhdhir, penasihat hukum wilayah Asia di Human Rights Watch. “Ini menghadirkan risiko serius bagi privasi, kebebasan berbicara, dan akses informasi para pengguna internet Indonesia.”
Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 ini mengatur semua “operator sistem elektronik” swasta yang dapat diakses di Indonesia, yang didefinisikan secara luas termasuk media sosial dan platform berbagi konten lainnya, loka pasar (marketplace), mesin pencari, layanan keuangan, layanan pemrosesan data, dan layanan komunikasi yang menyediakan pesan atau panggilan video dan permainan (games). Peraturan baru tersebut akan memengaruhi layanan dan platform digital nasional dan regional, serta perusahaan multinasional seperti Google, Facebook, Twitter, dan TikTok.
Perusahaan-perusahaan ini diharuskan untuk “memastikan” bahwa platform mereka tidak berisi atau memfasilitasi distribusi “konten terlarang”, yang menyiratkan bahwa mereka berkewajiban untuk memantau konten. Kegagalan untuk melakukannya dapat menyebabkan pemblokiran atas seluruh platform. Persyaratan peraturan yang mengharuskan perusahaan secara proaktif memantau atau memfilter konten tidak konsisten dengan hak privasi dan kemungkinan besar merupakan sensor pra-publikasi, kata Human Rights Watch.
Definisi peraturan tentang konten terlarang sangat luas, mencakup tidak hanya konten yang melanggar undang-undang Indonesia yang sudah terlalu luas membatasi kebebasan berpendapat, tetapi juga materi apa pun yang “menyebabkan keresahan publik atau kekacauan publik” atau informasi tentang cara memberikan akses, atau secara langsung memberikan akses kepada, materi terlarang. Yang terakhir termasuk Virtual Private Networks (VPN), yang memungkinkan pengguna mengakses konten yang diblokir tetapi juga secara rutin digunakan oleh bisnis dan individu untuk memastikan privasi untuk aktivitas hukum.
Untuk permintaan “mendesak”, peraturan tersebut mewajibkan perusahaan untuk menghapus konten dalam waktu empat jam. Untuk semua konten terlarang lainnya, mereka harus melakukannya dalam waktu 24 jam setelah diberi tahu oleh kementerian. Jika mereka gagal, regulator dapat memblokir layanan atau, dalam kasus penyedia layanan yang memfasilitasi konten buatan pengguna, menjatukan sanksi berupa denda yang cukup besar.
Waktu yang diberikan untuk memberikan tanggapan sangat pendek dan tidak realistis, terutama bagi perusahaan yang bekerja di banyak zona waktu, dan akan membebani perusahaan kecil dengan staf terbatas. Kerangka waktu yang sangat singkat untuk menghapus konten ini sangat mungkin bakal mengarahkan penyedia layanan untuk terlebih dahulu menghapus konten. Ini dilakukan guna memastikan kepatuhan dan bisa memaksa penutupan penyedia yang lebih kecil dan tidak memiliki cukup staf untuk menanggapi permintaan macam itu, kata Human Rights Watch.
Peraturan tersebut tampaknya tidak memberikan mekanisme bagi perusahaan maupun orang yang menerbitkan konten untuk menentang perintah kementerian, baik sebelum atau setelah konten dihapus. Kurangnya pengamanan prosedural dan saluran pengajuan banding hanya memperburuk risiko bahwa regulator akan menyalahgunakan sejumlah ketentuan untuk menghapus konten.
Berdasarkan peraturan tersebut, perusahaan juga harus menyediakan akses ke “sistem” dan “data” mereka untuk tujuan “pengawasan” setiap kali diminta oleh pihak berwenang. Perusahaan juga harus mengizinkan otoritas penegak hukum untuk mengakses data elektronik untuk investigasi kriminal atas bermacam pelanggaran yang dijatuhi hukuman setidaknya dua tahun penjara. Sejumlah persyaratan bahwa pihak berwenang mendapat akses langsung ke sistem atau sejumlah besar informasi yang dikumpulkan dan disimpan oleh perusahaan swasta menjadi perhatian serius. Persyaratan-persyaratan tersebut sangat rawan disalahgunakan, cenderung menghindari pengamanan prosedural utama, dan dapat dengan mudah melampaui batas dari apa yang dianggap perlu dan proporsional, kata Human Rights Watch.
Untuk memfasilitasi permintaan akses, Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 ini mengharuskan setiap perusahaan untuk menunjuk penghubung lokal guna menerima dan menindaklanjuti permintaan tersebut. Perusahaan yang tidak bisa memberikan akses bagi regulator dan penegak hukum akan menghadapi hukuman mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan pendaftaran mereka. Persyaratan untuk menunjuk narahubung lokal di Indonesia akan membuat perusahaan jauh lebih rentan terhadap tekanan untuk mematuhi permintaan yang berlebihan untuk menghapus konten, dan pasti akan menyebabkan peningkatan penyensoran yang tidak perlu serta membahayakan privasi masyarakat dan hak mereka untuk mengakses informasi.
“Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 ini merupakan bencana hak asasi manusia yang akan menghancurkan kebebasan berekspresi di Indonesia, dan seharusnya tidak digunakan dalam bentuknya saat ini,” kata Lakhdhir. “Pemerintah Indonesia seyogianya segera menangguhkan peraturan tersebut, dan memulai proses konsultasi dengan para pemangku kepentingan dan kelompok masyarakat sipil berdasarkan premis bahwa peraturan baru atau yang direvisi harus mematuhi standar internasional untuk privasi dan kebebasan berekspresi.”