(Jakarta) pemerintah Indonesia gagal menghadirkan transparansi dan akses informasi untuk memerangi wabah COVID-19, menurut Human Rights Watch hari ini. Pihak berwenang kembali menjerat sejumlah orang dengan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas pendapat daring mereka tentang minimnya respon pemerintah.
Pemerintah Indonesia mengakui bahwa pelaporan tentang virus ini masih belum memadai. Pada 5 April 2020, juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyampaikan bahwa data Kementerian Kesehatan tidak sesuai dengan angka yang dilaporkan pemerintah sejumlah provinsi, dan bahwa data kementerian masih terbatas, sehingga instansinya “tidak dapat menyajikan data yang lengkap.” Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta — yang menjadi pusat penyebaran infeksi dengan setengah jumlah kasus berasal dari Jakarta dan sekitarnya — menyatakan kekhawatiran bahwa jumlah kasus positif dan angka kematian yang dilaporkan masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah sebenarnya karena minimnya kapasitas tes.
“Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kapasitas tes agar bisa mengetahui sejauh mana sebenanrya tingkat penyebaran wabah virus corona di negara ini,” ujar Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch. “Pihak berwenang juga seyogianya menjamin hak atas informasi dan menyediakan data statistik yang akurat untuk masyarakat.”
Jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 di Indonesia pun masih belum jelas. Pada 7 April, Kementerian Kesehatan mengumumkan 2.941 kasus positif dengan 209 orang meninggal dan 13.186 orang yang telah dites sejak 30 Desember, termasuk para awak kapal pesiar World Dream dan Diamond Princess. Meski demikian, sejak 6 April, Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta mencatat ada 639 jenazah yang dikebumikan dengan protokol COVID-19. Hal ini menandakan bahwa ada lebih banyak orang yang diduga mengidap COVID-19 tanpa pernah dites.
Sejumlah pejabat tinggi pemerintahan awalnya meremehkan virus ini. Pada Februari, Menteri Kesehatan Terawan Putranto membantah hasil perhitungan dari Harvard University yang mempertanyakan klaim Terawan bahwa tidak ada kasus COVID-19 di Indonesia. Terawan lalu menekankan kembali pentingnya “berdoa” untuk mencegah virus.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan dua kasus positif pertama di Indonesia, dari Depok, pada 2 Maret lalu. Hal ini terjadi lebih dari sebulan sejak Tiongkok memberlakukan lockdown di Wuhan dan sejumlah kota lain di provinsi Hubei pada 23 Januari.
Pelaksanaan tes masih sangat terbatas, dengan kurang dari 20 fasilitas yang tersedia untuk memproses hasil tes bagi negara dengan penduduk lebih dari 274 juta jiwa. Sebagian besar tes awalnya hanya dapat dilakukan di laboratorium-laboratorium di Jawa, pulau terpadat di Indonesia yang memiliki enam provinsi. Pada April, 12 mesin tes baru telah didatangkan untuk 12 provinsi lagi, dari total 34 provinsi.
Indonesia juga menghadapi kekurangan alat pelindung diri (APD) dan masker medis, sehingga banyak tenaga medis yang terpaksa menggunakan jas hujan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwa sejauh ini, setidaknya 31 tenaga medis, termasuk 20 dokter dan empat perawat, telah meninggal dunia akibat COVID-19. Sejumlah rumah sakit umum di Indonesia juga kekurangan peralatan, dengan hanya 661 unit perawatan intensif, dan hanya setengah di antaranya yang memiliki ventilator.
Pada 15 Maret, Presiden Jokowi memerintahkan warga untuk “Tetap di rumah, bekerja dari rumah, beribadah dari rumah,” namun hingga kini ia belum memberlakukan pembatasan pergerakan yang lebih ketat di tingkat nasional. Pada 7 April, pemerintah DKI Jakarta mengumumkan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama dua minggu di Jakarta sejak 10 April, termasuk penutupan sekolah-sekolah dan kantor serta pembatasan acara keagamaan dan kegiatan kebudayaan.
Pihak berwenang Indonesia menggunakan hukum pencemaran nama baik — yang telah lama disalahgunakan para penguasa — untuk menindak kritik publik terhadap penanganan wabah virus corona oleh pemerintah. POLRI menetapkan 51 orang sebagai tersangka dengan hukum pencemaran nama baik karena diduga menyebarkan “berita bohong” tentang virus corona. Mereka termasuk lima warganet yang diduga menyebarkan berita palsu di akun media sosial, salah satunya menyangkut klaim bahwa seorang perempuan yang akan berangkat ke Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah haji tiba-tiba meninggal dunia di bandara Jakarta karena terserang virus corona. Selain itu, polisi memblokir 38 akun media sosial.
Aparat menangkap tiga orang laki-laki karena menyebarkan pesan di media sosial yang mengklaim bahwa wilayah Jakarta Utara terpapar COVID-19 setelah pemerintah menyemprot disinfektan di daerah tersebut. Seorang laki-laki berusia 58 tahun asal Bogor ditangkap setelah mengunggah sebuah video di akun Instagram miliknya yang berisi klaim bahwa virus corona adalah dalih untuk melakukan “pembunuhan massal.”
Polisi juga menangkap seorang pemuda karena diduga menyebut tindakan Jokowi yang menolak memerintahkan lockdown sebagai hal yang “bodoh” dan mengucapkan komentar-komentar rasis di akun Twitter-nya.
Pemerintah seharusnya melawan informasi yang tidak akurat di internet atau di media dengan memberikan masyarakat informasi yang jelas, teratur, dan akurat berdasarkan fakta tentang virus corona dan penyebarannya, serta dengan mematahkan misinformasi.
Di bawah hukum hak asasi manusia internasional, pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi hak atas kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan membagikan segala jenis informasi. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk melindungi dan mempromosikan sejumlah hak, termasuk hak atas kesehatan. Pembatasan yang wajar atas kebebasan berekspresi karena alasan kesehatan masyarakat seyogianya tidak mengancam hak asasi itu sendiri. Penanganan COVID-19 yang menghargai hak asasi manusia perlu memastikan bahwa informasi yang akurat dan terkini tentang virus tersebut tersedia dengan mudah dan dapat diakses semua orang.
“Para pemimpin di Indonesia seyogianya tidak membiarkan virus corona menjadi dalih bagi polisi untuk mengekang kebebasan berekspresi,” kata Andreas. “Sangat menyedihkan bahwa dalam masa krisis nasional, aparat di Indonesia nampaknya lebih ingin membungkam kritik daring alih-alih melaksanakan kampanye informasi publik yang masif untuk melawan COVID-19.”