Menurut sebuah penelitian Beijing Yuanzhong Gender Development Center
pada Juni, di antara lebih dari 50 juta putusan sidang dalam rentang 2010-2017 yang dapat diakses publik, hanya 34 yang berurusan dengan pelecehan seksual. Dari 34 kasus itu, hanya dua yang diajukan korban buat menuntut para terduga pelaku, dan keduanya ditolak karena dianggap kurang bukti. Faktanya, sebagian besar dari 34 kasus itu diajukan oleh para terduga pelaku. Ada yang mengaku jadi korban pelanggaran kontrak setelah dipecat perusahaan karena melakukan pelecehan seksual, ada pula yang merasa nama baiknya dicemarkan setelah tuduhan korban atau perusahaan diketahui umum.
Jumlah perkara hukum tentang pelecehan seksual yang amat rendah itu itu tak berarti pelecehan bukan masalah di Tiongkok. Hampir 40% perempuan di Tiongkok mengaku mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Tak adanya kasus-kasus yang ditangani pengadilan justru menandakan betapa sulitnya para perempuan itu mencari keadilan lewat hukum.
Meski hanya sedikit kasus yang dibawa ke pengadilan, ada tanda-tanda bahwa para perempuan Tiongkok mau bicara lebih lantang. Tahun ini sejumlah dosen di berbagai universitas dituduh di media sosial telah melakukan pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Dan gerakan #MeToo baru-baru ini meraih momentum setelah seorang perempuan menuduh aktivis anti-diskriminasi ternama Lei Chuang telah melakukan penyerangan seksual. Sejak itu, di media sosial, beberapa jurnalis, intelektual, dan aktivis terkenal lain pun dituduh melakukan kejahatan seksual. Sebagian di antara mereka meminta maaf secara terbuka.
Keberanian para perempuan ini menginspirasi, tetapi harapan akan keadilan tetap rendah. Seorang jurnalis, Shangguan Luan, menulis: "mengingat kurangnya penanganan sistemik," gerakan #MeToo di Tiongkok cenderung hanya jadi cara "meringankan depresi" ketimbang "mencari akuntabilitas." Dalam satu kasus, pada 25 Juli seorang perempuan mengaku kepada Human Rights Watch, setelah ia melapor kepada polisi bahwa pembawa acara TV terkenal Zhu Jun telah melecehkannya secara seksual, polisi malah memaksanya menarik laporan, dengan alasan: Zhu, pembawa acara tahunan gala Spring Festive di media pemerintah, mempunyai 'pengaruh positif' yang sangat besar bagi masyarakat." Tak lama kemudian, pernyataan-pernyataan tentang kasus itu mulai terhapuskan dari media sosial China.
Hukum China melarang pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja, tetapi pasal-pasal terkait tak disertai definisi yang jelas tentang hal itu maupun ketentuan-ketentuan memadai untuk menindak para pelaku pelecehan seksual. Hal itu jelas mempersulit para korban untuk mencari keadilan. Namun, tuduhan-tuduhan #MeToo barangkali bisa memantik gerakan lebih luas, menunjukkan kepada para pelaku bahwa kaum perempuan sudah muak menjadi sekadar korban yang diam, dan pemerintah seharusnya mengamendemen pasal-pasal demi keadilan bagi para korban.