(Washington, DC) – Pemerintah Amerika Serikat tampaknya tak akan mematuhi batas waktu kedua yang diperintahkan pengadilan yaitu 26 Juli 2018, untuk mempersatukan kembali para keluarga imigran yang dipisah paksa di perbatasan, menurut Human Rights Watch. Hanya sekitar setengah dari lebih dari 2.500 keluarga yang dipisah paksa akibat kebijakan “nol toleransi” pemerintahan Trump yang diperkirakan akan bertemu kembali hingga batas waktu tersebut, sementara ratusan lainnya masih harus menunggu dengan alasan tak jelas. Penundaan yang tak manusiawi ini menyebabkan kerugian parah bagi anak-anak dan sejumlah keluarga.
Selusin orang tua dan anak-anak yang menjadi korban pemisahan paksa dan sempat diwawancarai baik di perbatasan maupun di Honduras oleh Human Rights Watch dalam beberapa pekan terakhir menceritakan penderitaan dan keputusasaan yang mereka alami selama berminggu-minggu. Sejumlah orang tua anak melaporkan bahwa mereka tak dapat berbicara dengan anak-anak mereka, atau hanya bisa berbicara sebentar jika mereka bisa membayar biaya telepon. Dalam beberapa kasus, banyak orang tua tak mengetahui keberadaan anak mereka selama berminggu-minggu; dalam kasus-kasus lainnya, mereka dideportasi sendirian tanpa diberi informasi tentang anak-anak mereka yang dipisahkan, yang masih berada di AS. Beberapa orang tua menceritakan bahwa petugas imigrasi membujuk mereka untuk melepas hak-hak mereka, termasuk hak untuk mencari suaka, dengan alasan bahwa tak ada jalan lain, atau bahwa itulah satu-satunya cara tercepat untuk bisa bertemu kembali dengan anak-anak mereka. Bahkan bagi mereka yang telah dipertemukan kembali, konsekuensi buruk terhadap anak dan hubungan dengan keluarga bisa sangat parah dan bertahan lama.
“Setiap keterlambatan dalam mempertemukan kembali para keluarga yang terpisah ini akan terus memperparah konsekuensi buruk akibat pemisahan paksa mereka,” ujar Michael Bochenek, penasihat senior di divisi hak-hak anak Human Rights Watch. “Pemerintah AS tampaknya tak serius menjalankan tanggung jawabnya untuk segera mengatasi kerugian besar yang telah dan hingga kini masih berlangsung akibat kebijakan pemerintah.”
“Pablo Z.,” yang meminta agar namanya disamarkan, dideportasi sendirian ke Honduras tanpa anaknya yang masih berumur 4 tahun. Ia memberi tahu Human Rights Watch bahwa selama dua minggu sejak mereka dipisahkan secara paksa, ia tak dapat berkomunikasi sama sekali dengan anak laki-lakinya. Seminggu setelah ia dideportasi, akhirnya ia bisa berbicara dengan anaknya. “Anak saya mengaku tak mau berbicara dengan saya karena menurut dia, saya meninggalkannya di sana,” tutur Pablo. “Ketika ia mengatakan itu, saya menangis. Saya tak dapat berkata-kata. Saya hanya ingin bisa melihatnya dan memeluknya.”
Para pengacara untuk pemerintahan Trump menyampaikan kepada pengadilan federal pada Senin bahwa sejauh ini pemerintah telah menyatukan kembali 879 orang tua dengan anak-anak mereka, sementara 538 lainnya dipastikan akan bertemu kembali dan menunggu transportasi. Pemerintah juga melaporkan bahwa 463 orang tua dari anak-anak imigran “tak lagi berada” di AS, yang berarti bahwa mereka kemungkinan telah dideportasi atau meninggalkan AS setelah menandatangani perjanjian “sukarela” untuk kembali ke negara asal masing-masing.
Pemerintah gagal memenuhi batas waktu pengadilan sebelumnya untuk mempersatukan kembali semua anak berusia kurang dari 5 tahun dengan orang tua mereka. Hingga 12 Juli, dua hari setelah batas waktu, pemerintah baru berhasil mempersatukan kembali 57 dari 105 anak-anak dengan orang tua mereka.
Kepada kami para orang tua yang ditahan dan anak-anak yang dipisahkan mengatakan, bahwa mereka hanya diperbolehkan berkomunikasi apabila mereka mampu membayar biaya yang terkadang tinggi untuk melakukan panggilan telepon dari pusat penahanan (misalnya, biaya telepon bisa mencapai hingga 5 dolar AS untuk panggilan selama 10 menit, yang tak mampu dibayar oleh beberapa orang tua). Hingga 13 Juli, orang tua juga diminta membayar biaya transportasi anak-anak mereka, ujar para pengacara dari Texas Civil Rights Project kepada Human Rights Watch. Dalam satu kasus, biaya transportasi mencapai hingga 1.900 dolar AS berdasarkan dokumentasi American Civil Liberties Union.
“Saya hanya bisa berbicara kepada ayah saya jika ia bisa menelepon dari dalam tahanan, tetapi waktu kami berbicara sangat singkat,” kata seorang anak berusia 11 tahun yang dipisahkan dari orang tuanya, kepada Human Rights Watch. “Kadang-kadang teleponnya terputus, mungkin karena ia kehabisan uang untuk membayar panggilan telepon. Saya sangat takut mereka akan mendeportasinya dan saya akan di sini sendirian.”
Beberapa orang tua memberi tahu Human Rights Watch bahwa mereka setuju untuk dideportasi karena para petugas mengatakan bahwa mereka akan dideportasi bersama anak mereka, atau menekan mereka untuk melepaskan hak untuk mencari suaka agar dapat dipertemukan kembali dengan anak mereka yang terpisah.
Perlakuan paksa oleh para petugas imigrasi seyogianya segera diselidiki secara tuntas dan para petugas yang terbukti menyesatkan atau memaksa orang tua atau anak-anak yang dipisahkan mesti bertanggung jawab, kata Human Rights Watch.
Untuk sementara, hakim federal menghentikan deportasi para keluarga yang dipisahkan dan baru saja dipertemukan, termasuk dalam sebuah perintah yang berlaku secara nasional yang dikeluarkan pada 16 Juli. Perintah pengadilan lainnya mewajibkan pemerintah untuk menyajikan rencana “untuk mengatasi trauma yang dialami anak-anak sebagai akibat dari pemisahan anak-anak dari orang tua mereka yang dilakukan oleh Pemerintah yang melanggar konstitusi.”
Alih-alih memisahkan para keluarga secara paksa, pemerintahan Trump berupaya menahan keluarga-keluarga ini dalam tahanan yang sama hingga kasus imigrasi mereka, termasuk klaim suaka yang mereka ajukan, telah selesai. Hal ini merupakan pelanggaran ketentuan hukum AS yang umumnya membatasi penahanan terhadap keluarga hingga 20 hari.
Anak-anak, tanpa atau dengan ditemani anggota keluarga, tak semestinya ditahan dalam tahanan imigrasi, menurut Human Rights Watch. Para ahli kesehatan pemerintah telah memperingatkan bawa keluarga-keluarga imigran “berisiko tinggi merugikan” anak, khususnya karena trauma yang telah mereka alami akibat pemisahan keluarga secara paksa. Pemisahan serta penahanan keluarga membawa konsekuensi buruk dan berjangka panjang, khususnya apabila terjadi secara terus-menerus tanpa batas waktu yang jelas, sebagaimana yang ditemukan oleh penelitian Human Rights Watch. Dampak merugikan dari penahanan ini menjadi kian parah bagi anak-anak yang telah melarikan diri dari ancaman maut, kekerasan, atau bahaya serius lainnya.
Pemerintah AS seharusnya melakukan penilaian yang adil terhadap setiap klaim suaka, sebagaimana diwajibkan menurut hukum negara AS dan hukum internasional. Para keluarga yang ditahan semestinya dibebaskan, dengan menerapkan alternatif dari penahanan paling manusiawi untuk memastikan agar mereka bisa menghadiri persidangan, dan aparat seharusnya segera mengakhiri taktik-taktik pemaksaan yang dilakukan petugas imigrasi, memberi kompensasi kepada keluarga-keluarga yang dirugikan akibat pemisahan paksa, dan mempersatukan kembali ribuan anak yang masih terpisah dari orang tua mereka, termasuk orang tua yang sudah meninggalkan wilayah AS.
“Menahan keluarga hanya akan menggantikan satu kerugian dengan kerugian lainnya, ujar Clara Long, peneliti senior program AS di Human Rights Watch. “Pemerintah seharusnya menerapkan sejumlah pilihan yang welas asih, bermartabat, dan efektif terhadap penahanan, dan mengupayakan terwujudnya sistem peradilan imigrasi yang adil dan tepat waktu.
Aparat imigrasi AS telah memisahkan lebih dari 2.500 keluarga, di mana sebagian besar dari mereka sebelumnya menyeberangi perbatasan dari tempat-tempat selain “pelabuhan masuk” resmi, atau titik-titik perlintasan perbatasan yang resmi. Dalam upaya mereka untuk membenarkan tindakan pemisahan paksa, aparat sering menggunakan alasan bahwa orang tua yang menyeberang dengan ilegal perlu dituntut secara pidana atas tindakan “masuk secara ilegal,” yang didasari kebijakan “nol toleransi” oleh pemerintahan Trump. Biasanya, pelanggaran pidana yang dilakukan pertama kali hanya dijatuhi hukuman putusan bersalah tanpa denda dan kurungan, selain masa kurungan yang telah dihabiskan dalam tahanan imigrasi.
Para orang tua dan anak-anak yang diwawancarai oleh Human Rights Watch mengaku datang dan melapor di pelabuhan masuk atau menyerahkan diri ke petugas imigrasi sesaat setelah mereka masuk ke wilayah Amerika Serikat secara ilegal, dan banyak di antara mereka yang menjelaskan bahwa mereka melarikan diri dari ancaman maut atau bahaya lain di negara asal mereka. Hukum internasional melarang aparat negara untuk memberikan hukuman seperti tuntutan pidana bagi para pencari suaka yang masuk secara ilegal. Hukum AS mewajibkan petugas perbatasan untuk melakukan penilaian yang layak terhadap klaim para pencari suaka bahkan apabila mereka masuk ke dalam wilayah AS secara tak lazim. Peraturan hukum AS juga mengizinkan para pencari suaka untuk datang dan melapor di manapun di dalam wilayah AS, termasuk di titik-titik masuk resmi, tapi petugas imigrasi menolak para pencari suaka yang masuk dengan cara-cara ini, sehingga mereka terpaksa harus menunggu tanpa kejelasan selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, dan seringkali harus menetap sementara di kota-kota perbatasan di wilayah utara Meksiko. Menurut New York Times, pejabat-pejabat tinggi di Departemen Keamanan Dalam Negeri AS saat ini sedang mempertimbangkan rencana untuk menutup titik-titik masuk resmi untuk semua pencari suaka, dan hanya mengizinkan permohonan yang dilakukan dari negara asal.
Pemisahan yang memilukan, kebohongan para petugas, dan intimidasi
Para orang tua dan anak-anak yang berbicara dengan Human Rights Watch menceritakan bagaimana mereka terpisah dari anggota keluarga, bahkan seringkali merasa pengalaman traumatis mereka terlalu menyakitkan untuk dikenang:
- “Para agen mengatakan bahwa anak-anak kami akan menanti saat kami kembali dari persidangan,” kata Jessyca N., asal El Salvador, yang diwawancarai di pusat penahanan imigrasi Port Isabel, Texas, 12 Juli 2018.
- “Ketika mereka membawa kami ke pengadilan, mereka mengatakan bahwa kami akan melihat anak-anak kami segera setelah persidangan. Saya mengira saya akan langsung pulang dan bisa bertemu kembali dengan anak laki-laki saya. Ketika kami sadar bahwa kami tidak akan dibawa ke tempat di mana anak-anak kami berada, kami lalu menangis dan memohon-mohon,” kata Edwin H., 45 tahun, dari Honduras, yang diwawancarai di pusat penahanan imigrasi Port Isabel, Texas, 16 Juli 2018.
- “Mereka memisahkan saya dari putra saya saat kami masih dalam hielera [yang berarti “kotak es,” julukan untuk sel tahanan di kantor Patroli Perbatasan, yang umumnya sengaja dijaga dalam kondisi sangat dingin]. Kata mereka, saya harus hadir di persidangan dan saya akan menemui anak saya setelah itu. Tetapi sejak saat itu saya tidak melihatnya lagi,” tutur Héctor G., 28 tahun, asal El Savador, yang dipisahkan secra paksa dari anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun pada 12 Juni, diwawancarai di pusat penahanan imigrasi Port Isabel, Texas, 12 Juli 2018.
- Rolando B. dan anak laki-lakinya, Johan, yang kala itu berumur 11 bulan, menyeberangi perbatasan dan masuk ke wilayah Texas pada 16 Maret dan melapor ke Patroli Perbatasan. Mereka berdua lalu ditahan selama empat hari dalam sel tahanan di sebuah pusat penahanan Patroli Perbatasan di McAllen, Texas. Pada hari keempat, seorang petugas yang terlihat menakutkan dan mengenakan kaus berlogo ICE memberi tahu Rolando bahwa ia harus menyerahkan anaknya. “Petugas itu mengatakan, ‘Ucapkan selamat tinggal kepada anakmu, karena kamu tak akan bisa melihatnya lagi,’” cerita Rolando kepada Human Rights Watch saat kami berbincang dengannya di San Pedro Sula pada 20 Juli 2018.
- “Mereka masuk ke dalam sel tempat saya dan putra saya ditahan dan mengatakan bahwa mereka membawa anak saya,” ujar Pablo Z., yang juga menceritakan bahwa ia terpisah dari anak laki-lakinya yang berusia 4 tahun setelah ia menyeberang ke AS melalui sebuah pelabuhan masuk. “Anak saya lalu menangis, begitu pun saya. Ia mulai berteriak, ‘Papa, jangan tinggalkan aku.’ Salah seorang petugas lalu mulai menyeretnya, tetapi anak saya berpegangan pada kaki saya dan menangis. Akhirnya, saya meminta petugas untuk membolehkan saya membawanya. Saya menuntunnya masuk ke sebuah mobil. Inilah hal terburuk yang pernah terjadi pada saya,” tutur Pablo Z., yang diwawancarai di Yoro, Honduras, 19 Juli 2018.
- “Setelah dua hari, seorang penjaga masuk dan memanggil nama saya. Ia menyuruh saya untuk ikut dengannya. Ketika saya bertanya mengapa saya harus ikut, ia bilang supaya saya bisa mandi di tempat penahanan lain. Saya bertanya apakah saya bisa melihat ayah saya untuk mengucapkan selamat tinggal, ia bilang tidak bisa, lalu tetap berjalan. Mereka menempatkan saya di sebuah mobil van dan membawa saya ke pusat penahanan lain,” kata Eduardo M., seorang anak berusia 11 tahun dari Guatemala, diwawancarai di Texas pada 13 Agustus 2018.
Trauma berlanjut yang diperparah dengan minimnya komunikasi
Para orang tua yang diwawancarai oleh Human Rights Watch menceritakan minimnya kontak dengan anak-anak mereka, seringkali hanya diperbolehkan berbicara melalui telepon atau panggilan video sekali seminggu dan selama 10 menit. Banyak yang tak mengetahui kabar atau keberadaan anak-anak mereka selama seminggu atau lebih. Misalnya:
- Edwin H., yang ditahan di pusat penahanan imigrasi Port Isabel, berbicara dengan anak laki-lakinya yang berusia 11 tahun sebanyak dua kali antara 11 Juni dan 16 Juli. “Saya mencoba menghubungi nomor telepon yang mereka berikan kepada saya mungkin sekitar lima kali atau lebih, tetapi tak ada jawaban,” katanya kepada kami.
- Aurelio L., seorang laki-laki asal Honduras yang juga ditahan di Port Isabel dan diwawancarai pada 16 Juli 2018, hanya berbicara satu kali kepada anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun dalam kurun waktu 33 hari sejak ia dipisahkan secara paksa.
- Jessyca N., asal El Salvador, memberi tahu kami bahwa ia tidak bisa berbicara dengan anak perempuannya yang berusia 9 tahun selama enam hari sejak mereka dipisahkan secara paksa di McAllen pada 14 Juni.
- Selama 20 hari, Héctor G. sama sekali tak menerima kabar tentang keberadaan anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun, hingga seorang penjaga di pusat penahanan imigrasi Port Isabel memberinya secarik kertas berisi nomor telepon, tanpa penjelasan apa-apa. “Hingga saat itu, saya tidak tahu apa yang terjadi padanya,” ceritanya kepada Human Rights Watch.
- “Kami tidak bisa bersamanya pada ulang tahunnya yang pertama,” cerita Rolando B., yang dipisahkan dari anaknya yang berusia satu tahun selama lebih dari empat bulan setelah ia dideportasi ke Honduras tanpa sang anak. “Kami hanya pernah berbicara dengannya satu kali melalui panggilan video selama 20 menit. Ini sungguh menyakitkan.”
- Seorang pengacara yang mewakili beberapa orang tua lain di pusat penahanan imigrasi Port Isabel memberi tahu Human Rights Watch bahwa mereka hanya berbicara dengan anak-anak mereka satu atau dua kali dalam kurun waktu sebulan ketika mereka berada dalam tahanan. “Mereka tidak punya uang untuk menelepon. Ketika kami mengetahui hal itu, kami mengirim sejumlah uang ke rekening mereka agar mereka bisa menghubungi anak-anak mereka,” kata pengacara itu.
- Pengacara yang mendampingi seorang ayah dan anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun yang baru saja dipertemukan setelah terpisah selama sebulan memberi tahu Human Rights Watch, “Anaknya dalam kondisi buruk. Ia tak mau berbicara. Ia kesulitan menyesuaikan diri setelah dipisahkan.”
Tekanan untuk menyetujui deportasi
Beberapa orang tua memberi tahu Human Rights Watch bahwa petugas imigrasi mendesak mereka untuk menerima kepulangan mereka secara “sukarela” ke negara asal masing-masing atau melepas hak mereka untuk mencari suaka. Misalnya:
- Edwin H., asal Honduras, menceritakan kepada Human Rights Watch, “seorang petugas memberi saya hasil wawancara [wawancara untuk menentukan ancaman nyata dari negara asal, yang merupakan tahap pertama dalam mengajukan klaim untuk memperoleh suaka]. Ia mengarahkan saya ke sebuah daftar periksa (check list) dan menyuruh saya untuk menandatangani formulir. Saya mengaku tak akan menandatanganinya karena saya tidak tahu apa yang saya tanda tangani. Ia jadi marah. ‘Kamu harus tanda tangan. Kamu tidak mau anak laki-lakimu kembali?’ Di bawah tekanan seperti itu, saya akhirnya tanda tangan. Saya tidak paham isi formulir itu karena semuanya dalam bahasa Inggris.” Human Rights Watch memeriksa dokumen yang ia tanda tangani, yang berisi pernyataan bahwa ia melepaskan haknya untuk menemui hakim imigrasi untuk menjelaskan kepada hakim alasan-alasan mengapa ia takut pulang ke negara asalnya.
- Pablo Z., juga asal Honduras, dideportasi sendiri tanpa anak laki-lakinya yang berusia 4 tahun. Ia memberi tahu Human Rights Watch bahwa ia dan anaknya melaporkan diri mereka di pelabuhan masuk di Brownsville, Texas, pada 11 Juni 2018. “Kami ditahan selama dua hari di jembatan. Pada hari pertama, petugas di sana menanyakan alasan saya datang ke Amerika Serikat. Saya mengaku datang untuk mencari suaka bagi saya dan anak saya, dan bahwa saya takut pulang ke negara asal saya. Saya memberi tahu mereka bahwa kami berdua mendapat ancaman dari pengedar narkoba. Mereka menyuruh saya untuk menandatangani sejumlah dokumen, tetapi saya tidak tahu persisnya dokumen apa itu. Mereka bilang bahwa itu bukan berkas deportasi, jadi saya akhirnya tanda tangan.” Pablo memberi tahu kami bahwa sejak itu ia tak lagi berbicara dengan petugas tentang klaimnya karena takut sebelum ia akhirnya dideportasi tanpa anaknya sepekan kemudian.
Orang tua lainnya menceritakan bahwa setelah dipisahkan dari anak-anak mereka, mereka tidak bisa fokus mengurus kasus imigrasi, meski petugas imigrasi bersikeras agar mereka menyelesaikan proses pengadilan:
- “Para petugas memberi tahu kami saya bahwa saya harus diwawancara dalam beberapa pekan ke depan. Saya ingin melakukan wawancara ini, tetapi saat ini saya hanya bisa memikirikan nasib anak perempuan saya dan kapan saya bisa bertemu lagi dengannya. Sungguh tidak adil mereka memaksa saya melakukan wawancara ini sekarang karena saya tidak bisa fokus. Saya hanya memikirkan anak saya,” kata Jessyca N., asal El Salvador.
- Saat Ariel P., asal Guatemala, melakukan wawancara untuk menentukan ancaman kredibel di pusat penahanan San Antonio, ia belum berbicara dengan anak laki-lakinya selama lebih dari 20 hari dan tak ada yang memberitahukan keberadaan anaknya. Ia mengatakan bahwa pemisahan paksa dan ketidakjelasan ini membuatnya putus asa dan mempengaruhi kemampuannya untuk berkonsentrasi menjalani wawancara. “Yang ada dalam pikiran saya hanya: bagaimana kabarnya, dan kapan saya bisa bertemu lagi dengannya. Setiap malam ketika saya beranjak tidur, saya merenungkan di mana ia tidur. Setiap kali saya makan, kalau ada makanan yang saya tidak suka, saya juga memikirkan apakah dia juga sedang makan dan apakah dia juga tidak suka makanannya. Kalau saya tidak makan dan saya merasa lapar, saya lalu memikirkan apa dia juga lapar hari itu. Saya terus-menerus memikirkan ini, sehingga tidak mungkin bagi saya untuk fokus memikirkan hal-hal lain,” ceritanya kepada Human Rights Watch.