(New York) – Parlemen India seharusnya tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang menerapkan hukuman mati bagi orang-orang yang divonis bersalah atas pemerkosaan anak perempuan di bawah 12 tahun, kata Human Rights Watch hari ini. Sebaliknya, India semestinya berupaya menghapus hukuman mati yang pada hakikatnya kejam dan tak dapat diubah. Di samping itu, sangat sedikit bukti menunjukkan bahwa hukuman mati berfungsi sebagai efek jera.
Pemerintah meloloskan rancangan undang-undang tersebut pada 21 April, menyusul protes besar-besaran yang berlangsung setelah sejumlah pemimpin dan pendukung Partai Bharatiya Janata (BJP), selaku partai berkuasa, berupaya membela para pelaku beragama Hindu yang telah melakukan penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan seorang anak Muslim berusia 8 tahun di negara bagian Jammu dan Kashmir. Di negara bagian Uttar Pradesh, pihak berwenang tak hanya gagal menangkap seorang anggota dewan dari partai BJP yang diduga memerkosa anak perempuan berusia 17 tahun, aparat juga diduga memukuli ayah korban hingga meninggal dunia dalam tahanan polisi.
“Dengan adanya seruan populis untuk hukuman mati ini, pemerintah ingin menutup-nutupi fakta bahwa para pendukungnya kemungkinan terlibat dalam kejahatan berbasis kebencian,” ujar Meenakshi Ganguly, direktur divisi Asia Selatan. “Bila benar-benar serius menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, pemerintah harus bekerja keras mereformasi sistem peradilan pidana dan memastikan bahwa penguasa politik tidak melindungi para pelaku kejahatan dari tuntutan hukum.”
Dua menteri dari partai BJP di pemerintahan negara bagian Jammu dan Kashmir bergabung dengan Hindu Ekta Manch, sebuah kelompok yang berafiliasi dengan BJP, untuk memrotes penangkapan terdakwa kasus mengerikan di negara bagian tersebut. Para terdakwa termasuk seorang mantan pejabat pemerintah dan empat anggota kepolisian. Setelah kejadian itu, kedua menteri telah mengundurkan diri.
Setelah kejadian perkosaan geng dan tewasnya Jyoti Singh Pandey, seorang mahasiswi kedokteran di Delhi, pemerintah India mulai melakukan reformasi hukum untuk menangani kekerasan seksual dan pemerkosaan. Undang-Undang Hukum Pidana (Amandemen) 2013 menambahkan kategori-kategori baru pelanggaran pidana tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak perempuan dan membuat hukuman menjadi lebih berat, termasuk menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan berulang. Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Anak terhadap Pelanggaran Seksual 2012 juga menetapkan pedoman bagi kepolisian dan pengadilan untuk menangani korban secara sensitif dan mengatur penyediaan spesialis anak selama proses pengadilan.
“Ada harapan bahwa langkah-langkah ini dapat mendorong lebih banyak korban dan keluarga korban untuk melaporkan tindak kekerasan seksual, sehingga akan berujung pada semakin banyak tuntutan hukum yang berhasil,” kata Ganguly.
Meski jumlah kasus perkosaan yang dilaporkan pada 2016 meningkat sebesar 56 persen sejak 2012, masih banyak yang harus dilakukan untuk mengubah cara sistem peradilan menanggapi korban.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada November 2017 berjudul Semua Orang Menyalahkan Aku atau “Everyone Blames Me,” Human Rights Watch menemukan bahwa para korban selamat, khususnya dari kalangan terpinggirkan, masih kesulitan melaporkan pengaduan ke polisi. Mereka seringkali dipermalukan di kantor polisi pun rumah sakit, dan masih harus menjalani tes-tes yang merendahkan oleh tenaga ahli medis, serta merasa terintimidasi dan takut ketika kasus mereka masuk ke pengadilan. Mereka juga menghadapi hambatan signifikan ketika mencoba menjangkau layanan pendukung yang penting seperti layanan kesehatan, konseling, dan bantuan hukum.
Meski hukum India mewajibkan para petugas kepolisian untuk melaporkan secara resmi semua pengaduan perkosaan yang mereka terima, Human Rights Watch menemukan bahwa terkadang polisi menekan keluarga korban untuk “menyelesaikan secara kekeluargaan” atau “berkompromi.”
Dalam kasus anak-anak, pemerintah tak hanya belum menerapkan mekanisme pengawasan efektif yang mampu mencegah pelecehan seksual terhadap anak-anak, tetapi bahkan mekanisme yang berjalan saat ini pun masih belum diimplementasikan dengan baik.
Bagi perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas yang menghadapi risiko kekerasan seksual lebih tinggi, tantangan yang mereka hadapi jauh lebih berat, menurut temuan Human Rights Watch.
Akan tetapi, bukannya membenahi hambatan-hambatan struktural tersebut, pemerintah India malah memperluas cakupan hukuman mati untuk tindak perkosaan. Oleh karena itu, parlemen seharusnya memastikan bahwa rancangan ini tidak disahkan menjadi undang-undang permanen.
Undang-undang dari pemerintah ini diusulkan meski setelah komite pemerintah tingkat tinggi dan Komisi Hukum India bersuara menentang hukuman mati. Human Rights Watch menentang penerapan hukuman mati di semua kasus.
Rancangan undang-undang baru ini juga meningkatkan batas masa hukuman untuk pemerkosaan anak-anak perempuan dan perempuan. Meski Undang-Undang Perlindungan Anak Terhadap Pelanggaran Seksual juga mengatur pelecehan seksual bagi anak-anak perempuan dan laki-laki, rancangan undang-undang ini tidak mengatur pemerkosaan anak laki-laki.
- Untuk tindak pidana perkosaan terhadap perempuan berusia di atas 16 tahun, hukuman minimumnya ditingkatkan dari 7 tahun menjadi 10 tahun penjara;
- Untuk tindak pidana perkosaan terhadap anak perempuan berusia 12 hingga 16 tahun, hukuman minimumnya menjadi 20 tahun dan dapat ditingkatkan menjadi penjara seumur hidup;
- Untuk tindak pidana perkosaan geng terhadap anak perempuan berusia 12 hingga 16 tahun, hukuman minimumnya adalah penjara seumur hidup;
- Untuk tindak pidana perkosaan terhadap anak perempuan di bawah 12 tahun, hukuman minimumnya adalah 20 tahun penjara yang dapat ditingkatkan menjadi penjara seumur hidup atau hukuman mati;
- Untuk tindak pidana perkosaan terhadap anak perempuan di bawah 12 tahun, hukuman minimumnya adalah penjara seumur hidup atau hukuman mati.
Di India, berdasarkan data pemerintah tahun 2016, dari 38.947 kasus pemerkosaan yang dilaporkan oleh anak-anak dan perempuan, pelaku adalah orang yang dikenal oleh korban di 94.6 persen kasus. Di 630 kasus, pelakunya adalah ayah, saudara laki-laki, kakek, atau anak laki-laki dari korban; di 1.087 kasus, pelaku merupakan anggota keluarga dekat; di 2.174 kasus, pelaku adalah kerabat; dan di 10.520 kasus, pelakunya adalah tetangga korban sendiri.
Pemerkosaan adalah kejahatan yang masih sangat jarang dilaporkan di India, sebagian besar karena adanya stigma sosial, kecenderungan menyalahkan korban, kurangnya respon dari sistem peradilan pidana, dan tidak adanya hukum yang mengatur perlindugan korban dan saksi. Hal ini mengakibatkan para korban rentan mengalami tekanan dari pelaku dan polisi. Anak-anak bahkan jauh lebih rentan mengalami tekanan dari keluarga dan masyarakat.
Dengan latar belakang ini, peningkatan hukuman, termasuk dengan menerapkan hukuman mati, justru dapat mengakibatkan menurunnya tingkat pelaporan kejahatan seksual.
“Pemerintah India telah berulang kali menyatakan komitmennya dalam menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Namun, aksi lebih lantang daripada kata-kata,” ujar Ganguly. “Amandemen baru ini mengandung penyalahartian dan dibuat tergesa-gesa. Untuk melindungi anak-anak, diperlukan pendekatan yang jauh lebih bijaksana dan para politisi harus mengumpulkan tekad politik untuk mencapainya.”