Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Zeid Ra'ad Al Hussein mendesak pemerintah Indonesia untuk membatalkan beberapa klausul dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan mendiskriminasikan orang-orang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). “[Jika] masyarakat Muslim mengharapkan orang lain melawan Islamofobia, kita juga harus siap untuk mengakhiri diskriminasi di negara sendiri,” katanya pada akhir kunjungan tiga hari ke negara Muslim terbesar di dunia ini. “Diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau status lainnya merupakan kesalahan.”
Sejak 2016, di Indonesia terjadi pengepungan terhadap minoritas seksual dan gender, termasuk retorika kebencian dari sejumlah pejabat pemerintah, serangan terhadap para pembela hak-hak LGBT, penggerebekan terhadap rumah-rumah orang lesbian dan klub gay privat, dan beberapa penangkapan berdasarkan undang-undang anti-pornografi yang tidak jelas dan diskriminatif. Pada 2017, petugas kepolisian dan pejabat publik secara sewenang-wenang menangkap lebih dari 300 orang LGBT dalam sejumlah penggerebekan. Zeid mengamati bahwa kepanikan moral anti-LGBT itu, “tampaknya dipelihara untuk tujuan politik tertentu.”
Pada Desember 2016, Mahkamah Konstitusi Indonesia menolak sebuah gugatan yang berusaha mengkriminalisasi semua perilaku seks sesama jenis atas dasar suka sama suka di luar ikatan perkawinan, dan juga perilaku seks sesama jenis atas dasar suka sama suka
- sesuatu yang tidak pernah dilakukan Indonesia, kecuali di provinsi Aceh di mana diberlakukan Peraturan Daerah berbasis Syariah. Pada bulan Mei, dua orang laki-laki menjalani hukum cambuk di depan umum di Aceh setelah para tetangga menangkap keduanya dalam keadaan telanjang.
Keputusan Mahkamah Konstitusi itu melindungi hak-hak privasi dasar semua orang Indonesia, tidak hanya kalangan LGBT. Dengan beberapa perkiraan bahwa sekitar setengah dari pasangan Indonesia tidak menikah secara sah karena kesulitan mendaftar, mengkriminalkan kehidupan seks mereka dapat mendorong kelompok main hakim sendiri dan melangkahi kepolisian dan sistem penahanan. Setelah putusan Mahkamah Konsitusi itu diketok palu, para pemohon berjanji akan melipatgandakan upaya untuk mengamandemen KUHP di parlemen, yang sedang diperdebatkan saat ini.
Zeid mendesak Indonesia untuk, “menolak segenap upaya untuk memperkenalkan bentuk baru diskriminasi dalam perundang-undangan.” Dan pada keputusan bulan Desember lalu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan peringatan serupa: “Jika seseorang membangun argumen bahwa usaha untuk mempertahankan tatanan masyarakat dilakukan dengan memaksa anggota masyarakat yang dianggap berperilaku menyimpang untuk mengubah perilaku mereka melalui ancaman hukuman pidana, maka pada dasarnya dia percaya bahwa tatanan masyarakat hanya dapat dibuat berdasarkan tindakan represif.”