(Bangkok) - Parlemen Singapura seharusnya menolak revisi yang diajukan atas Peraturan Sementara Undang-Undang Hukum Pidana yang memperpanjang masa tahanan tanpa pemeriksaan pengadilan dan membiarkan hukum kian terpuruk, kata Human Rights Watch hari ini dalam surat tertanggal 31 Januari 2018 yang ditujukan kepada para anggota parlemen yang dirilis hari ini.
Amendemen yang diusulkan ini akan memperpanjang masa berlaku undang-undang tersebut untuk ke-14 kalinya, yang pada awalnya diberlakukan sebagai tindakan “sementara” pada 1955. Amendemen ini juga akan menghilangkan uji materi alias judicial review - yang sebelumnya sudah sangat dibatasi - terhadap perintah penahanan yang saat ini diizinkan di bawah hukum Singapura.
“Parlemen Singapura seharusnya menghapus, bukan malah memperpanjang, hukum yang selama enam dekade ini telah digunakan untuk menahan orang-orang tanpa peradilan pun tanpa batas waktu,” kata Brad Adams, direktur HRW untuk urusan Asia. “Membiarkan penahanan jangka panjang untuk tindak pidana semata-mata atas perintah pejabat pemerintah -tidak dengan menuntut tersangka di pengadilan- tak ubahnya sebuah undangan terbuka pada penyalahgunaan kekuasaan yang serius.”
Menurut pasal 30 undang-undang tersebut, atas persetujuan kejaksaan, menteri dalam negeri dapat mengeluarkan perintah penahanan atas seseorang hingga selama 12 bulan apabila menteri berkeyakinan bahwa orang tersebut “dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan bersifat kriminal,” dan bahwa “orang tersebut perlu ditahan demi kepentingan keamanan, perdamaian, dan ketertiban umum.” Presiden dapat memperpanjang masa tahanan hingga 12 bulan.
Tampaknya tidak ada batasan mengenai berapa kali masa tahanan seseorang diperpanjang, atau berapa lama seseorang dapat ditahan tanpa diadili. Ketika pasal 30 pertama kali diberlakukan pada 1958, pemerintah menegaskan bahwa pasal ini merupakan kebijakan "sementara" yang diperlukan untuk memerangi gelombang kejahatan-kejahatan geng yang mengakibatkan para saksi takut menyampaikan kesaksian mereka.
Penahanan tanpa proses peradilan merupakan suatu langkah ekstrem yang jarang dapat dibenarkan di bawah hukum internasional. Dalam keadaan pengecualian di mana pemerintah bisa membuktikan bahwa seseorang membawa ancaman langsung yang tidak dapat ditanggulangi dengan langkah alternatif, amat diperlukan tinjauan yang tanggap dan rutin oleh pengadilan atau mahkamah independen lainnya untuk menghindari penahanan sewenang-wenang.
Kumpulan Prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perlindungan Semua Orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan, yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 1988, menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dikurung dalam tahanan tanpa diberi kesempatan untuk didengarkan secara sah oleh “lembaga peradilan atau lembaga lain yang berwenang,” yang diartikan sebagai lembaga “yang status dan masa jabatannya harus memenuhi jaminan kompetensi, imparsialitas, dan independensi tertinggi.”
Undang-undang saat ini tidak mengatur adanya uji materi alias judicial review, dan rancangan undang-undang yang masih menunggu keputusan parlemen akan menghilangkan uji materi - yang sebelumnya sudah sangat dibatasi - terhadap perintah penahanan terhadap perintah penahanan di bawah hukum Singapura dengan menambahkan pasal yang menyatakan bahwa keputusan menteri merupakan keputusan “final.” Dalam undang-undang tersebut, “review” terhadap keputusan menteri hanya dapat dilakukan oleh komite penasehat yang ditunjuk pemerintah, yang mana keputusan menteri tersebut harus dirujuk dalam 28 hari. Komite penasehat ini tidak berwenang membatalkan keputusan menteri, tetapi hanya bertugas membuat rekomendasi kepada presiden, yang dapat membatalkan atau menguatkan keputusan itu. “Review” oleh badan eksekutif ini tidak cukup independen untuk menggantikan fungsi uji materi.
“Saat pemerintah Singapura mengklaim bahwa penahanan tanpa pengadilan itu diperlukan untuk berbagai tindak pidana untuk melindungi mereka yang ketakutan untuk bersaksi, negara-negara lain dapat mengadili kasus-kasus serupa tanpa mengabaikan hak-hak terdakwa untuk mendapatkan proses peradilan dasar,” kata Adams. “Sepantasnya Singapura mengakui bahwa penahanan pidana tanpa pengadilan tidak mendapat tempat di negara modern yang menghormati hak-hak warga negaranya.”