Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak-hak kesehatan melakukan hal istimewa pekan lalu: ia berkunjung ke provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia.
Kunjungan dua hari Dainius Puras ke Papua, bagian dari kunjungan resminya ke Indonesia selama dua pekan, tak biasa karena terjadi atas izin pemerintah. Mengingat rekam jejak panjang pemerintah Indonesia menghalangi penyelidikan keadaan di Papua oleh media-media asing serta para pengamat internasional, termasuk pakar PBB, perkembangan ini bisa jadi pertanda adanya perubahan kebijakan.
Pada 2013, pemerintah menolak rencana kunjungan Frank La Rue, yang saat itu merupakan pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi, karena La Rue memaksa pergi ke Papua. Pemberintah membatasi akses para pengamat internasional ke Papua dengan alasan keamanan, tetapi sebenarnya pemerintah Indonesia dan pasukan-pasukan keamanan hanya tak ingin menghadapi kritik lembaga-lembaga nonpemerintah serta media asing.
Catatan-catatan Puras tentang situasi kesehatan di Papua adalah dakwaan berapi-api atas kegagalan pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan kesehatan masyarakat. Ia menggarisbawahi kenyataan bahwa orang-orang beretnis Papua "dua kali lipat lebih mungkin terjangkit HIV/AIDS dibandingkan sisa populasi Indonesia, dan penularan-penularan baru sedang meningkat." Ia menyerukan pengembangan perawatan HIV/AIDS yang "sensitif secara kultural" di kawasan itu.
Statistik lain sama mencemaskannya: Papua memiliki angka harapan hidup terendah sekaligus tingkat kematian bayi, anak, dan ibu tertinggi di Indonesia. Sekalipun mutu pelayanan kesehatan di Papua demikian buruk, pemerintah secara ketat membatasi akses dari lembaga-lembaga nonpemerintah internasional, termasuk penyedia pelayanan kesehatan yang amat diperlukan. Pada Agustus 2010, pemerintah Indonesia melarang organisasi bantuan kesehatan internasional asal Belanda, Cordaid, beroperasi di Papua. Pemerintah menuduh organisasi itu membantu aktivis-aktivis pro-kemerdekaan Papua, tuduhan yang disangkal oleh Cordaid.
Keprihatinan Puras pada hak-hak kesehatan di Papua seharusnya jadi seruan yang menyadarkan pemerintah Indonesia, bahwa kebijakan-kebijakan kesehatan di Papua saat ini benar-benar tak memadai. Pemerintah semestinya memahami bahwa organisasi-organisasi nonpemerintah internasional—dan izin peliputan yang bebas bagi media—bisa memainkan peran penting dalam membantu pemerintah dalam mengisi kesenjangan sistem pelayanan kesehatan publik. Mudah-mudahan, izin kunjungan untuk Puras membukakan pintu buat akses internasional yang lebih luas ke Papua, agar pemerintah terbantu menangani indikator-indikator kesehatan rakyat beretnis Papua yang luar biasa buruk.