Usulan perubahan-perubahan ini menyusul kampanye anti LGBT yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dimulai pada bukan Januari lewat serangkaian pernyataan-pernyataan yang menyesatkan dan salah tentang kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dari pejabat-pejabat pemerintahan dan para politisi. Serangan gencar anti LGBT tersebut melapangkan sanksi sosial untuk melakukan pelecehan dan kekerasan terhadap kaum LGBT Indonesia dan bahkan ancaman pembunuhan oleh kaum Islamis militan. Lembaga-lembaga negara, termasuk Komisi Penyiaran Indonesia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, telah mengeluarkan petunjuk untuk melakukan sensor terhadap informasi dan siaran yang menggambarkan kehidupan kaum LGBT sebagai kehidupan “normal” serta apa yang mereka sebut sebagai “propaganda” kehidupan kaum LGBT. Perpaduan antara retorika diskriminatif dan pembuatan kebijakan tersebut telah merusak hak-hak atas privasi, keamanan, dan kebebasan berekspresi rakyat di seluruh negeri, kata Human Rights Watch.
Pada 2013, Indonesia ikut menyeponsori resolusi Dewan Hak-hak Asasi Manusia PBB tentang hak atas privasi. Di laporan tentang resolusi tersebut, komisioner tinggi PBB untuk hak-hak asasi manusia memperingatkan seluruh pemerintah bahwa hak atas privasi (yang termaktub dalam ICCPR pasal 17) harus diterapkan berbarengan dengan hak tanpa diskriminasi (ICCPR pasal 26).
“Mahkamah Kosntitusi memiliki kesempatan yang amat penting untuk memperkuat hak atas privasi dan tanpa diskriminasi di Indonesia,” kata Reid. “Yang dipertaruhkan dalam usulan perubahan undang-undang ini adalah hak atas privasi untuk seluruh rakyat Indonesia – batu sendi dari sebuah masyarakat dimana martabat individual untuk semua orang dilindungi.”