(Jakarta, 21 Januari 2016) – Kinerja President Joko “Jokowi” Widodo campur-baur dalam perlindungan hak asasi manusia di Indonesia pada tahun pertama pemerintahannya, serta belum ada langkah mendasar mengatasi berbagai pelanggaran yang paling buruk, menurut Human Rights Watch hari ini dalam World Report 2016.
Dalam edisi ke-26 World Report 2016, sepanjang 659 halaman, Human Rights Watch merekam berbagai praktek hak asasi manusia pada lebih dari 90 negara. Dalam kata pengantarnya, Direktur Executive Kenneth Roth menulis bahwa penyebaran terorisme melewati Timur Tengah dan mengalirnya pengungsi, yang dipicu oleh penindasan serta konflik, membuat banyak pemerintah membatasi hak asasi dengan alasan keamanan. Saat bersamaan, berbagai pemerintah otoriter di seluruh dunia, yang kuatir dengan pembangkangan secara damai biasanya lewat media sosial, melakukan penindasan terhadap berbagai kelompok sipil.
“Tahun pertama Presiden Jokowi adalah kesempatan hilang buat sesegera mungkin mengambil langkah perlindungan hak asasi manusia,” kata Phelim Kine, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch. “Namun masih ada waktu bagi beliau buat menyesuaikan prioritas kebijakan pemerintahannya buat melindungi hak asasi manusia dari sekedar tutup mata terhadap berbagai pelanggaran serius.”
Jokowi membebaskan enam tahanan politik Papua pada 2015 dan mengumumkan sebuah rencana yang masih samar guna mengatasi berbagai pelanggaran hak asasi manusia dalam beberapa dasawarsa terakhir, termasuk pembantaian setidaknya 1 juta warga Indonesia pada 1965-1966. Namun Jokowi umumnya mengabaikan impunitas aparat keamanan, yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia, maupun pegawai negeri yang melanggar hak perempuan serta kebebasan beragama. Dia juga merangkul dipakainya hukuman mati bagi pengedar narkoba dengan eksekusi 14 orang pada 2015, termasuk satu warga Brazil yang menderita schizophrenia paranoid.
Dalam sebelas bulan pertama tahun 2015 terdapat 194 kasus kekerasan terhadap minoritas agama, menurust Setara Institute. Ia termasuk bongkar paksa sembilan gereja Kristen oleh pemerintah Singkil, provinsi Aceh, pada bulan November, sesudah satu gereja dibakar oleh kalangan Islamis pada 13 Oktober.
Pada Mei 2015, Jokowi memberikan grasi kepada lima narapidana politik Papua, dan November, membebaskan Filep Karma, tahanan politik Indonesia yang paling terkenal. Tapi masih ada setidaknya 45 orang Papua dan 29 orang Ambon ditahan karena kegiatan politik secara damai. Jokowi juga janji menyelidiki dan menghukum siapa pun yang bersalah menembak mati lima remaja Papua di Enarotali pada Desember 2014, namun pemerintah sampai sekarang tak mengeluarkan tiga investigasi terpisah pada penembakan tersebut.
Pada Mei, Jokowi mengumumkan diakhirinya pembatasan wartawan asing masuk ke Papua namun tak berhasil memastikan agar berbagai birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan tersebut. Berbagai pejabat sipil dan militer melawan keputusan Jokowi, praktis kebijakan tersebut tak dijalankan.
Menurut Komisi Nasional Perempuan, pada 2015 ada 31 aturan baru diskriminatif dari pemerintah pusat maupun daerah, sehingga total Indonesia punya 322 aturan diskriminatif terhadap perempuan, mulai dari kewajiban berjilbab sampai toleransi terhadap poligami. Pemerintah juga gagal menghentikan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia menghentikan praktek diskriminatif “tes keperawanan” bagi pelamar perempuan di dua lembaga tersebut.
“Pendekatan pemerintahan Jokowi terhadap hak asasi manusia banyak retorika dari realita, dan pelanggaran serius tetap jalan, tanpa hukuman,” kata Kine. “Jokowi bisa dan harus mengambil langkah tegas serta kuat guna menegakkan keadilan dan menghentikan pelanggaran pada 2016.”