Meski Indonesia dikenal sebagai negara mayoritas Muslim moderat namun belakangan banyak militan Muslim Sunni menyerang berbagai minoritas agama. Konstitusi Indonesia melindungi kebebasan beragama namun massa Sunni menguasai jalanan; pemerintah nyaris tak melakukan apapun guna hentikan kekerasan tersebut.
Hak asasi manusia dan agama bisa saling mendukung; ia jelas dalam debat openGlobalRights yang masih berlangsung. Namun kebersamaan tersebut bisa berjalan bila tokoh-tokoh agama memiliki toleransi terhadap tafsir yang berbeda dari keyakinan mereka, maupun terhadap keyakinan yang sangat berbeda dari yang mereka peluk.
Orang luar sering menyebut Indonesia sebagai sebuah benteng dari Islam moderat. Sebagai contoh, November 2010, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengunjungi Jakarta dan mengatakan, “… the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesia’s constitution, and that remains one of this country’s defining and inspiring characteristics.”
Namun, toleransi ini sekarang dalam ancaman besar. Kaum militan Muslim Sunni sedang meningkatkan serangan mereka terhadap kaum Budha, Katolik dan Muslim Syiah. Sedinya, pemerintah Indonesia dan berbagai organisasi Muslim tak memberikan cukup bantuan kepada mereka.
Bulan lalu, polisi Indonesia memperketat keamanan di sekitar areal candi Borobudur di Pulau Jawa sebagai reaksi dari ancaman militan Islam menghancurkan situs Warisan Dunia dari UNESCO. Mereka mengedarkanancaman dan menyebut “penghancuran” Borobudur akan dilakukan oleh “mujahidin Khilafah Islamiyah.”
Polisi menanggapi serius. Mereka tampaknya sadar dampak dari kemungkinan tersebut serta kaitan dengan meningkatnya intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Pada 7 Agustus 2013, sebuah bom meledak dalam sebuah kuil Budha di pusat kota Jakarta, saat jam sibuk, melukai tiga orang. Kejadian tersebut hanya berselang beberapa minggu setelah militan Islam bersumpah balas dendam terhadap umat Budha di Indonesia karena serangan-serangan terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya, oleh mayoritas Budha, di Myanmar. Sehari kemudian, bom molotov dilempar ke dalam sebuah sekolah Katolik di Jakarta. Beruntung karyawan sekolah mematikan kobaran api dengan air dari kamar mandi.
Warga Muslim Syiah di Pulau Madura tak terlalu beruntung. Sejak bulan Agustus 2012, ratusan pria, wanita dan anak terpaksa mengungsi ke sebuah stadion setelah lebih dari 1,000 militan Sunni menyerang perumahan mereka. Para penyerang membakar sekitar 50 rumah, menewaskan satu warga dan menyebabkan seorang lagi luka parah. Polisi Sampang hanya menonton ketika warga Syiah lari menyelamatkan diri.
Setahun setelah serangan tersebut, pada 20 Juni 2013, sekitar 1,000 militan Sunni mengepung stadion di mana warga Syiah berlindung. Mereka menuntut warga Syiah pindah, keluar dari Pulau Madura. Pemerintah lantas memindahkan mereka ke Sidoarjo, Pulau Jawa, sekitar dua jam perjalanan. Bupati Sampang Noor Tjahja menepis kecaman, “Saya tidak peduli tentang hak asasi manusia selama saya mengikuti mereka yang memilih saya.”
Cobaan berat bagi kaum Syiah Pulau Madura sudah hal biasa. Di seluruh Indonesia, agama-agama minoritas, termasuk Kristen, Syiah, dan Ahmadiyah --yang menganggap diri mereka sebagai Muslim tetapi dipandang sebagai bidaah oleh sebagian Muslim yang lain-- merupakan target pelecehan, intimidasi, ancaman dan, yang semakin meningkat, kekerasan massal. Setara Institute, yang memantau kebebasan beragama di Indonesia, merekam 220 kasus serangan terhadap minoritas pada tahun 2013, meningkat dari 91 kasus serupa pada tahun 2007.
Organisasi Muslim besar, macam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tak mampu menangkap kekerasan tersebut. Kedua organisasi tersebut tak pernah menentang fatwa Majelis Ulama Indonesia pada 2005 yang menentukan bahwa Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Al Qur’an.
Pada Januari 2014, Dr. H. Marsudi, sekretaris jenderal Nahdlatul Ulama,meremehkan bahaya dari intoleransi keagamaan dan kekerasan di Indonesia. Dia menyangkal bahwa insiden-insiden tersebut berkaitan dengan agama, dan malah menggambarkannya sebagai dampak dari “faktor-faktor lain” seperti hubungan asmara dan kecelakaan lalu lintas.
Sejak Presiden Suharto mundur pada 1998, setelah berkuasa lebih dari tiga dekade, banyak orang Indonesia mengeluarkan pandangan yang lama dikekang. Di antara mereka, sayangnya, adalah kecenderungan intoleransi terhadap agama-agama minoritas.
Kelompok-kelompok seperti Front Pembela Islam menggerakkan massa buat protes dan serang rumah-rumah ibadah minoritas. Mereka mengatakan mereka membela umat Islam dari “orang kafir” dan “para penoda agama.” Mereka mengganggu ibadah kaum minoritas dengan alat pengeras suara, membuang bangkai dan kotoran hewan dan seterusnya.
Pemerintah Indonesia tak bisa menyatakan bahwa mereka tak mengetahui insiden-insiden ini. Selama bertahun-tahun, organisasi hak asasi manusia di Indonesia, termasuk Kontras, telah memperingatkan bahwa intoleransi beragama adalah penyebab terbesar kedua dari pelanggaran HAM di Indonesia. Wahid Institute di Jakarta juga memberikan peringatan meningkatnya “siar kebencian” atas nama Islam.
Sayangnya, peringatan-peringatan ini gagal mendesak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bertindak dan melindungi kaum minoritas. Pemerintah praktis tak mengambil langkah hukum terhadap para pelaku pelecehan, intimidasi dan kekerasan.
Ada beberapa alasan dari kelambanan pemerintah. Diskriminasi terhadap agama-agama minoritas sangat mengakar dalam birokrasi negara. Selama era Suharto, warga Indonesia diharuskan menaruh agama dalam KTP, memilih satu dari enam agama yang diakui, sebuah praktek yang melakukan diskriminasi terhadap, dan menempatkan ke posisi yang lemah, pengikut dari ratusan agama-agama minoritas. UU Administrasi Kependudukan memberi pilihan kepada warga untuk menyatakan atau tidak, agama dan kepercayaan mereka di KTP. Mereka yang memilih mencantumkan agama harus memilih satu dari enam agama yang dilindungi di Indonesia. Celakanya, warga yang tidak mencantumkan agama, punya resiko dicap “tak bertuhan” dan punya kemungkinan menjadi subyek dari tuduhan penistaan agama.
Pada 2012, seorang atheis di Minangkabao, seorang ulama Syiah di Madura, dan seorang spiritualis di Yogyakarta, dipenjara karena penistaan agama walau menaruh Islam sebagai agama dalam KTP mereka.
Ada beberapa lembaga negara secara langsung juga melanggar hak asasi dan kebebasan beragama. Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat di bawah Kejaksaan Agung, serta Majelis Ulama Indonesia, bersama-sama mengikis kebebasan beragama di Indonesia dengan mengeluarkan aturan maupun fatwa yang menyudutkan minoritas.
Tanggapan pemerintahan Yudhoyono selalu lemah bila tidak diam-diam mengamini kelakukan orang-orang dari lembaga tersebut. Para pejabat dan petugas malah sering mendukung pelecehan terhadap agama-agama minoritas, bahkan dalam beberapa kasus menyalahkan korban ketika terjadi serangan. Pihak berwenang terang-terangan mengeluarkan pernyataan diskriminatif, menolak mengeluarkan izin mendirikan rumah ibadah, dan menekan kaum minoritas untuk relokasi.
Polisi sering memihak kepada militan Islam guna menghindari kekerasan. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan berkolusi dengan para penyerang demi alasan agama, ekonomi, atau politik. Dalam beberapa contoh, mereka kurang mendapatkan instruksi yang jelas dari atasan mereka atau merasa kalah jumlah dari para militan. Secara umum, tanggapan polisi yang buruk mencerminkan kegagalan institusional dalam menegakkan hukum.
Presiden Yudhoyono, yang akan meletakkan jabatan pada Oktober 2014 setelah menjabat selama satu dekade, merupakan bagian dari masalah. Dia hanya menciptakan pencitraan soal toleransi beragama ketika dia gagal mengambil tindakan tegas terhadap para pelanggar hukum.
Merupakan suatu tantangan bagi Presiden terpilih Joko “Jokowi” Widodo guna mengambil langkah-langkah tegas biat memutarbalik warisan Yudhoyono soal intoleransi. Jokowi harus menjadikan perlindungan bagi agama-agama minoritas di Indonesia sebagai sebuah prioritas, dan memastikan pihak berwenang yang terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran tersebut memperoleh hukuman yang pantas.