(Kabul) – Pemerintah Afghan harus ambil langkah-langkah mendesak untuk mengakhiri peningkatan yang mengkhawatirkan dalam jumlah perempuan dan gadis yang dipenjara karena “kejahatan moral,” menurut Human Rights Watch hari ini. Komitmen pejabat tinggi pemerintah untuk mengakhiri perbuatan sewenang-sewenang itu praktis cuma berdampak kecil.
Statistik dari Kementerian Dalam Negeri Afghanistan menunjukkan jumlah perempuan dan gadis yang dibui karena “kejahatan moral” di Afghanistan naik dari 400 orang pada bulan Oktober 2011 menjadi sekitar 600 orang pada bulan Mei 2013 – meningkat 50 persen dalam satu setengah tahun. Sejak Oktober 2011 jumlah perempuan dan gadis yang mendekam di penjara dan rumah tahanan anak-anak Afghanistan meningkat hampir 30 persen dari jumlah keseluruhan.
“Empat tahun setelah diadopsinya hukum mengenai kekerasan terhadap perempuan dan 12 tahun setelah lengsernya pemerintahan Taliban, perempuan masih dipenjara walaupun mereka merupakan korban dari praktik kawin paksa, kekerasan domestik, dan pemerkosaan,” ujar Brad Adams, direktur Asia dari Human Rights Watch. “Pemerintah Afghan perlu bertindak keras terhadap para pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan berhenti menyalahkan perempuan yang menjadi korban kejahatan.”
Dalam laporan yang terbit pada bulan Maret 2012 berjudul “’Saya Harus Kabur’”: Pemenjaraan Perempuan dan Gadis karena ‘Kejahatan Moral’ di Afghanistan,” Human Rights Watch mendokumentasikan sekira 95 persen gadis dan 50 persen perempuan yang dipenjara di Afghanistan adalah mereka yang dituduh melakukan “kejahatan moral” lantaran “kabur” dari rumah atau berbuat zina (berhubungan seksual di luar pernikahan).
“Kejahatan moral” ini biasanya diterapkan bagi korban yang lari dari kawin paksa yang secara hukum tidak diperbolehkan atau kekerasan dalam rumah tangga. Dalam wawancara mereka dengan Human Rights Watch para perempuan dan gadis yang dipenjara dengan dakwaan “kejahatan moral,” menuturkan penderitaan yang mereka alami termasuk dipaksa kawin dan menikah di bawah umur 16 tahun, dipukul, ditikam, dibakar, diperkosa, dipaksa melakukan prostitusi, diculik, dan diancam “dibunuh dengan alasan membela kehormatan” keluarga. Jangankan penuntutan dan penghukuman, hampir tidak ada kasus seperti ini yang berlanjut bahkan ke tahap penyelidikan.
“Kabur”, atau lari dari rumah tanpa pamit, bukanlah kejahatan menurut kitab hukum pidana Afghan, akan tetapi Mahkamah Agung Afghan menginstruksikan kepada para hakim hakim yang menangani kasus seperti ini agar para perempuan dan gadis yang melarikan diri dianggap sebagai pelaku pidana. Berbuat zina merupakan kejahatan menurut undang-undang pidana Afghan dan dapat dihukum hingga 15 tahun penjara. Sejumlah perempuan dan gadis telah didakwa berbuat zina setelah diperkosa atau dipaksa ke dalam pekerjaan prostitusi. Penuntutan pidana terhadap para perempuan yang menjadi korban dari kekerasan berbasis gender terus diterapkan sementara banyak pelaku kejahatan terhadap perempuan dibiarkan bebas kendati hukum terbaru Afghanistan yaitu Undang-Undang Tahun 2009 mengenai Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (EVAW Law) memberikan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Human Rights Watch kendati tahun lalu para pejabat tertinggi Afghan termasuk dari kepolisian dan Menteri Kehakiman menegaskan di depan umum bahwa tindakan “kabur” bukanlah merupakan kejahatan menurut undang-undang Afghan, akan tetapi pernyataan tersebut belum direalisasikan ke dalam bentuk kebijakan. Sejumlah ahli hukum berpendapat bahwa pandangan yang berkembang adalah karena para perempuan dan gadis tidak dapat dihukum berdasarkan tindakan “kabur” maka yang dapat dilakukan adalah mendakwa mereka dengan tuduhan percobaan zina. Dakwaan percobaan zina secara tidak adil menganggap bahwa para perempuan yang tidak berada dalam pengawasan kerabat lelaki mereka pastilah sedang berusaha untuk berhubungan seks dengan lelaki yang bukan suaminya.
Perempuan dan gadis yang dituduh melakukan “kejahatan moral” seringkali diwajibkan untuk menjalani “tes keperawanan” yang dijadikan sandaran oleh pengadilan untuk menentukan keperawanan dan apakah seorang perempuan atau gadis baru saja berhubungan seksual. Tes ini dapat diperintahkan oleh setiap petugas polisi, dan beberapa perempuan menjalani berbagai tes alat kelaminnya tanpa persetujuan sebelumnya dan tanpa adanya dasar yang sah. Tes semacam itu diterapkan tidak hanya terbatas pada kasus-kasus pemerkosaan, dan tesnya sendiri tidak ditujukan untuk mendokumentasikan luka-luka medis atau mengumpulkan bukti fisik guna mendukung tuduhan kekerasan seksual. Kendati tes medis dapat dijadikan alat penyelidikan yang sah dalam kasus-kasus tuduhan kekerasan seksual, tes ginekologis yang bertujuan untuk memastikan “keperawanan” seseorang tidak akurat secara medis. Tes semacam itu dikategorikan sebagai tindakan yang kejam, tak berperikemanusiaan, dan merendahkan martabat manusia menurut hukum internasional.
“Tes ‘keperawanan’ yang dipaksakan merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual,” ujar Adams. “Polisi Afghan tanpa memiliki dasar ilmiah apapun kerap kali memaksakan tes yang memilukan ini terhadap perempuan dan gadis.”
Sejumlah perempuan dan gadis yang melarikan diri dari kekerasan di rumahnya memperoleh bantuan—bukannya ditangkap—melalui tempat-tempat penampungan. Jumlah tempat penampungan perempuan di Afghanistan meningkat dari 14 pada tahun 2011 menjadi 18 pada tahun 2013. Namun kapasitas tempat-tempat penampungan itu terlalu terbatas dibandingkan jumlah perempuan yang memerlukan pertolongan. Tidak sampai separuh dari 34 provinsi di Afghanistan bahkan memiliki satu tempat perlindungan. Sementara di bagian Selatan Afghanistan yang penduduknya lebih konservatif tidak ada satu pun tempat perlindungan perempuan..
Tempat-tempat penampungan ini mungkin tidak akan bertahan lama mengingat mereka sepenuhnya didanai oleh lembaga-lembaga donor internasional, sementara bantuan keuangan menurun dengan cepat lantaran tenggat waktu 2014 untuk penarikan pasukan-pasukan perang internasional dari Afghanistan semakin mendekat. Pemerintah Afghan tidak menunjukkan niat apapun untuk mendanai tempat-tempat penampungan menggunakan anggaran negara, bahkan dalam beberapa kejadian pemerintah melakukan tindakan yang merugikan bagi tempat-tempat penampungan, seperti upaya pemerintah di tahun 2011 untuk mengambil alih tempat-tempat penampungan dan pernyataan Menteri Kehakiman di tahun 2012 yang menuduh tempat-tempat penampungan itu sebagai “korupsi moral.”
“Lembaga donor untuk Afghanistan memiliki peran sangat penting dalam mendukung tempat-tempat penampungan yang tak dapat diragukan lagi telah menyelamatkan nyawa banyak perempuan,” ujar Adams. “Mereka tidak sekedar harus menjamin keberlangsungan tempat-tempat penampungan tersebut, tetapi juga mendukung perluasan sistem tempat penampungan agar mencakup Afghanistan bagian selatan.”
Human Rights Watch mendesak pemerintah Afghan dan mitra-mitra internasionalnya untuk mengikuti langkah-langkah penting berikut:
- Presiden Hamid Karzai harus mengeluarkan peraturan pemerintah yang menjamin bahwa tindakan “kabur” tidak dianggap sebagai kejahatan pidana berdasarkan undang-undang Afghan dan dakwaan percobaan zina tidak boleh diterapkan. Dia harus membebaskan atau mengampuni setiap orang yang didakwa melakukan tindakan “kabur;”
- Menteri Dalam Negeri harus menginstruksikan kepada semua polisi untuk kewajibannya menyampaikan sesegera mungkin kepada Jaksa mengenai informasi terkait semua insiden kekerasan terhadap perempuan atau kemungkinan terjadinya pelanggaran atas Undang-Undang Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan;
- Jaksa Agung harus mengeluarkan instruksi yang mengharuskan para jaksa penuntut untuk melakukan penyelidikan formal atas semua tuduhan kejahatan terhadap perempuan berdasarkan UU Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan dan aturan hukum lain; mengajukan tuntutan dengan bukti-bukti yang ada, dan melakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk mengetahui apakah perempuan yang dituduh melakukan suatu kejahatan bertindak demikian dalam upaya melawan penganiayaan; dan
- Lembaga-lembaga donor internasional harus melaksanakan UU Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, menghapus pelanggaran pidana atas tindakan “kabur,” merevisi hukum tentang perzinahan dan keluarga, dan merombak peraturan perundangan lainnya yang mendiskriminasi isu-isu penting mengenai perempuan dalam keterlibatan politik dengan pemerintah Afghan.
“Kejahatan Moral” dan Hak-hak Perempuan di Afghanistan: Sejumlah Perkembangan Terbaru
Jumlah perempuan dan gadis yang dipenjara atas “kejahatan moral” di Afghanistan naik 50 persen dari Oktober 2011 hingga Mei 2013. Kenaikan yang menggusarkan ini terjadi selama periode dimana ada sejumlah upaya baru oleh pemerintah Afghan untuk melindungi perempuan. Meski adanya upaya-upaya tersebut pemerintah telah gagal mengambil tindakan yang berhasil untuk mengakhiri pemenjaraan perempuan yang salah kaprah.
Pemerintah Afghan dan mitra-mitra internasionalnya telah membuat
kemajuan dalam mengatasi pemenjaraan sewenang-wenang terhadap perempuan dan gadis atas tuduhan “kejahatan moral” sejak 2012. Para pejabat penting telah bersuara, setidaknya mengenai ketidaksahan penuntutan atas tindakan “kabur.” Unit-unit khusus di jajaran Kantor Kejaksaan Agung telah membuat sejumlah kemajuan dalam meningkatkan penegakan UU Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan. Jumlah tempat penampungan untuk perempuan yang lari dari kekerasan telah sedikit meningkat, dan pihak kepolisian tampaknya semakin menyadari bahwa banyak kasus mengenai penyelesaian masalah pernikahan dan perceraian sebaiknya dirujuk ke pengadilan keluarga ketimbang diajukan ke jaksa penuntut. Sejumlah aktivis hak asasi perempuan melaporkan bahwa pemerintah, dari Presiden Hamid Karzai hingga level seorang polisi dan jaksa, mulai menunjukkan keterbukaan terhadap keluhan-keluhan kasus kekerasan terhadap perempuan dan bekerja dengan para aktivis, termasuk dalam kasus-kasus individu.
Namun di sisi lain, ada kabar kurang menggembirakan: masih diterapkannya tes ginekologis yang bersifat memaksa, serta kurangnya kemajuan dalam penerimaan petugas polisi perempuan. Pengadilan keluarga, dimana perempuan dapat menggugat cerai dan menuntut hak asuh atas anak hanya ada di Kabul. Bahkan peningkatan jumlah tempat penampungan yang hanya sedikit tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan para perempuan di sebagian besar provinsi, sementara seluruh bagian selatan Afghanistan tidak memiliki akses terhadap tempat-tempat penampungan tersebut.. Selama jumlah perempuan dan gadis yang dipenjara atas “kejahatan moral” terus meningkat – yang jumlahnya 50 persen selama 1,5 tahun – pemerintah Afghan jelas perlu bertindak lebih giat untuk mengakhiri penuntutan sewenang-sewenang terhadap perempuan dan anak gadis.
Perkembangan-perkembangan terkait “kejahatan moral” besar yang terjadi sejak bulan Maret 2012 dapat dilihat di bawah ini:
- 11 April 2012: Kejaksaan Agung mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa tindakan “kabur” bukan merupakan kejahatan menurut undang-undang pidana Afghan dan tidak dapat dituntut:
Peraturan ini harus diedarkan ke seluruh kantor kejaksaan terkait di tingkat pusat dan provinsi, dan para jaksa harus diinstruksikan agar tidak menyiapkan berkas untuk kasus-kasus tidak sah terkait tindakan “kabur” yang bukan merupakan tindak pidana berdasarkan hukum Afghanistan, dan tidak boleh dibawa ke pengadilan dan agar tidak melakukan penyelidikan tanpa dasar yang jelas. Situasi lain dimana orang kabur karena berbuat kejahatan lain tidak tercakup dalam surat perintah ini. Masalah ini disampaikan kepada Anda agar Anda dapat mengambil tindakan yang sesuai dengan instruksi Dewan Tinggi Kejaksaan Agung Republik Islam Afghanistan.
- 16 September 2012: Menteri Kehakiman Habibullah Ghalib, Menteri Urusan Perempuan Husn Banu Ghazanfar, dan Wakil Menteri Dalam Negeri Mirza Mohammad Yarmand mengutuk keras pemenjaraan sewenang-wenang terhadap perempuan dan gadis yang didakwa melakukan tindakan “kabur”. Ghalib berkata bahwa polisi dan jaksa seharusnya tidak pernah mengirim kasus-kasus “kabur” ke pengadilan. Yarmand memberikan janjinya untuk mengakhiri penganiyaan oleh polisi, menyatakan bahwa semua polisi telah diinstruksikan bahwa tindakan kabur bukan merupakan kejahatan. Ghazanfar mengatakan perempuan dan gadis yang dituduh kabur bukanlah penjahat, tetapi umumnya adalah korban kejahatan yang lari untuk menghindari kekerasan yang mereka alami.
- 16 September 2012: Fawzia Koofi, direktur majelis rendah komite parlemen urusan perempuan, dan rekannya, Siddiqa Balkhi, direktur majelis tinggi komite parlemen urusan perempuan, mendesak pemerintah untuk segera membebaskan perempuan dan gadis yang didakwa kabur di bawah pasal “kejahatan moral” yang sewenang-wenang dan bersifat ambigu.
- Oktober 2012: Dakwaan pidana karena “tidak menghormati polisi” diajukan kepada Batool Muradi, setelah dia menjadi perempuan pertama Afghan yang menantang tuduhan “tidak setia” yang diajukan oleh suaminya dengan melakukan tes DNA terhadap anak mereka.
- Akhir 2012: Jaksa Agung mengumumkan rencana mereka untuk membentuk unit-unit khusus yang bertanggung jawab membawahi penuntutan yang berdasarkan pada UU Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di semua 34 provinsi dari yang kini berjumlah 8. Meskipun jumlah kasus yang diajukan berdasarkan undang-undang itu masih sangat kecil bahkan di provinsi yang sudah ada unit khususnya, para aktivis menimbang bahwa unit-unit khusus untuk mengangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dibiayai oleh lembaga-lembaga donor internasional ini merupakan langkah ke arah yang tepat.
- Februari 2013: Gulnaz, perempuan muda yang dibebaskan oleh grasi presiden pada Desember 2011 setelah menjalani 2,5 tahun dari 12 tahun hukuman penjara atas perbuatan zina setelah dia diperkosa, menikahi pemerkosanya. Kasus yang memancing perhatian luas di media internasional dan Afghan ini menekankan tidak hanya pada seringnya korban-korban pemerkosaan di Afghanistan justru dipenjara atas dakwaan melakukan “kejahatan moral” tetapi juga akan minimnya pilihan bagi para perempuan itu setelah dibebaskan. Gulnaz menjalani hidup lebih dari setahun di tempat penampungan perempuan sebelum menyerah pada tekanan sosial dan keluarga yang memojokkan dia untuk menikah dengan pria yang memperkosanya, pilihan terbaik yang mereka anggap tersedia bagi Gulnaz dan putrinya yang dia lahirkan di penjara sebagai hasil dari pemerkosaan itu.
- Mei 2013: Sebuah usulan parlemen untuk mengamandemen UU Anti-Kekerasan terhadap Perempuan berisiko semakin membatasi perempuan untuk dapat melarikan diri dari kekerasan atau mengajukan penuntutan hukum terhadap penganiaya mereka.
Tidak cukupnya penerimaan petugas polisi perempuan
Petugas polisi perempuan memainkan peran krusial dalam penegakan UU Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Dalam kehidupan masyarakat Afghanistan yang sangat didasarkan pada pemisahan gender banyak perempuan mengalami kesulitan bahkan untuk meninggalkan rumah, akanlah mustahil bagi mereka untuk melaporkan sebuah kejahatan, terutama yang terkait isu sensitif seperti penyerangan seksual atau kekerasan domestik, kepada polisi pria. Dalam hal ketiadaan petugas perempuan bahkan melaporkan kejahatan pun tidak aman bagi para perempuan: seorang perempuan berkata kepada HRW ketika dia pergi kantor polisi untuk melaporkan bahwa dia telah diperkosa, dia diperkosa lagi oleh seorang petugas di kantor tersebut.
Beberapa tahun terakhir presentasi perempuan di kepolisan Afghanistan masih berkisar 1 persen. Sebuah pernyataan Human Rights Watch menyoroti sejumlah tantangan yang menyebabkan sulitnya merekrut dan mempekerjakan perempuan di kesatuan kepolisian, termasuk serangan dan terkadang pelecehan seksual oleh kolega pria di kepolisian, dan kurangnya kebutuhan paling dasar berupa toilet dan ruang ganti khusus perempuan. Meskipun muncul banyak laporan mengenai insiden pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap petugas polisi perempuan oleh polisi pria, tidak ada kasus yang berhasil menghukum para polisi pria tersebut. Menteri Dalam Negeri bahkan menyangkal adanya permasalahan mengenai serangan terhadap polisi-polisi perempuan.
Tes keperawanan yang kejam masih diterapkan
Perempuan Afghan yang dituduh melakukan “kejahatan moral” kerap kali diperintahkan untuk menjalani tes ginekologis yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi apakah perempuan atau gadis tersebut masih “perawan” dan apakah mereka berhubungan seksual dalam aktivitas terbarunya. Praktek ini terus diterapkan kendati tes semacam itu tidak memiliki nilai medis yang sah, dan merupakan tindakan yang kejam, tak berperikemanusian, dan merendahkan martabat manusia berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional. Sebuah pemeriksaan ginekologis dapat dimodifikasi tanpa harus diadakannya tes keperawanan. Tes seperti ini dapat diterapkan hanya untuk tujuan-tujuan pengobatan serta untuk mengumpulkan bukti dari kasus pemerkosaan, bukan untuk tujuan lain, dan tes ini tidak boleh dilakukan tanpa pemberitahun persetujuan dari perempuan atau anak gadis yang bersangkutan.
Pada bulan Mei 2013 seorang pejabat polisi senior berkata kepada Human Rights Watch bahwa tes itu dapat diperintahkan oleh setiap petugas polisi lokal—“Siapapun yang duluan menangani kasus.” Pejabat pemerintah senior lain berkata para perempuan tersebut seringkali diwajibkan untuk melakukan berbagai pemeriksaan tanpa adanya dasar yang sah. Human Rights Watch mendapati bahwa para pejabat pemerintah Afghan tampaknya tidak siap menerima bahwa tes semacam itu tidak valid secara ilmiah.
Kebutuhan yang teramat besar akan tempat-tempat penampungan
Pada tahun 2001, Afghanistan tidak memiliki tempat penampungan bagi perempuan dan gadis yang melarikan diri dari kekerasan. 18 tempat penampungan yang ada saat ini telah memberikan pilihan bagi para perempuan yang tidak hanya mampu menjaga mereka dari pemenjaraan sewenang-wenang, tetapi juga benar-benar menyelamatkan nyawa mereka dari banyaknya kasus ancaman “pembunuhan untuk menjaga kehormatan keluarga”. Keberhasilan tempat-tempat penampungan ini harus mendorong pendirian tempat-tempat penampungan baru agar cukup untuk menjamin akses bagi setiap perempuan di setiap provinsi di Afghanistan. Sayangnya ketergantungan penuh tempat-tempat penampungan ini pada bantuan internasional serta sikap tidak mendukung dari pemerintah Afghanistan mengakibatkan ketidakpastian mengenai akankah tempat-tempat penampungan tersebut dapat bertahan lama. Menyusutnya bantuan keuangan secara keseluruhan ke Afghanistan mengurangi peluang akan adanya peningkatan yang besar dalam layanan tempat penampungan yang sangat dibutuhkan ini.