(London) – Selama 2012 pemerintah Indonesia gagal membela minoritas agama yang terancam dan para aktivis damai yang dipenjara karena pandangan politik mereka, demikian Human Rights Watch dalam World Report 2013.
Dalam laporan setebal 665 halaman, Human Rights Watch menilai kemajuan hak asasi manusia tahun lalu di lebih dari 90 negara, termasuk menganalisis peristiwa setelah Musim Semi Arab.
Pemerintah Indonesia harus menegakkan hukum yang melindungi kebebasan beragama dan meninjau ratusan peraturan daerah diskriminatif yang menjadikan perempuan dan minoritas agama sebagai korban, menurut Human Rights Watch. Pemerintah juga harus membebaskan puluhan tahanan politik, sebagian besar aktivis Papua dan Maluku, yang dipenjara karena mengutarakan pandangan berbeda secara damai, demikian Human Rights Watch.
“Kepentingan daerah yang meningkat di Indonesia ditumpulkan oleh kegagalan pemerintah untuk menangani intoleransi terkait keragaman pandangan politik dan agama di negara itu,” ujar Phelim Kine, wakil direktur Asia Human Rights Watch. “Untuk bergabung dengan negara-negara yang menghormati hak asasi manusia, pemerintah Indonesia perlu mengambil tindakan untuk melindungi hak asasi semua warganya.”
Sepanjang 2012, Human Rights Watch berkata, pemerintah Indonesia kurang mengambil tindakan yang memadai terhadap para militan Islam yang memobilisasi massa untuk menyerang kelompok minoritas agama. Menurut Setara Institute, yang memantau kebebasan beragama, serangan terhadap minoritas agama meningkat dari 144 kasus pada 2011 menjadi 264 kasus pada 2012. Hukuman penjara ringan terhadap para pelaku memberi sinyal toleransi terhadap tindakan kekerasan itu. Puluhan peraturan, termasuk surat keputusan bersama menteri tentang pembangunan rumah ibadah, menyuburkan diskriminasi dan intoleransi. Selama 2012, puluhan jemaat minoritas Kristen melaporkan bahwa para pejabat pemerintah daerah dengan sewenang-wenang menolak mengeluarkan surat izin mendirikan rumah ibadah, bahkan sekalipun mereka memegang keputusan Mahkamah Agung.
Para pejabat senior pemerintahan, termasuk Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, menawarkan “relokasi” kepada minoritas agama yang terkena dampak ketimbang memberikan perlindungan hukum atas hak-hak mereka. Suryadharma Ali pada September 2012 membuat pernyataan yang sangat diskriminatif tentang komunitas Ahmadiyah dan Syiah, menyebut keduanya sesat.
Polisi Indonesia pada 2012 masih terlibat dalam tindak kekerasan terhadap minoritas agama. Pada 26 Agustus, para petugas polisi cuma berdiri menyaksikan ratusan militan Sunni membakar 50 rumah di sebuah kampung Syiah di Pulau Madura, yang menewaskan seorang pengikut Syiah. Pemerintah juga gagal memberikan perlindungan memadai terhadap para seniman, penulis, dan perusahaan media yang jadi target kelompok-kelompok Islamis militan, yang mengacaukan tur peluncuran buku oleh penulis Muslim-Kanada, Irshad Manji, di Jakarta dan Yogyakarta, serta memaksa pembatalan konser penyanyi Lady Gaga di Jakarta pada bulan Juni.
Pemerintah provinsi Aceh memaksakan aturan berbusana sesuai Syariat dan hukum “khalwat,” yang melarang pasangan belum menikah melakukan “perbuatan bersunyi-sunyi.” Ketentuan-ketentuan ini dijalankan terutama oleh polisi Syariat (Wilayatul Hisbah) yang melakukan pelecehan, intimidasi, serta penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap laki-laki dan perempuan. Pada September, gadis berumur 16 tahun yang ditangkap polisi Syariat di kabupaten Langsa, bunuh diri setelah dua suratkabar melaporkan bahwa dia seorang “pelacur.” Pada Desember, walikota Lhokseumawe menggunakan dalih “Syariat” untuk membenarkan larangan perempuan duduk mengangkang di atas sepedamotor.
“Kekerasan terhadap minoritas agama akan bertambah buruk bila pemerintah Indonesia mendukung atau mengabaikan serangan-serangan militan Islam,” ujar Kine. “Para pemimpin Indonesia perlu menunjukkan kepemimpinan nyata dan mengutuk kekerasan, merevisi aturan hukum diskriminatif, serta memastikan mereka yang bertanggung-jawab atas pelanggaran dihukum.”
Pemerintah Indonesia terus mengadili para aktivis politik damai di Papua dan Kepulauan Maluku, mencampuradukkan antara kebebasan berekspresi dan separatisme bersenjata, menurut Human Rights Watch. Pada Maret 2012, sebuah pengadilan di Jayapura, Papua, memvonis tiga tahun penjara terhadap lima aktivis karena mendeklarasikan kemerdekaan Papua dari Indonesia pada 2011.
Pada Mei 2012, pemerintah Indonesia menolak rekomendasi untuk membebaskan para tahanan politik yang dibuat 11 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa selama Tinjauan Periodik Universal PBB mengenai catatan hak asasi manusia Indonesia. Para tahanan ini menjalani hukum penjara hingga 20 tahun karena protes damai, termasuk mementaskan tarian atau mengibarkan bendera yang dinilai separatis. Salah satunya aktivis kemerdekaan Papua, Filep Karma, di mana Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang pada 2011 mendesak pemerintah Indonesia segera membebaskannya.
Pemerintah menerima beberapa rekomendasi Tinjauan Periodik Universal PBB termasuk membuka akses dan mengundang tiga pelapor khusus PBB urusan hak-hak kesehatan, perumahan layak, dan kebebasan berekspresi, untuk mengunjungi Indonesia. Kunjungan tersebut dapat membantu mengidentifikasi dan menyelesaikan persoalan terkait pelanggaran hak asasi manusia, namun kunjungan ini belum dilakukan.
“Indonesia memperburuknya dengan menangkap para aktivis damai dan kemudian mengabaikan keprihatinan yang dilayangkan PBB dan negara lain,” ujar Kine. “Para tahanan ini memberi sebuah cermin memalukan atas klaim Indonesia sebagai negara yang menghormati hak asasi manusia dan mematuhi aturan hukum.”