(New York) – PemerintahIndonesia harus membatalkan tuntutan terhadap 5 aktivis Papua yang ditangkap karena mengekspresikan pandangan politik secara damai, demikian Human Rights Watch hari ini. Pada 30 Januari 2012, pengadilan negeri Jayapura, ibukota provinsi Papua, akan memulai persidangan untuk dakwaan “makar”kepada lima pemimpin Kongres Rakyat Papua, yang dibubarkan secara paksa pada akhir Oktober 2011 lalu.
“Pemerintah Indonesia harus menunjukkan komitmen terhadap pandangan damai dengan membatalkan dakwaan terhadap lima aktivis Papua,”kata Elaine Person, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch. “Sungguh mengerikan negara demokrasi modern seperti Indonesia masih saja memenjarakan orang hanya karena mereka mengadakan demonstrasi dan mengungkapkan pandangan kontroversial.”
Pada 19 Oktober 2011, pasukan keamanan Indonesia bertindak secara brutal saat membubarkan Kongres Rakyat Papua, yang berlangsung tiga hari di Jayapura, demikian Human Right Watch.Setelah seorang pemimpin kongresmembacakan Deklarasi Kemerdekaan Papua 1961, polisi dan tentara Indonesia menembakkan peluru peringatan untuk membubarkan sekitar 1,000 peserta Kongres. Pasukan keamanan itu menggunakan tongkat dan bahkan beberapa senapan ke para demonstran, yang akhirnya membunuh sedikitnya tiga orang dan melukai lebih dari 90 orang. Para saksi berkata demonstran terluka kena pukul di kepala dan beberapa lainluka tembak.
Setelah insiden itu, delapaan polisi, termasuk Kapolda Jayapura, Imam Setiawan, dijatuhi hukuman peringatan untuk pelanggaran disiplin karena tidak memprioritaskan perlindungan terhadap warga sipil. Namun, tak ada tindakan serius terhadap para polisi atau personil militer untuk kemungkinan pelanggaran sewenang-wenang.
Lima aktivis—ForkorusYaboisembut, Edison Waromi, August Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, dan Selpius Bobii—didakwa“makar”berdasar pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan ditahan polisi sejak 19 Oktober. Seorang lagi, Gat Wenda, anggota Penjaga Tanah Papua(Pepta), yang mengamankan kongres, didakwa terpisah dengan tuduhan kepemilikan senjata tajam.
Setidaknya 15 warga Papua dituduh “makar”atas aktivitas politik damai, termasuk Filep Karma, pegawai negeri sipil yang dipenjara sejak Desember 2004. Sekitar 60 pesakitan politik lain di seluruh Indonesia, sebagian besar aktivis dari Maluku, juga dipenjara karena tindakan mengungkapkan pendapat secara damai. Human Rights Watch mengingatkan kembali pemerintah Indonesia agar segera melepaskan semua pesakitan politik ini dan mengizinkan organisasi hak asasi manusia dan jurnalis internasional mendapat akses bebas ke Papua tanpa diawasi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu diamenden guna memastikan tak ada seorang pun yang dituntut atas perbuatan makar hanya karena mengungkapkan protes secara damai, menurut Human Rights Watch. Pasal karet tentang pidana “makar” melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan hukum HAM internasional. Pasal 28(e) dalam UUD (Amendemen Kedua) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pasal 28(f) menetapkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2006, melindungi hak untuk kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai.
Human Rights Watch mengambil posisi netral atas klaim kemerdekaan di Papua. Namun, konsisten terhadap hukum internasional, Human Rights Watch mendukung hak setiap orang, termasuk mereka yang pro-kemerdekaan, untuk mengekspresikan pandangan politiksecara damai tanpa ada ketakutan ditangkap atau mengalami bentuk-bentukpenindasan.
"Pemerintah Indonesia harus mengusut mereka yang bertanggung-jawab atas kekerasan dan pembubaran paksa yang menewaskan tiga warga Papua, bukan menangkap mereka yang membaca pernyataan kemerdekaan 1961,” ujar Pearson. “Melanjutkan sidang aktivis damai Papua hanya akan memperdalam kebencian orang Papua terhadap Indonesia.”