Skip to main content

Adili Pelaku Pelanggaran HAM dari Pihak Militer

Lebih dari 100 pesakitan politik dipenjara karena menggelar protes damai

(New York) – Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa tentara-tentara yang bertanggung-jawab atas pelanggaran dituntut dan dihukum secara memadai,demikian Human Rights Watch hari ini dalam Laporan Dunia 2011. Pada 24 Januari 2011, putusan delapan hingga sepuluh bulan penjara di pengadilan militer Papua terhadap serdadu-serdadu TNI yang terlibat dalam penyiksaan terlalu rendah, menurut Human Rights Watch.

Laporan 649 halaman, tinjauan tahunan Human Rights Watch ke-21 tentang praktik-praktikhak asasi manusia di seluruh dunia, merangkum tren utama hak asasi manusia di lebih dari 90 negara dan wilayah sedunia. Menurut laporan, selama 12 tahun terakhir, Indonesia telah membuat langkah penting untuk menjadi negara yang stabil dan demokratis denganmenguatnya masyarakat sipil dan media independen. Namun masih ada keprihatinan seriusakan hak asasi manusia.

“Para pejabat senior harus terus-menetus membahas dan bekerja dengan sungguh-sungguhmengenai hak asasi manusia,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia Human Righs Watch.“Militer harus berhenti melindungi personilnya dari penuntutan, dan pemerintah perlu mengadili penangung-jawab pelaku penyiksaan.”

Pada Juli 2010, pemerintah AS mencabut larangan bantuan militer kepada Kopassus,mengabaikan keprihatinan yang terus berlanjut akan catatan HAM pasukan elit tempur militer Indonesia ini. Bukti kuat keterlibatan pasukan keamanan dalam penyiksaan muncul pada2010. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro berjanji akan menskors tentara-tentara yang dituduh secara pasti terlibat pelanggaran HAM serius, memberhentikan mereka yang didakwa melakukan penyiksaan, dan bekerjasama dengan pihak penuntut. Namun hanya beberapasedikit kasus yang diproses pengadilan militer, dan jumlah tuntutan tak mencerminkan beratnya pelanggaran yang dilakukan.

Pada Oktober, sebuah rekaman video telepon genggam berdurasi 10 menit terungkap,menggambarkan brutalitas dan interogasi tentara-tentara Indonesia yang menyiksa dua priaPapua, Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire. Dalam video itu, Kiwo menjerit kesakitan saat bara kayu berulangkali ditempelkan pada alat kelaminnya. Setelah ada tekanan dari berbagaipemerintah luar negeri, militer akhirnya menggelar pengadilan di Jayapura, Papua, pada akhirJanuari. Namun ia hanya mendakwa tiga dari enam tentara dalam video – Sersan dua Irwan Rizkiyanto, Pratu Jackson Agu, dan Pratu Thamrin Mahamiri dari Komando Cadangan Strategis (Kostrad) Angkatan Darat batalyon 753 – dengan tuntutan melanggar disiplin militerketimbang penyiksaan. Ketiganya berturut-turut divonis sepuluh bulan, sembilan bulan, dan delapan bulan penjara. Jaksa militer hanya menjatuhkan hukuman ringan 12 bulan penjara dari maksimal 30 bulan sebagaimana ketentuan hukum pidana militer.

Kasus penyiksaan lain terungkap dalam video pada 2010 yang merekam keterlibatan beberapa tentara menendang dan memukul penduduk desa di Papua. Empat tentara darikesatuan yang sama, batalyon 753 Kostrad, didakwa disiplin militer dan divonis hanya limahingga tujuh bulan penjara. Putusan ini sekarang diproses banding di pengadilan tinggi militer Surabaya.

Kedua kasus ini luar biasa di mana perlakuan kejam militer terekam dalam video. Namun selama bertahun-tahun Human Rights Watch mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia di Papua, tak pernah ada tentara dituntut pertanggung-jawaban. Human Rights Watch mendesak Amerika Serikat untuk menjelaskan secara terbuka hubungan dengan batalyon 753 Kostrad dan individu-individu yang terlibat dalam insiden ini, guna memastikan kepatuhandengan hukum Leahy.

“Ketimbang bekerjasama dengan otoritas sipil dan menghukum tentara-tentara yang terlibatpenyiksaan segera sesudah video muncul, pemerintah Indonesia justru menarik diri dan ogah-ogahan dengan memberi sanksi ringan dan membiarkannya,” kata Pearson. “Ini bukan hal baru dan sama sekali berbeda dari apa yang dijanjikan menteri pertahanan. Impunitas militersudah kita saksikan selama puluhan tahun di Indonesia.”

Pemerintah juga cuma sedikit menangkal serangan dan diskriminasi terhadap minoritas agama,seksual, dan etnis selama 2010. Pada beberapa kesempatan, kelompok Islam militan memobilisasi sekelompok besar warga dan menyerang tempat-tempat ibadah minoritasagama. Polisi seringkali gagal menangkap para pelaku kekerasan.

Sementara Indonesia memiliki beragam media yang dinamis, sepanjang 2010 pihak berwenang Indonesia terus menerapkan hukuman keras dengan mengkriminalisasi individu-individu yang mengungkapkan isu-isu kontroversial dan membungkam ekspresi damai. Pidana pencemaran nama baik, fitnah, dan “penghinaan” diterapkan dengan leluasa untuk mereka yang “menghina” pejabat publik dan mempublikasikan pernyataan yang sengaja merugikan reputasi orang lain, bahkan jika pernyataannya benar. Misalnya, pada awal 2010, Tukijo, petani Kulon Progo, Yogyakarta, divonis enam bulan masa percobaan dan penangguhan tiga bulan penjara atas pencemaran nama baik setelah dia berdebat dengan pejabat lokal tentang hasil penaksiran areal tanah petani.

Pemerintah memenjarakan lebih dari 100 aktivis Maluku dan Papua dengan pidana “makar” gara-gara mengungkapkan pandangan politik, mengadakan demonstrasi, dan mengibarkan bendera kemerdekaan secara damai. Pada Agustus, pihak berwenang menangkap 21 aktivis Maluku Selatan di Ambon dan Saparua serta mendakwa mereka dengan pasal makar atasrencana menerbangkan balon dan bendera Republik Maluku Selatan saat kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pesakitan politik ini termasuk Filep Karma, 51 tahun, pegawai negeri sipil Papua yangdipenjara gara-gara mengadakan demonstrasi kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2004, dan Buchtar Tabuni, 31 tahun, ketua Komite Nasional Papua Barat, sebuah organisasikemerdekaan Papua yang berkembang kian radikal sejak dia dipenjara.

Pemerintah membatasi akses pemantau hak asasi manusia dan jurnalis internasional ke Papua sejak Indonesia mengambil alih Papua pada 1969 yang terus diterapkan hingga 2010.

“Dengan terus mengendalikan media dan organisasi HAM internasional dari Papua, pemerintah Indonesia mengakui bahwa pelanggaran serius terus terjadi,” kata Pearson.“Mengakhiri pembatasan ini akan jadi langkah pertama dalam menurunkan tensi kekerasan di Papua.” 

 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country