(New York) – Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono harus mengumumkan secara terbuka bahwa dia menolak pernyataan menteri agama yang mengatakan komunitas Ahmadiyah harus dilarang, menurut Human Rights Watch hari ini. Selama tiga hari sejak 30 Agustus 2010, Menteri Agama Suryadharma Ali menganjurkan pelarangan Ahmadiyah sebelum menghadiri rapat dengan komisi hukum dan hak asasi manusia Dewan Perwakilan Rakyat.
“Pernyataan Menteri Suryadharma tentang pelarangan komunitas Ahmadiyah patut disalahkan, dan Presiden Yudhoyono secara terbuka harus mengatakan begitu,” kata Phil Robertson, wakil direktur Asia Human Rights Watch. “Yudhoyono harus menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa pernyataan itu tidak mencerminkan kebijakan resmi.”
Ahmadiyah menyatakan diri Muslim meski berbeda pandangan dengan sebagian besar Muslim tentang nabi Muhammad sebagai nabi “terakhir”. Imbasnya, hampir semua mazhab Islam menganggap Ahmadiyah melakukan “bid’ah.”
Dalam pernyataan publik, mengutip laporan berita, Suryadharma berkata, “Melarang [Ahmadiyah] jauh lebih baik daripada membiarkan mereka. ... Dengan melarang mereka berarti kita bekerja keras untuk menghentikan tindakan menyimpang terus berlanjut.”
Suryadharma juga dikabarkan mengatakan pemerintah akan membubarkan Ahmadiyah setelah hari raya Idul Fitri, menandai akhir bulan suci Ramadhan. Umat Islam Indonesia merayakan Lebaran pada 10 September.
Komentar Suryadharma dikecam aktivis HAM Indonesia dan ketua senior Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Pada 3 September, NU merilis pernyataan di situsnya yang menganjurkan dialog damai dengan Ahmadiyah, menyatakan meski NU tidak setuju dengan keyakinan muslim Ahmadiyah, membubarkan kelompok itu tidak sejalan dengan ajaran al-Quran.
Komentar Suryadharma menyusul letupan kekerasan anti-Ahmadiyah terbaru di desa Manis Lor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, komunitas Ahmadiyah terbesar di Indonesia. Pada 28 dan 29 Juli, ratusan anti-Ahmadiyah, dimobilisasi kelompok Islam militan, berusaha menutup paksa masjid Ahmadiyah setelah pejabat pemerintah daerah mengeluarkan perintah untuk menutupnya.
Pada 29 Juli, Suryadharma menanggapinya dengan berkomentar bahwa pemerintah Indonesia takkan mentolerir kekerasan dalam perselisihan agama, dan berkata polisi akan menegakkan SKB 2008 yang melarang muslim Ahmadiyah menyebarkan keyakinannya serta memperingatkan Ahmadiyah “sebaiknya menghentikan kegiatan mereka.”
Pada 31 Agustus, Suryadharma kembali menyalahkan Ahmadiyah, bukan para penyerang, atas kekerasan anti-Ahmadiyah terbaru, mengatakan dia percaya insiden itu merupakan konsekuensi dari kegagalan Ahmadiyah mematuhi SKB.
Ketentuan hukum yang baru diputuskan Indonesia memfasilitasi diskriminasi terhadap Ahmadiyah. Surat keputusan kementarian Juni 2008, dikenal SKB Anti-Ahmadiyah, menetapkan Ahmadiyah untuk “menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam,” termasuk “penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” Pelanggaran atas SKB ini dapat diancam penjara maksimal 5 tahun. Human Rights Watch berulang-kali menyerukan pemerintah membatalkan SKB karena melanggar hak kebebasan beragama.
“Insiden kekerasan anti-Ahmadiyah yang terjadi seperti di Manis Lor menunjukkan SKB 2008 justru mendorong kekerasan, bukan mencegahnya,” kata Robertson. “Pemerintah harus mencabut SKB anti-Ahmadiyah 2008 dan mengadili semua orang yang bertanggung-jawab atas kekerasan terhadap minoritas agama.”
Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia secara eksplisit menjamin kebebasan beragama dalam pasal 28(E). Berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia pada 2006, negara harus menghormati hak kebebasan beragama. Ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas “tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama dengan anggota kelompoknya yang lain … untuk menganut dan menjalankan agamanya sendiri,” menurut kovenan.
Human Rights Watch telah mendokumentasikan secara ekstensif tentang serangan terhadap hak-hak kelompok minoritas agama di seluruh dunia, termasuk terhadap komunitas Ahmadiyah di Pakistan dan Bangladesh. Human Rights Watch juga mengkritik pandangan intoleransi agama terhadap umat Islam oleh para pejabat pemerintah di Eropa dan Amerika Serikat.