(New York) – Pemerintah Indonesia harus mengakhiri kebijakan diskriminatif terhadap komunitas keagamaan Ahmadiyah dan menuntut serta menghukum pelaku kekerasan anti-Ahmadiyah, menurut Human Rights Watch hari ini. Human Rights Watch mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencabut peraturan pemerintah daerah yang memerintahkan penutupan masjid Ahmadiyah dan keputusan kementerian yang represif terhadap minoritas Ahmadiyah.
Sejak 26 Juli 2010, satuan polisi pamong praja atau Satpol PP, parapolisi di bawah pemerintahan kabupaten/kota, dan ratusan orang yang dimobilisasi kelompok Islam militan melakukan beberapa upaya menutup paksa masjid Ahmadiyah di desa Manis Lor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang memicu kekerasan. Satpol PP menutup masjid atas perintah bupati Kuningan. Pada 29 Juli, menteri agama Suryadharma Ali menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah Indonesia takkan mentolerir kekerasan dalam perselisihan agama. Namun dia juga memperingatkan para pengikut Ahmadiyah “sebaiknya menghentikan kegiatan mereka” dan berkata polisi akan menegakkan SKB 2008 yang melarang Ahmadiyah menyebarkan keyakinannya.
“Para pejabat Indonesia kembali bereaksi mendorong diskriminasi negara dan kekerasan vigilante terhadap Ahmadiyah dengan membatasi hak menjalankan keyakinannya,” kata Elaine Pearson, mewaliki direktur Asia Human Rights Watch. “Pemerintah harus menunjukkan keseriusan dalam mengakhiri kekerasan agama dengan membawa mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan.”
Sekitar 2/3 dari sekitar 4,500 penduduk Manis Lor adalah muslim Ahmadiyah, menjadikannya komunitas Ahmadiyah terbesar di Indonesia. Ahmadiyah menyatakan diri Muslim meski berbeda pandangan dengan sebagian besar Muslim lain tentang nabi Muhammad sebagai nabi “terakhir”. Imbasnya, hampir semua mazhab Islam menganggap Ahmadiyah melakukan “bid’ah.”
SKB Juni 2008 menetapkan Ahmadiyah “menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam,” termasuk “penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” Pelanggaran atas SKB ini dapat diancam penjara maksimal 5 tahun. Human Rights Watch berulang-kali menyerukan pemerintah membatalkan SKB karena melanggar kebebasan beragama sesuai berbagai perjanjian hak asasi manusia yang diratifikasi Indonesia.
Aang Hamid Suganda, bupati Kuningan, dikabarkan memerintahkan penutupan delapan masjid Ahmadiyah menyusul rekomendasi pada bulan Juni oleh Majelis Ulama Indonesia, lembaga semi-pemerintah terdiri ulama senior. Suganda mengklaim kegiatan keagamaan Ahmadiyah telah “memprovokasi” konflik dan penutupan itu diperlukan demi mencegah ketegangan lebih lanjut.
Pada 26 Juli, atas perintah Suganda, Satpol PP berusaha menutup masjid An Nur, tempat ibadah jemaat Ahmadiyah Manis Lor. Satpol PP mengurungkan niatnya sesudah ratusan warga Manis Lor memblokir jalan menuju masjid.
Pada 28 Juli, polisi dan Satpol PP kembali berupaya menutup masjid. Muslim Ahmadiyah melawannya dengan melempar batu dan batang kayu. Beberapa saat kemudian, ratusan pemrotes yang dimobilisasi organisasi Islam militan, termasuk Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (GAPAS), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Forum Umat Islam (FUI) menutup paksa masjid. Polisi memblokade massa hingga masjid.
Esok harinya, sedikitnya 300 pemrotes mencoba lagi menutup masjid. Sekitar 600 polisi, termasuk dari Brigade Mobil dan hansip, berusaha menghalanginya dengan menembakkan gas airmata, tapi tidak berhasil. Para penentang sempat bentrok dengan sekitar 200 muslim Ahmadiyah. Dikabarkan korban luka ringan dan beberapa properti rusak. Suganda lantas mengeluarkan ultimatum kepada komunitas Ahmadiyah bahwa dia akan memerintahkan Satpol PP menutup masjid jika Ahmadiyah masih menjalankan ibadah sebelum dua hari bulan suci Ramadhan, yang dimulai 11 Agustus.
Polda Jawa Barat dilaporkan mengerahkan sekitar 500 polisi dari unit anti huru-hara dan Brimob ke Manis Lor dalam merespon kekerasan. Pada 30 Juli, menteri koordinator politik, hukum dan keamanan, Djoko Suyanto, memerintahkan polisi untuk “tegas” dalam menangani “tindakan anarkis,” serta Presiden Yudhoyono dilaporkan memintanya untuk memastikan bahwa polisi bertindak “keras” dalam melakukan tugasnya. Meski demikian, polisi belum menangkap seorang pun terkait kekerasan dan intimidasi tersebut.
“Ketika pemerintah Indonesia mengorbankan hak-hak minoritas agama untuk meredam keinginan kelompok Islam garis keras, ini hanya akan menjurus lebih banyak kekerasan, seperti peristiwa di Manis Lor,” kata Pearson. “Meski polisi dengan tepat menghentikan massa memasuki masjid, namun tak ada satupun pelaku yang ditangkap hanya akan mendorong kelompok intoleran kian berani melakukan kekerasan lagi.”
Suganda, bupati Kuningan, mengatakan dia dan tokoh agama lain akan berkunjung ke Jakarta pada Agustus untuk mendesak para pejabat tinggi pemerintah berbuat lebih banyak dari sekadar SKB Juni 2008.
Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia secara eksplisit menjamin kebebasan beragama dalam pasal 28(E). Berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia pada 2006, negara harus menghormati hak kebebasan beragama. Ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas “tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama dengan anggota kelompoknya yang lain … untuk menganut dan menjalankan agamanya sendiri.” Pembatasan hak atas kebebasan beragama untuk melindungi keamanan atau ketertiban umum hanya boleh diterapkan dengan ketat sesuai yang diperlukan dan proporsional.
“Indonesia wajib mengusut mereka yang bertanggung-jawab atas kekerasan anti-Ahmadiyah dan mencabut pasal-pasal dan berbagai ketentuan diskriminatif, yang menjadi alasan kelompok militan membenarkan tindakannya,” kata Pearson. “Beragam pasal dan ketentuan ini secara jelas menggerus kebebasan beragama di Indonesia dan membahayakan keselamatan pemeluk minoritas agama.”