(New York) – Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono harus membebaskan tiga warga Papua yang dihukum karena tuduhan “makar”pada 12 November 2009 setelah mengibarkan bendera pro-kemerdekaan, menurut Human Rights Watch hari ini.
Pengadilan Indonesia telah lama menganggap pengibaran bendera terkaitsentimen pro-kemerdekaansebagai simbol kedaulatan dan, karena itu,sebuah bentuk ekspresi terlarang. Human Rights Watch berpendapat bahwa kriminalisasi hak-hak kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai merupakan pelanggaran hukum HAM internasional sebagaimana dilindungi dalam Kovenan Internasional Hak-HakSipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2006.
Human Rights Watch mendesak Yudhoyono segera menghentikan tuntutan guna mencegah penahanan berikutnya untuk kasus ini. Pada 18 November, polisi menahan dua warga Papua yang mengibarkan bendera pada 16 November. Sepertinya akan lebih banyak lagi upacara pengibaran bendera hingga 1 Desember, hari peringatan kemerdekaan bagi sebagian besar rakyat Papua.
“Presiden Yudhoyono punya peluang sebelum 1 Desember untuk membuktikan pada rakyat Papua bahwa Indonesia adalah negara yang menghormati hak asasi dengan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi,”kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch. “Yudhoyono harus membebaskan warga Papua yang ditangkap ini tanpa ditunda-tunda.”
Pada 12 November, pengadilan negeri Manokwari mendakwa Roni Ruben Iba, Isak Iba, dan Piter Iba, anggota faamIba dengan tuduhan makar, setelah mengibarkan bendera pro-kemerdekaan pada 1 Januari di luar kantor pemerintahan Bintuni Baydekat Manokwari, provinsi Papua Barat.
Polisi menangkap mereka pukul 07.30 pada 1 Januari setelah upacara pengibaran bendera yang melibatkan sekira 35 orang, dan mereka ditahan polisi sesudahnya. Dalam persidangan, para terdakwa mengatakan bahwa mereka diperlakukan buruk selama penahanan dan di kantor polisi Bintuni Bay. Mereka mengatakan polisi menendangi mereka, memukul, dan memakai popor senapan untuk menghantam kepala dan tubuh mereka.
Pengadilan memvonis Roni Ruben Iba, satpam sebuah hotel, tiga tahun penjara, sementara Isak Iba, pegawai negeri sipil, dan Piter Iba, seorang petani, dihukum dua tahun penjara.
Pengibaran bendera 1 Januari itu terulang, tapi berbeda dengan bendera Bintang Kejora,sebuah simbol kemerdekaan Papua yang sering bikin banyak aktivis Papua dihukum. Tuduhan makar atau pemberontakan sering mengkriminalkan individu-individu yang dianggap menunjukkan dukungan terhadap grup separatisbersenjata, Organisasi Papua Merdeka. Pasal 6 dalam Peraturan Pemerintah 77/2007 melarang pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, sama halnya terhadap bendera Republik Maluku Selatan di Ambon, dan bendera Bulan Sabit di Aceh, dua wilayah lain dengan gerakan separatis.
Namun, mantan presiden IndonesiaAbdurrahman Wahidpernah menyatakan bendera Bintang Kejora merupakan simbol kultural, dan pada 1999 dan 2000 mengizinkan bendera itu dikibarkan selama bersisian dan lebih rendah dengan bendera Indonesia. Dibawah Undang-undang Otonomi Khusus Papua 2001, simbol identitas Papua seperti bendera atau lagudiizinkan.
Pada kasus 16 November, polisi menangkap dan menginterogasi dua warga Papua karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di kantor Dewan Adat Papuadi Jayapura, ibukota provinsi Papua. Kedua warga Papua ini memprotes kegagalan undang-undang otonomi khusus dan menyebarkan selebaran bertuliskan “Otonomi khusus gagal”dan “Papua tidak percaya Jakarta.”Pada 18 November, polisi menangkap mereka dengan tuduhan makar.
Human Rights Watch menyatakan penahanan seperti itu makin meningkat seiring mendekati tanggal 1 Desember. Pada 1961, dibawah hukum Kerajaan Belanda, sebuah dewan terpilih, yang sebagian besar terdiri warga Papua,menciptakan lagu kebangsaan dan bendera nasional. Pada 1 Desember 1961, bendera Bintang Kejora dikibarkan bersisian bendera triwarna Kerajaan Belanda untuk kali pertama. Indonesia mengambil-alih Papuadengan dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1969.
Lebih dari 170 orang kini dipenjara di seluruh Indonesia karena mengungkapkan ekspresipolitik damai, sebagian dari Papua dan Maluku, di mana terdapat gerakan kemerdekaan. Beberapa menerima vonis lama penjara, termasuk dua aktivis Papua. Filep Karma dihukum 15 tahun penjara dan Yusak Pakage 10 tahun penjara, keduanya dituduh makar.
Human Rights Watch kembali menyerukan pemerintah Indonesia segera dan tanpa ditunda-tunda membebaskan semua pesakitan politik yang dipenjara setelah menyuarakan pendapat dan mengadakan protes secara damai, serta menghapuskan pasal-pasal lama yang mengkriminalisasi hak-hak asasi manusia.
“Presiden Yudhoyono harus mengakhiri penangkapan individu hanya karena mengibarkan bendera,” kata Pearson. “Kasus penahanan ini mencoreng komitmen Indonesia tentang kebebasan berekspresi.”