Skip to main content

(New York, 21 Juli 2009) – Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono harus menunjukkan dukungan bagi pandangan politik berbedadengan membatalkan tuntutan pidana berlatar politik terhadap para aktivis Papuadan meminta mereka dibebaskan, menurut Human Rights Watch hari ini.

Pada 23 Juli 2009, pengadilan di Nabire, Papua, akan menyidangkan 16 orang Papua, sebagian besar mahasiswa dan petani yang terhubung dengan Komite Nasional Papua Barat, sebuh organisasi politik yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dari Indonesia. Mereka ditangkap 6 April terkait dengan rapat umum menjelang pemilu di Nabire dan dituntut pasal pidana makar. Dua aktivis mahasiswa Papua, Buchtar Tabuni dan Seby Sembom, juga dijebloskan penjara karena kegiatan politik mereka. Human Rights Watch menyerukan kembali kepada pemerintah Indonesia untuk menghapus pasal-pasal pidana kuno yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.

“Pejabat-pejabatPapua harus berhenti memakai hukum pidana untuk tujuan politik,”kata Elaine Person, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch. “Sekarang waktunya bagi Yudhoyono untuk menepati janjidan menunjukkan pada rakyat Papua kalau dia serius menghormati perbedaan pandangan politik.”

Pada pukul 03.30, 6 April, dalam upaya menghentikan sebuah rapat, polisi menggrebek dan membakar tempat berkumpulnya para mahasiwa dan petani untuk merencanakan demonstrasi. Dalam kericuhan itu, para mahasiswa melemparkan batu dan merusak sebuah kendaraan polisi. Para demonstran berusaha melempari truk yang membawa pasukan bersenjata Brigade Mobil, yang dibalas dengan tembakan. Buntutnya, para demonstran mulai  melempari polisi dengan benda-benda keras dan anak panah.

Lusinan demonstran terluka akibat tembakan, 4 diantaranya luka parah, termasuk seorang anak berumur 10 tahun. Seorang polisi terluka kena panah. Tak ada investigasi lebih lanjut atas aksi kekerasan ini, begitupun tak ada tuntutan hukum spesifik terhadap mereka yang terlibat kekerasan ini, termasuk anggota-anggota polisi. Enambelas orang Papua ditangkap dan dibawa ke tahanan polisi.

Salah satu dari 16 orang itu adalah Monica Zonggonau, ibu rumahtangga berusia 45 tahun, yang bahkan tak ada saat kekerasan terjadi. Tapi hanya karena tasnya ada jahitan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan Papua, dia ditangkap begitu saja. Pengacaranya mengatakan polisi menangkap Zonggonau di sebuah pasar dekat tempat kejadian dan memukulnya dengan popor senjata serta sepatu. Polisi menolak memberikan bantuan medis apapun untuk Zonggonau, yang masih menderita sakit kepala karena pemukulan itu, ujar pengacara.

Pada 14 Juli, hakim menolak nota pembelaan pengacara agar mencabut tuntutan hukum terhadap 16 tersangka itu, termasuk penahanan tak sesuai proses hukum, dimana polisi tak memberikan akses bantuan hukum atau penerjemah (para tersangka tak bisa bicara bahasa Indonesia) saat mereka dalam penyidikan di kantor polisi, serta tersangka dan penasihat hukum tak menerima BAP hingga sidang dilaksanakan. Sidang akan dimulai lagi pada 23 Juli. Seorang pembela mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa satu-satunya dia dibolehkan bertemu klienpada saat sidang pertama pada 18 Juni.

“Tindak kekerasan harus diinvestigasi dan para pelaku diproses hukum, tapi menahan para aktivis dengan tuduhan makar tidak langsung menyelesaikan permasalah ini,”kata Pearson. “Ada keprihatinan serius di mana para aktivis Papua ini memiliki sedikit akses kepada penasihat hukum dan sidang tak memenuhi standar-standarkeadilan internasional.”

Ada sejarah panjang penindasan terhadap aktivitas politik damai di Papua. Tuduhan makar seringkali ditujukan terhadap invididu-individu yang diduga menunjukkan dukungan untuk kelompok separatis bersenjata, Organisasi Papua Merdeka(https://www.hrw.org/reports/2007/02/20/protes-dan-hukuman-1). Pemerintah menerapkan definisi begitu luas untuk tuntutan samar pasal “makar” ini, mengandung bahasa begitu kabur sehinga menimbulkan kebingungan, dan terdakwa yang terjerat pasal ini bisa dihukum hingga penjara seumur hidup, lebih berat daripada tuntutan pidana spesifik, seperti kepemilikan senjata, penculikan, atau pembunuhan.

Sidang terbaru pada 17 Juni yang diputuskan pengadilan Jayapuradi provinsi Papua menghukum pemimpin mahasiswa Buchtar Tabuni dengan vonis tiga tahun penjara. Tuduhannya menghasut kebencian (haatzai artikelen)terhadap Indonesia. Tabuni mengorganisir pawai terbuka 2,000 orang pada 16 Oktober 2008 di Jayapura, merayakan pembentukan Parlemen Internasional untuk Papua  Barat di London, serta menyampaikan pidato pada dua pertemuan di Universitas Cenderawasih, Abepura. Jaksa penuntut umum menunjukkan spanduk Tabuni berisipesan politik: “Referendum Yes, Otonomi Khusus No;”“Kita ingin dialog Internasional;”dan “Invasi PBB ke Papua Barat. Kita Ingin Damai.”Jaksa juga mendakwa Tabuni dengan tuduhan mengibarkan bendera Bintang Kejora selama pawai.

Pemimpin mahasiswa lain serta kolega Tabuni, Seby Sembom, juga disidang di pengadilan Abepura dengan tuduhan sama terkait pawai 16 Oktober. Polisi menangkap Sembom pada 17 Desember 2008 di Sentani setelah Sembom mengadakan konfrensi pers yang menyerukan polisi Indonesia segera membebaskan Tabuni.

Mantan presiden Abdurrahman Wahid pernah menyatakan bendera Bintang Kejora merupakan simbol kultural dan, pada 1999 dan 2000, mengizinkan bendera dikibarkan dengan syarat bersama dan lebih rendah dari bendera Indonesia. Di bawah Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, simbol identitas Papua berupa bendera dan lagu dizinkan, tapi pasal 6 Peraturan Pemerintah 77/2007melarang pengibaran Bintang Kejora di Papua, bendera Republik Maluku Selatan di Ambon, dan bendera Bulan Sabit di Aceh.

Pada pidato 2005, Yudhoyono menyatakan dia akan mengatasi masalah Papua dengan “damai, adil, dan bermartabat,”dan pada 2006 dia berkata akan memakai pendekatan “persuasi dan dialog”ketimbang kekerasan dalam upaya mengatasi aktivis-aktivisPapua. Pada Maret 2009 di London School of Economics, Yudhoyono berkata bahwa Indonesia “bukan sekadar demokrasiyang sebatas nama – kita adalah demokrasi yang dinamis ... sebuah demokrasi fungsional yang terus menjaga kita sebagai negara yang toleran.”

Namun, pemerintahan Yudhoyono terus-menerus menindas aktivitas politik damai di Papua. Pemerintahannya masih menerapkan pasal “penghasutan kebencian”serta menganggap demonstrasi damai dan pengibaran bendera sebagai “tindakan penghasutan”terhadap pejabat-pejabat pemerintah, lembaga-lembaga negara, simbol agama, dan simbol negara – terutamadi Papua dan Malukutempat adanya gerakan separatis. Lebih dari 170 orang kini dipenjara di seluruh Indonesia karena berusaha mengungkapkan kebebasan berekspresi, 43 diantaranya di Papua.

Hak-hak kebebasan berekspresi dan berkumpul dengan damai dilindungi secara internasional sebagaimana dalam Kovenan Internasional Hak-HakSipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2006. Pada tahun yang sama, Indonesia terpilih sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Minggu inidalam pertemuan kementerian ASEAN di Phuket, Thailand, pemerintah Indonesia mendorong terbentuknya Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Pemerintahan untuk kawasan regional. Ini menandakan Indonesia ingin diterima sebagai negara yang menghormati HAM dalam komunitas internasional.

“Jika Indonesia ingin dianggap sebagai negara yang menghormati hak asasi manusia, maka harus menghentikan kriminalisasi terhadap pandangan politik damai,”ujar Pearson. 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country