(Jakarta) – Arab Saudi harus mengimplementasi reformasi di bidang perburuhan, keimigrasian, dan peradilan pidana untuk melindungi pekerja rumah tangga dari pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang dalam beberapa kasus berakibat pada tindak perbudakan, demikian pernyataan Human Rights Watch dalam laporan terbaru yang diluncurkan hari ini. Majikan sering tidak diberikan hukuman atas kesewenang-wenangan yang mereka dilakukan, termasuk atas upah yang tidak dibayarkan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, pengurungan paksa, serta kekerasan fisik dan seksual, sementara pekerja rumah tangga justru menjalani hukuman penjara atau cambuk karena gugatan balik palsu atas pencurian, perzinahan, atau “ilmu hitam.”
Laporan setebal 155 halaman, "'Seolah Saya Bukan Manusia': Kesewenang-wenangan terhadap Pekerja Rumah Tangga Asia di Arab Saudi", disusun berdasarkan penelitian selama dua tahun dan 142 wawancara dengan pekerja rumah tangga, pejabat senior pemerintah, dan agen perekrut tenaga kerja di Arab Saudi dan di negara pengirim tenaga kerja.
“Bila bernasib baik, perempuan migran di Arab Saudi menikmati kondisi kerja yang baik dan memiliki majikan yang baik hati, dan jika bernasib buruk, mereka diperlakukan seperti layaknya budak. Sebagian besar di antara mereka berada di dalam kondisi di antara keduanya,” kata Nisha Varia, peneliti senior dari Divisi Hak Perempuan di Human Rights Watch. “Pemerintah Arab Saudi harus memperluas perlindungan hukum perburuhan dan memperbarui sistem sponsor visa sehingga perempuan yang terpaksa untuk mencari penghasilan bagi keluarga mereka tidak perlu berjudi dengan nasibnya.”
Rumah tangga di Arab Saudi mempekerjakan sekitar 1,5 juta pekerja rumah tangga, terutama yang berasal dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, dan Nepal. Sejumlah kecil pekerja rumah tangga lainnya berasal dari negara-negara di Afrika dan Asia. Sementara tidak ada statistik yang pasti tentang jumlah kasus kesewenang-wenangan, Kementerian Sosial Arab Saudi dan kedutaan-kedutaan negara pengirim tenaga kerja setiap tahun menampung ribuan pekerja rumah tangga yang mengadukan majikan atau agen perekrutnya.
Beban kerja yang berlebih dan gaji yang tidak dibayar, dengan rentang waktu dari beberapa bulan sampai sepuluh tahun, adalah jenis pengaduan yang paling umum. Hukum perburuhan di Kerajaan Arab Saudi mengecualikan pekerja rumah tangga, menyangkal hak mereka sebagaimana yang dijaminkan bagi pekerja lain, seperti hari libur mingguan dan uang lembur. Banyak pekerja rumah tangga harus bekerja 18 jam sehari, tujuh hari dalam satu minggu.
Sistem kafala (sponsor) yang ketat menggantungkan visa pekerja migran pada majikannya dan menyebabkan majikan dapat menyangkal kemampuan pekerja untuk mengganti pekerjaan atau untuk meninggalkan negara tersebut. Human Rights Watch mewawancarai lusinan perempuan yang mengatakan bahwa majikan memaksa mereka bekerja selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun di luar keinginan mereka. Majikan sering mengambil paspor, dan mengunci pekerja di rumah, yang meningkatkan isolasi dan resiko mereka menjadi korban tindak kekerasan psikologis, fisik, dan seksual. Setelah mewawancarai 86 pekerja rumah tangga, Human Rights Watch menyimpulkan bahwa ada 36 pekerja yang mengalami tindak kesewenang-wenangan yang berakibat pada terjadinya kerja paksa, trafiking, atau kondisi seperti perbudakan.
“Pemerintah Arab Saudi memiliki beberapa usulan pembaruan tetapi negara ini telah bertahun-tahun mempertimbangkan usulan tersebut tanpa ada satu tindakan pun yang diambil,” jelas Varia. “Sekarang adalah waktunya untuk membuat perubahan itu, termasuk di dalamnya dengan memasukkan pekerja rumah tangga ke dalam Hukum Perburuhan 2005 dan mengubah sistem kafala sehingga visa pekerja tidak lagi terikat pada majikan.”
Kementerian Sosial Arab Saudi, bekerja sama dengan polisi mengoperasikan tempat penampungan di Riyadh untuk membantu pekerja rumah tangga yang berusaha memperoleh gaji mereka yang belum dibayar dan kembali ke negara asal. Akan tetapi, dalam banyak kasus staf tempat penampungan menegosiasikan penyelesaian gaji yang tidak adil antara majikan dengan pekerja, yang sering meninggalkan pekerja dengan tangan hampa karena mereka harus merelakan tunggakan upah agar bisa memperoleh ijin dari majikan untuk dapat meninggalkan negara itu.
Pengusutan dan proses pengadilan yang buruk yang sering berlangsung sampai bertahun-tahun menyebabkan lolosnya majikan yang sewenang-wenang dari hukuman melalui sistem peradilan pidana. Sebagai contoh, setelah tiga tahun proses pengadilan, pengadilan Riyadh menghentikan tuduhan terhadap majikan Nour Miyati, meskipun ada pengakuan dari majikan, bukti kesehatan yang lebih dari cukup, dan tekanan publik yang besar. Nour Miyati, seorang pekerja rumah tangga Indonesia, harus mengamputasi jari tangan dan kaki akibat kelaparan dan pemukulan yang dilakukan setiap hari oleh majikannya.
Human Rights Watch menyatakan bahwa alih-alih melihat pelaku tindak kesewenang-wenangan dibawa ke hadapan hukum, pekerja rumah tangga lebih sering harus menghadapi gugutan balik dengan tuduhan santet, pencurian, atau perzinahan. Dan dalam kasus seperti ini, pekerja rumah tangga sering harus menghadapi penundaan yang lama untuk memperoleh akses atas penerjemah, bantuan hukum, atau bantuan konsultan, atau mereka tidak diberi bantuan itu sama sekali.
Hukuman yang diberikan sangat kejam. Dalam contoh studi kasus yang dilakukan Human Rights Watch, hukuman untuk ‘ilmu hitam” dan kejahatan “moral”, seperti berzinah dan berada dengan laki-laki yang bukan kerabatnya adalah sepuluh tahun penjara dan antara 60 sampai 490 cambukan. Pekerja rumah tangga yang hamil karena diperkosa juga menanggung resiko hukuman jika mereka tidak dapat memenuhi standar pembuktian yang ketat untuk membuktikan adanya perkosaan.
“Banyak perempuan yang saya ajak bicara tidak mengajukan tuntutan hukum karena takut pada gugatan balik,” Varia mengatakan. “Dalam kasus lain, pekerja menarik tuntutan terhadap pelaku kesewenang-wenangan, bahkan ketika para pekerja berada dalam posisi yang dimenangkan, karena kalau tidak mereka akan terjebak di tempat penampungan yang padat penghuninya selama bertahun-tahun, jauh dari keluarga dan tidak dapat bekerja, dan dengan kemungkinan yang sangat kecil untuk memperoleh keadilan.”
Dalam ketiadaan mekanisme penanganan lokal yang efektif, perwakilan luar negeri dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, dan Nepal sering memainkan peran penting dalam menyediakan tempat penampungan, bantuan hukum, dan bantuan kepada mereka yang menuntut pembayaran gaji mereka dan yang kasusnya sedang diadili. Tuntutan yang diberikan pada kedutaan-kedutaan ini jauh dari kemampuan mereka, dan banyak pekerja rumah tangga yang mengeluhkan lamanya waktu tunggu dengan sedikitnya informasi tentang kasus mereka,dan dalam kasus Indonesia dan Sri Lanka, juga tentang tempat penampungan yang sangat padat dan tidak sehat.
Human Rights Watch meminta Arab Saudi untuk mengusut dan menghukum majikan yang sewenang-wenang dan melindungi pekerja rumah tangga dari gugatan balik palsu. Organisasi ini juga meminta Arab Saudi untuk bekerja sama secara lebih efektif dengan negara-negara pengirim tenaga kerja dalam mengawasi kondisi kerja, memfasilitasi upaya penyelamatan, memastikan pembayaran tunggakan gaji, menyediakan tempat penampungan untuk korban tindak kesewenang-wenangan dengan layanan pendukung yang komprehensif, dan mengatur pemulangan yang secepatnya. Baik Arab Saudi maupun pemerintah-pemerintah negara pengirim tenaga kerja juga harus membentuk mekanisme pengawasan yang ketat dan teratur terhadap agen tenaga kerja dan praktik perekrutan.
Ada lebih dari 8 juta migran bekerja di Arab Saudi, membentuk sekitar sepertiga dari jumlah penduduk di negera tersebut. Mereka mengisi kekosongan di bidang kesehatan, konstrusi, dan layanan rumah tangga, dan juga mendukung ekonomi negara asal, dengan mengirimkan sekitar 15,6 miliar dolar Amerika di tahun 2006, hampir 5 persen dari pendapatan kotor negara (GDP) Arab Saudi.
Sejumlah pengakuan yang ditampilkan dalam laporan ini:
“Majikan tidak mengijinkan saya kembali ke Indonesia selama enam tahun delapan bulan….. Saya tidak pernah menerima gaji, tidak satu riyal pun… Majikan tidak pernah memarahi saya, dia tidak pernah memukul saya. Tapi ia melarang saya kembali ke Indonesia.”
– Siti Mujiati W., pekerja rumah tangga asal Indonesia, Jeddah, 11 Desember 2006
“Setelah beberapa waktu, majikan [laki-laki] mulai menunjukkan rasa suka kepada saya. Ia menyuruh saya masuk ke kamarnya. Dia berkata,”Saya ingin memberitahukan bagaimana saya memperolehmu dari agen.” Dia berkata,”Saya membelimu seharga 10.000 riyal.’… Majikan memperkosa saya berulang kali… saya menceritakan semuanya pada Nyonya… Seluruh keluarga, Nyonya, majikan, mereka tidak ingin saya pergi. Mereka mengunci pintu dan gerbang. [Setelah melarikan diri dan menunggu di kedutaan selama sembilan bulan sampai pengadilan berakhir]. Saya tidak mau pulang dengan perasaan hampa seperti yang lain… Suatu hari, mereka memberitahukan kalau kasus saya tidak berhasil [dan saya akan dideportasi ke rumah.]”
– Haima G., pekerja rumah tangga Filipina, Riyadh, 7 Desember 2006
“Selama setahun lima bulan, tidak ada upah sama sekali [yang saya terima]. Saya minta uang dan saya dipukuli, atau dilukai dengan pisau atau dibakar. Ada banyak bekas luka di punggung saya. Seluruh badan saya sakit. Kepala saya dibenturkan ke tembok. Setiap kali saya minta upah, pasti akan ada pemukulan.”
– Ponnamma S., pekerja rumah tangga Sri Lanka, Riyadh, 14 Desember 2006