(New York, 28 Januari 2008) – Kematian mantan presiden Soeharto pada usia 86 tahun membuka peluang bagi para korban rezim penindas ini untuk mencari pintu-pintu keadilan, menurut Human Rights Watch hari ini. Human Rights Watch berpendapat pemerintah Indonesia harus bikin komitmen serius untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku pelanggaran hak asasi manusia selama pemerintahan Soeharto.
Soeharto memerintah lebih dari tiga dekade dengan cara diktator militer dan melakukan pelanggaran HAM sistematis, termasuk sensor media, pembatasan ketat kebebasan berserikat dan berkumpul, peradilan yang sangat dipolitisir dan dikendalikan, penyiksaan yang merajalela, penyerangan hak-hak minoritas, pembantaian terhadap mereka yang dituduh komunis, dan berbagai kejahatan perang di Timor Timur, Aceh, Papua dan kepulauanMaluku. Dia juga memimpin rezim yang dikenal sangat korup yang dinikmati keluarga dankroni-kroninya dengan mengumpulkan miliaran dolar secara ilegal; setumpukan dana yangseharusnya bisa mengatasi kemiskinan dan beragam masalah sosial yang merebak di Indonesia.
“Soeharto meninggalkan kekuasaan dengan pembunuhan – salah satu diktator yang terus menikmati hidupnya dalam kemewahan dan lolos dari keadilan,” kata Brad Adams, direktur Asia Human Rights Watch. “Tapi banyak kroni Soeharto yang masih berkeliaran. Pemerintah Indonesia harus mengadili mereka atas keterlibatannya dalam pelanggaran HAM.”
Sampai saat ini hampir tiada kepastian hukum untuk kejahatan yang meluas selama pemerintahan Soeharto, atau untuk kekerasan yang dihasut tentara-tentara pro-Soeharto dalam percobaan yang gagal untuk mencegahnya lengser dari kekuasaan pada 1998.Soeharto sendiri belum pernah diseret ke pengadilan atas pelanggaran hak asasi manusia.Mantan diktator ini menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya dalam kemewahan. Satu ketika saat kesehatan Soeharto diduga memburuk, pada Mei 2006, jaksa menghentikan sebuah kasus yang menuduhnya telah mencuri 600 juta dolas AS dari keuangan negara.
“Jaksa agung Indonesia tak pernah mempidanakan Soeharto atas pelanggaran hak asasimanusia,” kata Adams. “Meski ada kontrak luar biasa dari reformasi politik, kegagalan berulang kali dalam menyeret para pelaku kejahatan HAM serius ke pengadilan menandakan Indonesia masih melanggengkan warisan keji Soeharto.”
Human Rights Watch berpendapat tiadanya keadilan atas kejahatan Soeharto secara langsung terkait dengan impunitas (kebal-hukum) yang terus dinikmati Tentara Nasional Indonesia,meski ada sekian reformasi politik dan janji untuk mengusut pelanggaran masa lalu. Sejak 1998, dasar hukum dan institusi represi politik Soeharto telah banyak dihapus dan dibubarkan, dan ada kemajuan besar dalam kebebasan berserikat dan berekspresi.
Salah satu konsekuensi penting dari kegagalan ini, militer masih mengakar kuat secara teritori dan ekonomi, betapapun secara resmi tak lagi memainkan peran politik yang dikenal “Dwifungsi” TNI, ideologi yang pernah diandalkan Soeharto yang kini ditinggalkan dan didiskreditkan. Militer masih belum sepenuhnya bertanggung-jawab pada Departemen Pertahanan, dan reformasi yang sering didengungkan untuk mengakhiri keterlibatan TNI dalam bisnis selalu tertunda. Imbas yang sudah diperkirakan, terjadi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan, sebagaimana peristiwa pembunuhan warga sipil pada Mei 2007 di Pasuruan, Jawa Timur, oleh tentara-tentara angkatan laut yang mengusir para petani di lahan sengketa. Konsekuensi lain, dimanapun ada konflik di Indonesia saat ini, seperti di Papua, aparat keamanan – baik militer dan unit polisi khusus – masih melakukan pelanggaran danhampir tak pernah dituntut pertanggungjawaban.
“Keadilan adalah bagian penting yang hilang dalam cerita reformasi Indonesia,” kata Adams.“Kegagalan menjerat Soeharto menunjukkan seberapa jauh Indonesia harus melangkah bila ingin berdiri kuat, ditopang pengadilan dan jaksa yang independen, dan mengakhiri pelanggaran serius aparat keamanan.”
Latar Belakang
Warisan keji Soeharto dimulai sejak pembantaian yang disokong militer pada 1965 yang mengantarkannya ke tampuk kekuasan. Terjadi kudeta yang gagal terhadap Presiden Sukarno pada 1965, yang diklaim merenggut nyawa enam perwira Angkatan Darat—tetapi lewat tentara pula, dipimpin Mayjen Soeharto, yang kemudian tampil sebagai sosok paling berkuasa.
Meski peristiwa seputar percobaan kudeta sengaja dibiarkan kabur dan beberapa yang terlibat menggambarkannya sebagai urusan internal militer, pemerintah mengukuhkan Partai Komunis Indonesia yang paling bertanggung-jawab atas upaya kudeta ini. Dari 1965 hingga 1967, Soeharto memimpin pertumpahan darah yang menghancurkan Partai Komunis Indonesia. Perhitungan mereka yang dibunuh antara seperempat juta hingga satu juta orang. Ratusan ribu warga yang dicurigai berafiliasi dengan kelompok kiri, termasuk sejumlah besar guru dan aktivis mahasiswa, dipenjara. Kebanyakan tak pernah diproses pengadilan lebih dulu, apalagi dihukum karena melakukan pelanggaran. Soeharto resmi menyatakan diri sebagai presiden pada Maret 1967.
Di bawah rezim “Orde Baru” Soeharto, masyarakat Indonesia menjadi semakin militeristik,dengan angkatan bersenjata Indonesia memainkan peran yang kian menonjol sebagai kekuatan sosial dan politik. Selama pemerintahannya, Soeharto dengan kejam menekan setiap gelagat kekecawaan anti-pemerintah atau ekspresi pententuan nasib sendiri. Operasi militer, khususnya di Timor Timur, Aceh, dan Papua, disertai pasukan yang bertindak brutal tanpa disiplin dan bertanggung-jawab, dengan kekerasan merajalela terhadap warga sipil, termasuk pembunuhan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan paksa, pemukulan, penangkapanmembabi-buta dan penahanan, serta dengan ganas membatasi kebebasan bergerak.
Pada 1975, hanya sembilan hari setelah Timor Timur mendeklarasikan kemerdekaan dari Portugal, Soeharto memerintahkan angkatan bersenjata Indonesia untuk menginvasi danmenganeksasi negara bekas koloni itu. Pendudukan Indonesia di Timor Timur itu berlangsungbrutal, ditandai kekejaman seperti pembantaian Santa Cruz pada 1991 saat, sedikitnya 270 demonstran pro-kemerdekaan, ditembak atau dipukul hingga tewas oleh militer.
“Salah satu warisan kronis dari rezim Soeharto, yang berjalan hingga hari ini, adalah budayayang terus merintangi keadilan bagi para korban pelanggaran militer,” kata Adams. “Mungkin dengan Soeharto meninggal, warisan ini juga dapat diakhiri.”
Sebuah upaya yang langka menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan era Soeharto terjadi pada persidangan 2004 terhadap tentara-tentara yang diduga berpartisipasi dalam“Pembantaian Tanjung Priok” di Jakarta dua dekade sebelumnya. Namun persidangan ini menghasilkan sedikit sekali keadilan bagi keluarga korban dari 33 atau lebih warga sipil yangditembak pasukan keamanan pemerintah selama demonstrasi anti-pemerintah. Dua terdakwadibebaskan ditengah-tengah campur tangan politik dan intimidasi saksimata. Sisanya, 12 terdakwa, dibebaskan dalam putusan banding pada Juni 2005.