Mandat untuk Reformasi Bisnis Militer
Aparat militer Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam mencari dana yang terlepas dari dan berada diluar anggaran yang disediakan negara. Aparat militer ini memperoleh pendapatan dari bisnis-bisnis yang mereka miliki, jasa-jasa sewaaan yang dilakukan, dan jaringan perlindungan yang mereka dirikan . Diakui banyak pihak bahwa keterlibatan aparat militer Indonesia dalam kegiatan ekonomi merupakan praktek yang berbahaya yang memperlemah kontrol sipil terhadap angkatan bersenjata dan memacu pelanggaran hak asasi manusia. Keterlibatan militer dalam kegiatan ekonomi juga mempertinggi tingkat kriminalitas dan korupsi, memperlemah perekonomian dan menyelewengkan fungsi aparat militer sendiri.
Pada bulan September 2004, Parlemen Indonesia mengeluarkan Undang-udang No 34/2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung reformasi militer. Undang-undang ini, antara lain, melarang komersialisme militer dan mengharuskan pemerintah Indonesia untuk mengambil-alih semua bisnis militer selambat-lambatnya pada tahun 2009. Pasal 76 dari undang-undang ini menyatakan: "Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini [pada bulan September 2004], Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung." Ketentuan lain menyatakan bahwa "tentara profesional...tidak berbisnis" dan berisi larangan tegas bagi tentara untuk terlibat dalam kegiatan bisnis.
Ditetapkannya undang-undang ini merupakan suatu kesempatan baru untuk mengakhiri usaha swadana militer dan untuk memperkuat kontrol sipil atas aparat militer. Pemerintahan Yudhoyono yang dilantik pada bulan Oktober 2004, membuat janji tegas untuk menjalankan reformasi. Para pimpinan militer juga memberikan tanda-tanda bahwa mereka tidak akan menentang upaya reformasi tersebut, upaya yang telah mendapat dukungan masyarakat dan parlemen.
Penundaan dan Tidak-adanya Tindakan Apapun
Daripada memanfaatkan momentum yang menuntut dilaksanakannya reformasi, pemerintah Indonesia malah melangkah maju dengan sangat lamban. Pada pertengahan tahun 2005 pemerintah membentuk sebuah tim Antar-instansi untuk menerapkan undang-undang tersebut, yaitu Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI. Tim ini menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk meneliti dan mengecek kebenaran data tentang 1500 lebih unit bisnis yang dilaporkan dalam daftar inventarisasi militer. Pada bulan Juli 2006, tim ini memperkirakan aset-aset tersebut bernilai total sekitar 1 trilyun rupiah (108 juta dolar AS), suatu angka yang sangat rendah yang oleh parlemen dinilai tidak bisa dipercaya.
Sampai saat ini, pemerintah masih belum menentukan garis-garis restrukturisasi bisnis militer. Tidak-adanya peraturan penerapan dari pemerintah telah menunda diambilnya tindakan apapunmenciptakan suasana yang membingungkan dan memberikan kesempatan kepada pihak militer untuk mengelola bisnis-bisnis tersebut sekehendak hati mereka, sebagaimana terlihat dari penjualan beberapa perusahaan dan aset-aset militer tanpa pengawasan yang memadai. Sampai sekarang, pemerintah belum mengambil tindakan untuk mengambilalih satu bisnis militerpun. Sampai dengan diturunkan peraturan pemerintah untuk menerapkan undang-undang tersebut, bisnis-bisnis tersebut masih tetap berada di tangan militer.
Rancangan Peraturan Presiden
Pada tahun 2006. TSTB mempersiapkan sebuah rancangan untuk menerapkan undang-undang yang kemudian diserahkan kepada kantor kepresidenan dalam bentuk rancangan Peraturan Presiden. Dokumen ini selanjutnya telah dikembalikan untuk diperbaiki, namun Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menolak untuk merinci perubahan yaang diminta. Walaupun nasib usulan TSTB tersebut masih tidak jelas, rancangan Peraturan Presiden tersebut memberi kesempatan untuk mengamati proses perbincangan kebijakan tersebut. Rancangan peraturan president tersebut mencerminkan arah yang telah disepakati berbagai instansi pemerintah yang ditugaskan untuk mengawasi reformasi bisnis militer dan mungkin akan digunakan sebagai dasar untuk menyiapkan rancangan baru.
Rancangan Peraturan Presiden versi TSTB, sebagaimana digambarkan oleh Letjen Sjafrie Sjamsoedin kepada pers, mengusulkan dibentuknya sebuah badan pemerintah baru yang akan mengambilalih semua bisnis militer. Badan baru yang diusulkan, Tim Nasional Transformasi Bisnis TNI, akan melapor kepada departemen-departemen yang saat ini diwakili dalam tim antar-instansi.
Rancangan ini sangat mirip dengan konsep yang disusun pemerintah pada bulan April 2006, walaupun ada sedikit perbedaan nama, Badan Transformasi dan Pengelolaan Bisnis TNI (BTPB). Pada saat itu, anggota TSTB menyarankan agar pemerintah menunda pengambilalihan bisnis militer menunggu dibuatnya ketentuan tentang bisnis-bisnis mana yang layak untuk direstrukturisasi. Badan baru tersebut dikatakan oleh TSTB, akan memberikan bantuan dalam membuat ketentuan tersebut dan hanya akan mengambilalih bisnis-bisnis yang dianggap layak untuk diambilalih.
Kelemahan Rancangan
Kajian Human Rights Watch atas rancangan TSTB telah diungkapkan dalam laporan yang diterbitkan pada tahun 2006, "Too High a Price." Organisasi ini menyimpulkan bahwa menunggu dibentuknya badan baru hanya akan menunda mengambil tindakan untuk melepaskan bisnis-bisnis dari kontrol militer. Human Rights Watch juga melontarkan pertanyaan serius tentang ruang lingkup upaya dan beragam perkecualian yang sedang dipertimbangkan. Kekhawatiran-kekhawatiran ini masih perlu dan layak dibicarakan mengingat arah bahasankebijakan yang sedang berlangsung.
Dipusatkannya perhatian terhadap pembentukan badan baru ini ternyata telah disertai dengan perubahan pengertian mengenai jadwal yang ditentukan untuk mengakhiri keterlibatan militer dalam bisnis. Sjamsoedin, sebagaimana dikutip pers Indonesia pada bulan Februari 2007, menyatakan bahwa badan baru ntersebut akan menyelesaikan tugasnya pada bulan Desember 2008: "Timnas ini atas nama pemerintah, dengan demikian pasal 76 UU TNI sudah terjawab. Pemerintah sudah mengambil alih bisnis TNI." Pernyataan ini mengulang komentar terdahulu oleh koordinator TSTB. Said Didu, Sekretaris Kementrian BUMN, menyampaikan kepada Human Rights Watch bahwa badan baru tersebut kemungkinan akan membutuhkan waktu sampai dengan tahun 2009 untuk memegang kontrol resmi terhadap bisnis-bisnis tertentu dan transformasi bisnis-bisnis ini seluruhnya akan memakan waktu yang lebih lama lagi. Ini berarti, sampai dengan tahun 2009 pemerintah hanya berhasil memulai proses penarikan militer dari kegiatan bisnis dengan mempersiapkan bisnis-bisnis tersebut untudijual, dibubarkan atau diubah menjadi badan usaha milik negara.
Selain itu, rancangan yang disiapkan TSTB tidak berhasil memenuhi persyaratan yang ditetapkan Undang-undang TNI 2004 karena rancangan tersebut tidak mencakup pengambilalihan seluruh bisnis militer. Sjamsoeddin dan pejabat Indonesia lainnya sebelumnya telah menyampaikan pada Human Rights Watch bahwa yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi tetap diperbolehkan karena badan-badan tersebut merupakan badan yang mandiri dan terlepas dari pihak militer. Pejabat-pejabat ini juga berpendapat bahwa yayasan-yayasan militer dan koperasi-koperasi tetap diperbolehkan untuk menjalankan "bisnis sosial" sebagai sumber "non komersil" untuk "tujuan kesejahteraan". Sjamsoeddin,dalam komentarnya pada bulan Februari 2007, menyatakan bahwa Panglima TNI berharap untuk menerbitkan panduan bagi tentaranya dalam bulan-bulan mendatang yang menjadi instruksi bagi mereka untuk tunduk pada hukum dalam mengelolah yayasan dan koperasi. Meskipun demikina, instruksi tersebut tidak akan menghentikan kegiatan unit-unit bisnis yang berhubungan dengan pihak militer, dan hanya akan memperlanjut keadaan saat ini. Aturan tersebut sudah ada, tetapi inventarisasi bisnis-bisnis militer sendiri telah menunjukan bahwa yayasan-yayasan militer dan koperasi-koperasi masih terlibat serius dalam kegiatan bisnis.
Human Rights Watch mengkhawatirkan bahwa tidak diikutsertakannya yayasan-yayasan militer dan koperasi-koperasi dari rencana reformasi akan menciptakan suatu jalan untuk mengabaikan mandat undang-undang TNI dan akan mengabaikan kenyataan bagaimana badan-badan ini beroperasi dalam prakteknya. Human Rights Watch telah mengumpulkan contoh keterlibatan militer di dalam bisnis kayu dan pertambangan batu bara. Bisnis-bisnis ini, yang pada awalnya didirikan dengan keikutsertaan militer secara "resmi" melalui yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi, dengan cepat telah melibatkan pihak militer dalam kegiatan kriminal . Sebagai contoh, sebuah perusahaan penambangan batu bara di Kalimantan Selatan menyerahkan sebagian dari bisnisnya kepada koperasi militer untuk mengatasi masalah pertambangan gelap. Koperasi militer tersebut ternyata justru mengorganisir para penambang gelap tersebut, mengawasi kegiatan penambangan mereka, memeras para pekerja tambang, dan menjadi perantara penjualan batu bara gelap. Prajurit-prajurit ini memperbesar pemasukan mereka dengan menuntut uang jaminan perlindungan dari para penambang, yang juga mengalami penganiayaan dan intimidasi di tangan prajurit-prajurit tersebut
Cetak biru reformasi dari TSTB juga mengecualikan beberapa kategori lain dari bisnis-bisnis militer. Dalam wawancara dengan Human Rights Watch pada tahun 2006, pemerintah telah menyatakan akan mengecualikan bisnis-bisnis yang dimiliki pihak militer yang menurut penilaian mereka tidak menggunakan aset negara. Human Rights Watch sangat mengecam pengecualian ini dalam laporannya tentang usaha swadana militer.
Human Rights Watch meminta pemerintah Indonesia untuk merubah jalan reformasi yang ditempuhnya . Pemerintah harus bergerak cepat untuk mengesahkan peraturan yang secara tegas melarang segala bentuk bisnis militer (termasuk susunan-susunan tidak resmi), mempertegas kuasa pemerintah terhadap bisnis-bisnis yang ada, dan mempersiapkan hukuman untuk pelanggaran atas larangan berbisnis militer.