(New York) – Setahun setelah aktivis hak asasi manusia terkemuka di Indonesia dibunuh dalam penerbangan dari Jakarta menuju Eropa, pemerintahan Indonesia gagal menyelidiki dan menuntut para pembunuh Munir, demikian Human Rights Watch hari ini.
Munir dikenal pendiri dan direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), juga direktur Imparsial, organisasi HAM berbasis di Jakarta. Advokat berusia 38 tahun ini salah satu aktivis HAM terkemuka di Indonesia.
Pada 7 September 2004, Munir meninggal di pesawat Garuda 974 dari Jakarta, rute Indonesia menuju Belanda, saat dia hendak melanjutkan studi pascasarjana. Dia mengeluhsakit selama penerbangan, dan meninggal beberapa jam sebelum pesawat tiba di bandara Schiphol, Amsterdam. Dua bulan kemudian, Institut Forensik Belanda mempublikasikan hasilotopsi, mengungkapkan penyebab kematian Munir yang diracun arsenik dalam dosis mematikan. Penyelidikan selanjutnya mendapati racun arsenik kemungkinan besar diminum Munir dalam penerbangan transit dari Jakarta ke Singapura.
“Pembunuhan Munir menggambarkan kembalinya periode buruk Indonesia saat kemerdekaan aktivis berhadapan risko celaka atau bahkan kematian,” kata Brad Adams, direktur divisi Asia dari Human Rights Watch. “Memecahkan kasus ini dan membawa para pembunuh serta mereka yang mendalangi pembunuhan ke pengadilan merupakan ujian besar bagi pemerintahYudhoyono dan komitmennya untuk penegakan hukum.”
Human Rights Watch menyerukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk komite tingkat tinggi guna menilai kinerja penyelidikan polisi atas kasus pembunuhan Munir serta mengungkapkan mengapa hasil dan rekomendasi kunci dari Tim Pencari Fakta diabaikan. Kepolisian dan Kejaksaan Agung Indonesia terus mengabaikan bukti dan rekomendasi dari Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, yang dibentuk presiden, di mana laporannya menemukan keterlibatan perwira senior intelijen dalam pembunuhan ini.
Pemerintah Indonesia harus berani terhadap ancaman dan intimidasi yang menyasar anggotatim pencari fakta dan mereka yang menuntut keadilan atas Munir, menurut Human Rights Watch. Pemerintah juga harus melindungi mereka yang menghadapi ancaman.
Janda Munir, Suciwati, yang berkampanye menuntut pertanggung-jawaban kematian suaminya, menerima ancaman dan intimidasi. Pada November 2004, sebuah boks berisipotongan kepala, kaki dan usus ayam tiba di depan rumah dengan tulisan, “Jangan mengaitkanTNI dengan kematian Munir. Anda ingin berakhir seperti ini?”
“Pihak berwenang Indonesia harus secara agresif menyelidiki ancaman-ancaman terhadap mereka yang menuntut keadilan kasus Munir guna memberi perlindungan kepada saksi-saksi,” kata Adams.
Human Rights Watch mendesak kejaksaan agar mencabut penyelidikan pidana pencemaran nama baik kepada dua aktivis HAM terkemuka yang menjadi anggota tim pencari fakta.Jenderal Hendropriyono, mantan kepala Badan Intelijen Negara, melaporkan Usman Hamid dari KontraS dan Rachland Nashidik dari Imparsial, dua organisas HAM tempat almarhum Munir beraktivitas.
“Hukum pidana tidak boleh digunakan melawan ekspresi damai,” kata Adams. “Kasus-kasusterhadap Usman Hamid dan Rachland Nashidik adalah upaya membungkam investigasi pembunuhan Munir.”
Human Rights Watch juga mendesak pemerintah Indonesia mempublikasikan laporan danrekomendasi akhir dari Tim Pencari Fakta yang dibentuk untuk menyelidiki kasus pembunuhan Munir dan memerintahkan kerjasama penuh dari semua lembaga negara, termasuk BIN, dengan polisi dan setiap badan resmi yang mengusut pembunuhan ini.
“Munir seorang manusia luar biasa,” ujar Adams. “Kasus ini merupakan kasus luar biasa yang perlu langkah-langkah luar biasa guna memecahkannya.”
Latar Belakang
Pada Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan, berdasarkan keputusan presiden, sebuah tim pencari fakta independen guna menyelidiki kasus pembunuhan Munir. Tim Pencari Fakta berakhir masa tugasnya selama enam bulan pada 23 Juni 2005. Tim membuat laporan panjang dengan hasil dan rekomendasi terperinci, yang disampaikan kepada presiden.
Tim Pencari Fakta terdiri dari sejumlah orang mengesankan dari masyarakat sipil, pejabat polisi senior dan jaksa dari kantor Kejaksaan Agung. Investigasi dilakukan dengan dukungan kuat dari Presiden Yudhoyono, yang mengeluarkan instruksi kepada semua lembaga negara untuk bekerjasama penuh bagi penyelidikan.
Ketika Tim Pencari Fakta mengajukan panggilan kepada purnawirawan Letnan Jenderal Hendropriyono, yang menjabat kepala Badan Intelijen Negara pada saat pembunuhan Munir, dia menolaknya. Dia menuduh tim bertindak “arogan” dan melakulan “pembunuhan karakter.” Hendropriyono kemudian melaporkan pencemaran nama baik terhadap Usman Hamid dari KontraS dan Rachland Nashidik dari Imparsial. Saat ini mereka diselidiki karena melanggar pasal 310, 311 dan 335 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Polisi mengeluarkan surat panggilan kepada Usman Hamid untuk diminta keterangan.
Temuan yang dilaporkan Tim Pencari Fakta mengidentifikasi pilot Garuda, PollycarpusPriyanto, sebagai tersangka utama dalam kasus ini. Pollycarpus diberi penugasan “keamanan penerbangan” khusus untuk bepergian dengan pesawat Garuda 974, yang dilakukannya hingga pemberhentian pertama, dari Jakarta menuju Singapura. Menurut janda Munir, Pollycarpus juga menelepon beberapa kali ke rumah untuk menanyakan rencana penerbangansuaminya. Saat para penumpang naik pesawat di Jakarta, Pollycarpus diduga kuatmenawarkan Munir untuk pindah kursi ke kelas bisnis.
Tim Pencari Fakta memeriksa catatan panggilan telepon Pollycarpus dan melacak beberapanomor yang dihubunginya, salah satunya kontak rahasia ke badan intelijen yang dipimpin purnawirawan Mayor jenderal Muchdi Purwoprajoyo, wakil direktur BIN. Laporan menunjukkan terdapat 26 panggilan dari saluran Muchdi, sebelum dan setelah kematian Munir, dan ada beberapa panggilan antara nomor ponsel Pollycarpus dengan Muchdi.
Muchdi, mantan kepala Kopassus, elit pasukan tempur militer Indonesia, mengundurkan diri dari Badan Intelijen Negara pada 2005. Dia menolak dua permintaan panggilan Tim PencariFakta untuk dimintai keterangan. Dia membantah telah melakukan percakapan via telepon dengan Pollycarpus, menyatakan teleponnya mungkin dipakai orang lain.
Pada 9 Agustus 2005, sidang terhadap Pollycarpus dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Domu P. Sihite, jaksa penutut umum, membacakan dakwaan terhadap Pollycarpus. Pollycarpus didakwa melakukan atau berpartisipasi dalam pembunuhan terencana Munir, baik sendiri atau bekerjasama dengan dua tersangka lain, Yeti Susmiarti dan Oedi Irianto,staf Garuda yang bertugas di pesawat yang ditumpangi Munir. Namun, dalam dakwaan terhadapPollycarpus, jaksa tidak menyebutkan temuan Tim Pencari Fakta, yang menunjukkanketerlibatan pegawai senior maskapai Garuda dan pejabat teras intelijen.
Pada pertengahan Agustus, harian Koran Tempo melaporkan polisi telah menangkap seorangtersangka kedua dalam kasus ini. Mereka mengidentifikasi tersangka sebagai Ery Bunyamin,penumpang kelas bisnis dalam pesawat yang sama ditumpangi Munir. Pada Desember 2005, Pollycarpus dinyatakan bersalah atas konspirasi pembunuhan terencana. Dia divonis 14 tahun penjara. Putusan ini dikuatkan pengadilan di tingkat banding pada April 2006.
Munir dikenal pendiri dan direktur KontraS, selain direktur Imparsial, organisasi HAM berbasis di Jakarta.
Kariernya sebagai advokat HAM dimulai di Surabaya pada 1989 , termasuk bertugas sebagaidirektur Lembaga Bantuan Hukum Semarang dan wakil ketua bidang operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta. Dia mewakili para korban dan aktivis pelanggaran HAM dalam kasus-kasus penting. Dia menjadi pembicara rutin untuk keadilandalam menghadapi intimidasi, termasuk ancaman pembunuhan. Pekerjaannya mencakupsegudang perkara hak asasi manusia di Indonesia, dari pelanggaran militer dan polisi Indonesia terhadap para aktivis buruh, dari kebal-hukum kejahatan HAM di Aceh, Timor Timur danPapua hingga hak-hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.
Atas prestasinya, Munir meraih sejumlah penghargaan, termasuk Man of the Year pada 1998 yang diberikan majalah Muslim terkenal UMMAT, dan “young leader for the Millenium” olehAsiaweek pada 2000. Pada tahun yang sama dia juga menerima “The Right Livelihood Award”—dikenal “Penghargaan Nobel Alternatif”—untuk “keberanian dan dedikasinya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan kontrol sipil atas militer di Indonesia.”