Skip to main content

Indonesia: Anak-anak Perempuan yang Bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga Terancam Pelecehan

Pemerintah Gagal Melindungi Anak-anak Peremmpuan dari Pelecehan dan Eksploitasi

(Jakarta): Ratusan ribu anak-anak perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Indonesia terancam pelecehan fisik dan seksual serta eksploitasi tenaga kerja yang sangat parah, Human Rights Watch menyatakan dalam sebuah laporan baru yang diterbitkan hari ini. Pemerintah Indonesia telah gagal memberikan pengawasan apapun untuk melindungi anak-anak perempuan ini.

Laporan sepanjang 74 halaman yang berjudul “Selalu Siap Disuruh: Pelecehan dan Eksploitasi terhadap Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia” menjabarkan bagaimana anak-anak Indonesia—ada yang baru berumur 12 tahun—bekerja 14 hingga 18 jam sehari, tujuh hari seminggu, tanpa hari istirahat apapun. Mereka juga dilarang meninggalkan tempat kerja atau menghubungi keluarga mereka.

Human Rights Watch menjabarkan bagaimana anak-anak perempuan ini dilecehkan secara fisik, psikologis, dan seksual oleh majikan mereka. Sebagian besar menerima upah kurang dari 500 rupiah (atau lima sen dollar Amerika) per jam. Agen perekrut, tetangga, kerabat, dan orang-orang lain membujuk anak-anak perempuan ini dari desa dan dari daerah perkotaan yang miskin dengan

janji-janji palsu tentang upah yang lebih besar di kota, kesempatan untuk bersekolah di kota, dan tanggung jawab kerja yang terbatas.

International Labor Organization [Organisasi Buruh Internasional] memperkirakan ada 2,6 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, 688.000 di antaranya adalah anak-anak, termasuk 640.000 anak-anak perempuan berusia di bawah 18 tahun.

Pekerja rumah tangga di Indonesia tidak dicakup dalam undang-undang ketenagakerjaan negara, yang menjamin hak-hak dasar bagi pekerja di sektor formal, seperti upah minimum, delapan jam kerja per hari, dan satu hari untuk istirahat per minggu. Undang-undang yang telah ditetapkan untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi kerjapun tidak pernah ditegakkan oleh pihak berwajib di Indonesia.

“Pemerintah Indonesia hanya berpangku tangan dan membiarkan pekerja rumah tangga anak untuk diperlakukan sekehendak hati majikan mereka,” kata Sahr MuhammedAlly, pengamat hak-hak anak di Human Rights Watch. “Tidak adanya perlindungan hukum dan pengawasan dari pemerintah menempatkan pekerja rumah tangga anak dalam possisi rawan terhadap eksploitasi dand pelecehan yang tak kenal batas.”

Banyak orang Indonesian yang percaya bahwa bekerja sebagai pekerja rumah tangga merupakan jalan yang mudah bagi anak-anak untuk keluar dari kemiskinan. Tetapi anak-anak yang diwawancarai oleh Human Rights Watch menceritakan bagaimana mereka tidak diberi makan, dipukuli dan diperkosa, serta tidak diberi gaji. Pihak berwajib di Indonesia jarang menyelidiki atau menuntut perkara pelecehan, dan malah banyak di antara mereka yang menyangkal adanya pelecehan tersebut.

Anak-anak sering menjadi pekerja rumah tangga untuk menambah penghasilan keluarga mereka, atau karena mereka tidak mampu lagi menyelesaikan pendidikan mereka. Banyak anak perempuan yang putus sekolah, tidak dapat menyelesaikan masa pendidikan sembilan tahun yang diwajibkan hukum di Indonesia karena mereka tidak mampu membayar uang sekolah dan biaya pendidikan lainnya. Pekerja rumah tangga anak yang ingin melanjutkan sekolah harus bergantung pada belas kasihan majikan mereka. Hukum di Indonesian telah gagal membatasi jam kerja anak-anak yang berusia di atas lima belas tahun, yang merupakan usia resmi untuk diperbolehkan bekerja, sehingga mereka dapat bersekolah. Dari 44 pekerja rumah tangga yang diwawancarai oleh Human Rights Watch, hanya satu yang diperbolehkan menghadiri sekolah formal oleh majikannya.

“Pemerintah Indonesia tidak dapat lagi menutup mata terhadap pelecehan-pelecehan ini; sebaliknya, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah nyata untuk melindungi anak-anak dari bentuk pekerjaan anak yang terburuk itu,” kata MuhammedAlly.

Human Rights Watch mendorong pemerintah Indonesia untuk:

• mengubah undang-undang ketenagakerjaan untuk memberikan hak-hak dasar pekerja bagi pekerja rumah tangga, seperti delapan jam kerja per hari, satu hari libur per minggu, waktu istirahat di sela kerja, cuti liburan, perjanjian kerja tertulis, upah minimum;

• memaksakan ketaatan terhadap usia 15 tahun sebagai usia minimum untuk semua sektor lapangan kerja, baik sektor informal (yang meliputi pekerja rumah tangga) maupun sektor formal;

• membatasi jam kerja anak berusia 15 tahun atau lebih, supaya mereka dapat menikmati hak mereka atas pendidikan dasar yang dijamin oleh undang-undang Indonesia, dan melanjutkan pendidikan mereka ke sekolah menengah, dan;

• bersama dengan International Labor Organization, menerapkan program terikat waktu untuk menghapuskan bentuk-bentuk terburuk pekerjaan rumah tangga anak.

Beberapa kesaksian dari pekerja-pekerja rumah tangga yang dimuat dalam laporan ini:

“Hal itu mulai terjadi tiga bulan setelah saya mulai bekerja. Suatu hari, sang suami sakit dan majikan perempuan pergi ke toko untuk membeli obat. Waktu itu jam 4:00 pagi dan saya masih tidur. Dia masuk ke dalam kamar. Saya dipaksa berhubungan seks dengannya. Dia mengancam saya. Dia bilang dia akan memukul saya kalau saya bercerita pada orang lain. Dia bilang bahwa dia akan mengusir saya dan ibu saya tidak akan mendapat uang. Dia mendatangi saya tiga kali seminggu setiap kali istrinya sedang tidak di rumah. Ini berlangsung selama tiga tahun.”— Dian, yang mulai bekerja sejak umur 13 tahun, Medan.

“Majikan saya menyewa seorang pembantu baru dan meminta saya mengajari dia bagaimana caranya membersihkan kamar mandi. Saya sedang membersihkan kamar mandi itu, tetapi saya tidak bisa menghilangkan kotoran yang menempel—kotoran itu tidak bisa lepas. Majikan saya marah sekali dan menyiramkan Fixal [cairan pembersih] di tangan dan lengan kanan saya; kulit saya yang saat itu [kering karena terlalu lama terkena air] menjadi meradang. Kulit saya mengelupas dan berdarah. Saya menutupinya dengan sapu tangan. Saya tidak diberi pengobatan. Tiga bulan kemudian baru kulit saya pulih.”— Putri, umur 16 tahun, Pamulang.

“Majikan saya datang dari belakang saya—dia menendang saya. Saya ditendang dua kali di punggung bawah. Waktu itu dia memakai sandal kayu. Dia membentak saya dan berkata bahwa saya pemalas dan tidak mau bekerja keras. Dia menunjukkan setumpuk pakaian dan berkata bahwa pakaian itu tidak dicuci dengan baik. Dia menampar pipi kiri saya. Saya kesakitan sekali dan tidak bisa berjalan. Punggung saya sakit sekali. Majikan saya sudah pernah menampar saya sebelumnya. Saya biasanya meminta maaf kalau saya berbuat salah, tapi tidak ada bedanya.”— Zubeida, 16 tahun, Jakarta.

“Sujatmi berkata bahwa saya harus mengurus anak-anaknya dan saya akan dibayar Rp.300.000 [U.S.$33,33] per bulan. Saya bekerja di rumah Sujatmi selama tiga bulan. Terkadang saya tidak mendapatkan makanan sama sekali. Saya bangun jam 4:30 pagi dan tidur jam 10:00 malam. Saya harus menyapu lantai, mencuci pakaian, dan mengurus anak. Sujatmi selalu berteriak, “Kamu itu orang miskin. Kamu harus tahu posisimu, kamu di sini ini untuk bekerja.” Saya tidak diperbolehkan keluar rumah. Saya belum pernah bertemu keluarga saya sejak saya pergi meninggalkan rumah. Saya juga tidak mendapat gaji sama sekali. Sujatmi selalu berkata, “Uangmu Rp.300.000 [U.S.$33,33] saya simpankan, dan saya akan mengantarkan kamu pulang . . . untuk berkunjung ke keluargamu.” Dia cuma berbohong. Dia tidak pernah membawa saya pulang. Dia memukul saya kalau sedang marah. Tiga kali dia memukul saya. Pernah satu kali dia menampar wajah saya dan kemudian menendang saya di atas pinggang kanan. Rasanya sakit sekali dan bengkak. Saya tidak pergi ke dokter. Dia hanya tertawa waktu saya katakan bahwa saya ingin berobat ke dokter.”— Asma, 15 tahun, Medan.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country