(New York) Rencana pemerintah Indonesia untuk mendaftar dan memindahkan lebih dari 100,000 penduduk Aceh yang terlantar akibat tsunami ke tempat penampungan semi-permanen telah mengancam hak-hak penduduk untuk kembali kerumah mereka masing-masing, demikian kata organisasi Human Rights Watch dan Human Rights First. Pemerintah Indonesia perlu memastikan akan menghormati penuh hak-hak asasi penduduk terlantar didalam menjalankan program penampungan apapun di propinsi.
Pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa selekas-lekasnya pada tanggal 15 Februari telah dapat mulai memindahkan hampir seperempat dari sejumlah 400,000 penduduk terlantar akibat tsunami di Aceh ke tempat-tempat penampungan semi-permanen model-barak.
Human Rights Watch dan Human Rights First mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tempat-tempat penampungan yang baru dapat disalahgunakan oleh pihak militer sebagai salah satu jalan untuk mengontrol populasi penduduk demi kepentingan pihak militer, kecuali jika ada jaminan terjaganya hak-hak asasi manusia. Selama bertahun-tahun dari kebrutalan konflik senjata dibagian baratlaut propinsi Sumatra, pihak militer Indonesia tercatat telah menempatkan penduduk Aceh yang terlantar akibat konflik senjata di penampungan-penampungan yang dijaga ketat, dimana kadangkala kebebasan gerak-gerik penduduk dibatasi tanpa dasar dan telah terjadi pelanggaran yang serius atas hak-hak asasi manusia mereka.
Menilai buruknya catatan pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh pihak militer di Aceh, peranan besar militer dalam memindahkan ribuan penduduk Aceh dari tempat-tempat penampungan dadakan ke lokasi barak-barak, serta keterlibatannya dalam pengelolaan tempat penampungan, dan pembagian bantuan didalam barak-barak, dapat menyebabkan bermacam-macam ketakutan dikalangan para penduduk yang terlantar tersebut. Hal ini dapat menghambat para pengungsi untuk membuat pilihan bebas dan layak didalam memilih tempat penampungan, termasuk pilihan untuk kembali ke daerah asal mereka. Keterlibatan Brigade Mobil (Brimob) dapat menimbulkan ketakutan-ketakutan yang serupa melihat sejarah penganiayaan-penganiayaan yang mereka lakukan selama di Aceh.
“Dalam konteks perang di Aceh, kehadiran pihak militer ditempat-tempat penampungan adalah bentuk intimidasi dan control yang memaksa,” kata Neil Hicks, Direktur Program International dari Human Rights First.
“Walaupun untuk beberapa saat sesudah bencana pihak militer telah memainkan beberapa peran yang baik pada fase keadaan darurat selepas tsunami, keterlibatan mereka didalam mengurusi penampungan harus diperkecil, dan seharusnya hanya kelompok-kelompok sipil saja yang menjalankan tempat-tempat pengungsian.”
Pada hari Minggu, 30 Januari 2005, pemerintah Indonesia memulai proses pendaftaran bagi penduduk terlantar akibat tsunami untuk dikirim ketempat penampungan. Kelihatannya pendaftaran ini bermaksud untuk mengumpulkan data mengenai populasi terlantar – yang juga dirujuk sebagai internally displaced persons (atau IDP) – dimana sebagian data akan digunakan dalam mengidentifikasikan orang-orang terlantar (displaced people = DP) untuk ditampung di tempat-tempat naungan selama dua tahun.
Sebagaimana yang direncanakan militer Indonesia dalam “Rencana Besar dalam Penanggulangan Bencana Alam dan Pengawasan Orang-orang Terlantar di Aceh,” armada militer akan dilibatkan dalam meneliti “jumlah dan lokasi IDP, perencanaan/persiapan tempat penampungan .. (dan) pemindahan orang-orang terlantar dari satu tempat penampungan ke tempat penampungan lain yang telah selesai dibangun.
Sedikitnya sepertiga dari jumlah orang-orang yang terlantar akibat tsunami di Aceh sekarang tinggal didalam lokasi penampungan sementara, sementara banyak lainnya tetap tinggal di gedung-gedung milik umum seperti sekolah-sekolah dan mesjid-mesjid, atau tinggal bersama sanak-keluarga mereka. Pemerintah Indonesia menjanjikan uang santunan (jatah hidup) bulanan untuk mendukung kehidupan orang-orang terlantar selama tinggal bersama sanak-keluarganya. Namun aparat pemerintah belum mengeluarkan komitmen yang jelas untuk mendukung mereka yang telah memutuskan untuk segera kembali pulang ke tempat asalnya.
Human Rights Watch dan Human Rights First meminta pemerintah Indonesia untuk terus mencari berbagai bentuk penyelesaian yang layak bagi penduduk Aceh yang mengungsi.
“Dalam ketergesaannya menyelesaikan masalah tempat penampungan, pemerintah gagal memberikan informasi kepada penduduk yang terlantar tentang beberapa pilihan lainnya buat mereka,” demikian kata Brad Adams, Direktur Human Rights Watch di Asia. “Masyarakat ini telah kehilangan begitu banyak akibat tsunami, tapi bagaimanapun mereka masih mempunyai hak untuk mempertimbangkan bagaimana dan dimana mereka akan tinggal dikemudian hari.”
Menurut Prinsip-prinsip pentunjuk tentang IDP milik PBB orang-orang terlantar hanya dapat dikirim ke penampungan jika mereka bersedia secara penuh dan diinformasikan secara layak. Prinsip-prinsip petunjuk ini mengatur secara khusus tentang orang-orang yang dipaksa atau terpaksa harus melarikan diri sebagai akibat “bencana alam atau bencana buatan manusia.”
Human Rights Watch dan Human Rights First menyatakan kekhawatirannya bahwa pemerintah Indonesia melakukan pendaftaran IDP tanpa memberikan mereka informasi yang cukup atau menawarkan pilihan-pilihan lainnya tentang dimana dan bagaimana mereka akan ditempatkan. Sementara beberapa penduduk IDP yang saat ini tinggal dalam tenda-tenda yang berjubel di penampungan dadakan-sementara, mungkin lebih cenderung memilih tinggal di barak-barak penampungan, namun didalam formulir pendaftaran oleh pemerintah alternatif pilihan lainnya dihilangkan. Pilihan-pilihan lain tersebut juga bisa termasuk pulang ke daerah asalnya, tinggal di lokasi sekarang, atau memulai hidup di bagian lain di propinsinya atau negaranya.
Banyak orang-orang terlantar masih belum menerima keterangan apapun mengenai rencana-rencana yang pasti perihal penempatan ulangnya. Untuk memastikan adanya pilihan bebas dan terpadu, pemerintah Indonesia harus memprakarsai kampanye informasi secara massal dan membentuk proses pendaftaran dan pengambilan-keputusan yang membolehkan para keluarga untuk memilih dari beragam macam pilihan. Keterlibatan masyarakat Internasional dalam mengawasi pendaftaran penduduk terlantar dapat membantu untuk memastikan adanya keterbukaan proses kerja dan perlindungan terhadap data.
“Pemerintah Indonesia perlu menjelaskan pihak siapa yang akan menyelenggarakan pendaftaran setiap individu, untuk apa informasi tersebut akan dipakai, dan siapa yang akan peroleh akses terhadap data selama dan setelah proses pendaftaran berlangsung,” kata Adams. “Kami sangat kawatir jika data dari informasi ini digunakan untuk menargetkan mereka yang dituduh mendukung kelompok separatis dan menolak untuk memberikan mereka bantuan kemanusiaan.”
Tempat-tempat penampungan ini terbuat dari bangunan-bangunan kayu sepanjang hampir 90 kaki (sekitar 27,5 meter), yang terbagi dalam dua baris kamar-kamar berukuran 12 X 15 foot (3,5 meter X 4,5 meter). Tempat penampungan ini dimaksud untuk memberikan naungan selama jangka waktu dua tahun, sementara rumah-rumah penduduk dipugar atau dibangun kembali. Karena sudah jadi pilihannya bahwa barak-barak sebagai suatu jalan keluar, Human Rights Watch dan Human Rights First mengimbau pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa bangunan dan pemeliharaan barak-barak tersebut sesuai dengan patokan (standar) minimum yang terdapat didalam Guiding Principles on Internal Displacement. Hal ini juga termasuk seleksi lokasi yang tepat, dekat dengan daerah penghidupan dan akses terhadap tempat-tempat pendidikan.