Dr.Juwono Sudarsono
Menteri Pendidikan danKebudayaan
Republik Indonesia
Yang terhormat Menteri Sudarsono:
Atas nama Komite Kebebasan Akademik Human Rights Watch, kami menulis surat terbuka ini untuk mendesak Anda membuat perlindungan kebebasan akademik sebagai prioritas tertinggi pada posisi baru Anda sebagai Menteri Pendidikan. Keberhasilan gerakan protes berbasis kampus dalam pengunduran paksa Presiden Soeharto dan dalam membuka pintu reformasi politik yang lebih komprehensif memberikan kesempatan bersejarah bagi Indonesia untuk membangun masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis. Kami terdorong oleh rangkuman inisiatif reformasi pemerintah. Akan tetapi kami percayabahwa di kampus,sebagaimana di manapun dalam masyarakat, dorongan untuk keterbukaan yang lebih besar dapat mencapai hasil abadi hanya jika hak untuk kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul, yang dituntut dengan tegas oleh mahasiswa, staf pengajar dan alumni dalam beberapa bulan terakhir, diberikan perlindungan hukum dan institusional secara penuh.
Mahasiswa dan staf pengajarmuncul di garis terdepangerakan reformasi dalam skala besar karena mereka mengungkapkan pikiran merekadengan terbuka,berani dan konsisten, mengabaikanberbagai hukum, peraturan, keputusandan praktik-praktikpelanggaran represif yang telah lama membatasi kebebasan politik dan intelektual di kampus-kampus Indonesia. Meskimomentumgerakan reformasi mengalami kendala yang sebagian besar tidak dapat diterapkan untuk saat itu, mereka terus hadir di suratkabar dan dalam prinsip, dan dengan demikian terus mengancam otonomi masa depan komunitas akademik Indonesia.
Kami menyerukan pemerintah Indonesia untuksegera merombak mekanisme pemerintahan terpusat dan kontrol militer atas kehidupan akademik yang telah berlangsung selama tigapuluhduatahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah berikut:
1.Mencabut sekumpulan keputusan menteriyang dikenal bersama sebagai “Normalisasi Kehidupan Kampus – BadanKoordinasiKemahasiswaan”(NKK/BKK), keputusan yang secara resmi melarang mahasiswa tidak terlibat dalam kegiatan politik di kampus dan membuat pengelola universitas bertanggung-jawab kepadapenguasa militer dan pemerintah pusat di Jakarta atas pelanggaran dari pembatasanitu.Pemerintah juga harus membuat komitmen publik guna menghormatihak-hak dasar mahasiswa, termasuk hak mereka mengadakan gerakan protes publik yang damai. Larangan yang seragam pada pelaksanaan hak dasar warga negara tidak diizinkan dimanapun larangan itu diterapkan.Pemerintah di masa lalu membenarkan larangan kegiatanpolitik mahasiswa dengan menyatakan bahwa kampus harus menjadi pusat studi dan penelitian, bukan kegiatan politik, dan dengan menegaskan bahwa mahasiswa dapatterlibat dalam kegiatan politik melalui partai politik di luar kampus. Pembenaran akademispemerintah ini berbahaya. Pengalaman berulang kali menunjukkan bahwa kebebasan akademik – dansemangatpenelitiankritisyang tercakup di dalamnya – tidakdapatberkembang bila anggota komunitas akademik harus takut penyensoran dan aksi balasanbermotif politik karena mengungkapkanpandangan mereka. Tuntutan publik untukreformasi politik yang dipicu gerakan protes berbasis kampussecara jelas menunjukkanbahwa akar dari krisis politik di Indonesia bukan aktivitas politik independen di dalam kampus, melainkan kurangnya ruang untuk kegiatan semacam itu di luar kampus.
2.Akhiri semua intervensi militer dalam persoalan kampus. Ini prasyarat bagi kebebasan akademik yang disepakati secara fundamental saat para pejabatmiliter terlibat dalam pengawasan atau berkonsultasidengan pengurus universitas pada kegiatan mahasiswa dan fakultas. A).Badan intelijen dan militer di dalam atau di luar hukum, termasuk Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional atau Bakorstanas, harus dilarang terlibat dalam pengumpulan informasi intelijen di kampus dan kekerasan terhadap mahasiswa dan staf pengajar atas komentarkritis mereka padaseminar atau dalam wawancara dengan pers. B).“Resimen Mahasiswa” berbasis kampus harus digunakan hanya sebagai kendaraan untuk perekrutan dan pelatihan personil militer di masa depan, dan tidak lagi sebagai jaringan intelijen di kampus oleh penguasa militer yang memantau kegiatan mahasiswa. C). Berbagai peraturan yangmenyediakan koordinasi upaya-upayaantara pengurus universitas yang bertugas dalam kemahasiswaan (Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III) dan perwira militer serta intelijen, juga tercantum dalam ketetapan NKK/BKK seperti dijelaskan di atas, harus segera dicabut. Tugas dan wewenang para pengurus universitas harus ditata-ulangsehingga memberikan ruang lingkup maksimal bagi otonomimahasiswa sesuai standar-standarakademik.
3.Mencabut apa yang disebut sebagai prosedur “Penelitian Khusus”atau“Litsus”yang mengharuskanpara guru baru dan pendatang serta berbagai “profesi strategis”lainberkewajibanmenjalani pemeriksaanlatarbelakang ideologi dan politik. Individu seharusnya tidak lagi dilarang mengajar atau menjadi subjek pembuangan karena afiliasi politik mereka di masa lalu atau masa kini atau dengan rekan-rekan atau anggota keluarga mereka. Kemampuan akademis harus menjadisatu-satunya kriteria dalamkeputusan perekrutan dan promosi jabatan.
4.Menghapuskan sesi indoktrinasi ideologis wajib di kampus yang dikenal “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau P4. Jika pendidikan kewarganegaraan masih dipertahankan, nilai-nilai akademis harus disesuaikan pemilihan materiyang akan dibahas dalam kurikulum.
5.Menghapuskan praktik di mana lembaga pemerintah seperti Departemen Penerangan dan Direktorat Sosial dan Politik Departemen Dalam Negeri menggunakan sistem “daftar-hitam” terhadap akademisi,penulis dan individu lain yang tidak disukaikarena sikap kritis mereka dengan menjegal mereka menghadiri seminarkampus atau menyatakan pandangannya di mediaumum.Peraturan yang mengharuskan penyelenggara seminar memberitahu terlebih dulukepada Departemen Dalam Negeri dan Mabes Polri di Jakarta saat pembicara asing diundang ke kampus juga harus dicabut.
6.Meniadakan prosedurizin penelitian yang memberikan hak veto efektif kepada pemerintahdan pejabat militer atas proposal penelitian lapangan akademikdan membuka peluang korupsi. Kemampuan akademik harus menjadi satu-satunyakriteria dalam mengevaluasi proposal penelitian.
7.Pemerintah harus menghentikan semua sensor media dan buku. Penyensoran oleh pemerintahlewat “lembaga kliring”yang dibentuk pada 1989 harus dibongkar dan Jaksa Agung harus dicopot kekuasaanmenyensorbuku dan mediacetak lain. Meskihukum Indonesiamemungkinkan anggota komunitas akademik mengajukan pengecualian untuk menggunakan media yang disensor itu, dalam prakteknya sensor pemerintah atas memoar, karya sastra dan berbagai teks ilmu sejarah dan sosial dari luar dan dalam negeri berdampakmenakutkan pada penelitian ilmiah.
Terima kasih atas perhatian Anda pada hal-hal penting ini.
Hormat kami,
Jonathan F. Fanton
Wakil Ketua Komite Kebebasan Akademik Human Rights Watch
Presiden New School for Social Research
Joseph H. Saunders
Program Kebebasan Akademik Human Rights Watch