Skip to main content

Thailand: Anggota Parlemen Dihukum karena ‘Menghina Monarki’

Batalkan Putusan dan Tegakkan Kebebasan Berekspresi

Anggota parlemen Rukchanok Srinork dari partai oposisi Thailand, yang merupakan kubu oposisi Thailand, tiba di pengadilan pidana untuk mendengarkan vonis atas tuduhan melanggar undang-undang lese majeste di Bangkok, Thailand, 13 Desember 2023. © 2023 Sopha Saelee/AP Photo

(Bangkok) – Pengadilan pidana Thailand menjatuhkan hukuman enam tahun penjara kepada seorang anggota parlemen dari partai oposisi berdasarkan undang-undang Thailand yang melarang “penghinaan terhadap kerajaan,” kata Human Rights Watch hari ini. Rukchanok “Ice” Srinork (29 tahun) asal Partai Move Forward, divonis bersalah pada 13 Desember 2023 karena menghina keluarga kerajaan atau lese majeste dan melanggar Undang-Undang Kejahatan Komputer.

Tuduhan terhadap Rukchanok melanggar haknya atas kebebasan berekspresi yang dilindungi hukum hak asasi manusia internasional. Salah satunya terkait dengan unggahan di platform media sosial X, sebelumnya bernama Twitter, yang membahas tentang perusahaan farmasi, yang punya kaitan dengan raja, yang terlibat dalam pembuatan vaksin Covid-19. Yang kedua adalah retweet komentar historis anti-monarki. Pihak berwenang Thailand seharusnya segera membatalkan vonis tersebut.

“Penuntutan terhadap anggota parlemen dari partai oposisi karena dua twit bukan hanya merupakan pelanggaran kebebasan berekspresi yang mengerikan, namun juga mengirimkan sebuah pesan mengerikan kepada anggota partai oposisi lainnya agar tetap diam,” kata Elaine Pearson, Direktur Asia di Human Rights Watch. “Pihak berwenang Thailand seharusnya membatalkan hukuman ini, dan berhenti menuntut kasus-kasus lain berdasarkan hukum lese majeste.”

Beberapa jam setelah dijatuhi hukuman, Rukchanok mengajukan jaminan, yang dikabulkan oleh pengadilan membayar uang jaminan sebesar 500.000 baht Thailand (sekitar Rp223 juta) dengan syarat bahwa ia tidak akan mengulangi perbuatannya selama mengajukan banding atas hukuman tersebut.

Sejak demonstrasi pro-demokrasi pada tahun 2020-2021, hak atas kebebasan berekspresi semakin mendapat serangan di Thailand. Puluhan ribu pengunjuk rasa turun ke jalanan Bangkok dan kota-kota lain untuk menyerukan reformasi politik, konstitusi baru, penghormatan terhadap kebebasan sipil dan politik, dan reformasi monarki. Pemerintahan Perdana Menteri saat itu, Jenderal Prayut Chan-ocha menindak dengan keras protes demokrasi dan menangkap ratusan orang dalam beberapa bulan.

Thai Lawyers for Human Rights (TLHR) melaporkan sejak awal tahun 2020, setidaknya 1.925 orang di negeri itu menghadapi tuntutan hukum karena menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi. Lebih dari 200 orang, termasuk banyak aktivis mahasiswa muda, telah didakwa berdasarkan pasal 112 hukum pidana (lese majeste), yang mengkriminalisasi kritik terhadap monarki dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara untuk setiap dakwaan.

Pemerintah Thailand juga banyak menggunakan Undang-Undang Kejahatan Komputer sebagai alat untuk menekan ujaran kritis secara daring, dan mengajukan tuntutan terhadap para pengkritik pemerintah atau monarki di seluruh negeri itu. Bahasa dalam undang-undang ini sangat umum dan luas, sehingga memungkinkan pihak berwenang untuk menuntut hampir segala bentuk ujaran daring yang tidak mereka sukai. Meskipun ada risiko jika mereka bersuara, banyak aktivis demokrasi yang secara terbuka tetap mendesak terwujudnya reformasi.

Hingga bulan September, pemerintah menahan setidaknya 23 aktivis dalam tahanan praperadilan karena berpartisipasi dalam berbagai pawai demokrasi atau melakukan tindakan yang dianggap pihak berwenang sebagai penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Beberapa dari mereka yang ditahan termasuk aktivis mahasiswa terkemuka, politisi, remaja, dan seorang lanjut usia yang dipenjara selama 43 tahun karena melanggar undang-undang pencemaran keluarga kerajaan.

Pemerintah Thailand baru-baru ini mengumumkan kampanye untuk mendapatkan kursi di Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk masa jabatan 2025-2027, dan berjanji untuk mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki catatan hak asasi manusia dalam negerinya.

“Kasus yang memperhadapkan pihak berwenang dengan Rukchanok bermotif politik dan seharusnya tidak pernah diajukan sejak semula,” kata Elaine. “Penggunaan sistem peradilan pidana secara gegabah untuk mengejar anggota parlemen dari partai oposisi seharusnya menjadi perhatian bagi negara-negara yang diminta untuk mempertimbangkan pencalonan Thailand sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country