Komunitas intelijen AS tampaknya melakukan lebih banyak hal untuk mendokumentasikan kekejaman Rusia dalam perang di Ukraina, daripada harus mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia dalam konflik manapun sepanjang sejarah. Sejumlah lembaga mata-mata Amerika Serikat telah mengumpulkan bukti bahwa komandan Rusia sengaja mengincar wilayah-wilayah sipil dan berencana untuk menculik ribuan anak-anak Ukraina, demikian menurut The New York Times. Pemerintahan Biden juga telah menjelaskan bahwa aset-aset intelijennya mengawasi setiap gerak-gerik Presiden Rusia Vladimir Putin. Dan Departemen Luar Negeri AS telah mendirikan Observatorium Konflik baru untuk Ukraina yang mengumpulkan banyak bukti sumber terbuka tentang pelanggaran Rusia.
Tapi Ukraina adalah pengecualian, bukan norma. Para pembuat kebijakan hampir tidak pernah memiliki informasi intelijen tentang pelanggaran HAM seluas atau sedalam ini. Alasannya sederhana, sejumlah analis intelijen mengatakan: tugas mereka bukan untuk mengumpulkan informasi intelijen tentang pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia tetapi untuk membantu para atasan mereka memahami ancaman dan peluang dalam kebijakan luar negeri. Hak asasi manusia bukanlah isu rutin atau prioritas pengumpulan informasi intelijen. Akibatnya, pengarahan rahasia tentang negara atau isu-isu tidak secara teratur mencakup informasi tentang pelanggaran HAM seperti tindakan keras terhadap perbedaan pendapat politik, usulan undang-undang yang mendiskriminasi kalangan minoritas, atau penyalahgunaan pasukan keamanan — meskipun informasi tersebut sangat penting untuk pembuatan kebijakan.
Benar, para pembuat kebijakan memiliki akses ke informasi sumber terbuka tentang pelanggaran hak asasi manusia, termasuk apa yang dapat ditemukan di Twitter, di portal berita, dan bahkan di Dark Web. Human Rights Watch, tempat saya bekerja, mendokumentasikan pelanggaran di lebih dari 100 negara —mulai dari kekejaman masa perang, kerja paksa, hingga diskriminasi terhadap perempuan. Penelitian kami secara teratur digunakan oleh pemerintah AS dan sering dikutip dalam laporan hak asasi manusia tahunan Departemen Luar Negeri. Tetapi ada batasan seberapa banyak Human Rights Watch dan organisasi serupa dapat mendokumentasikan dibandingkan dengan komunitas intelijen AS. Presiden A.S. Joe Biden dan penasihat keamanan nasionalnya seharusnya menjadikan hak asasi manusia sebagai prioritas intelijen dan berinvestasi dalam melatih komunitas intelijen yang memahami mengapa dan bagaimana hak asasi manusia penting untuk pembuatan kebijakan.
GAMBARAN UTUH
Para pejabat AS mengandalkan berbagai materi rahasia dari para analis intelijen karena materi tersebut dianggap ketat dan objektif. Kecuali jika informasi sumber terbuka dilengkapi dengan analisis rahasia yang rutin dan menyeluruh mengenai hak asasi manusia dari komunitas intelijen, maka para pembuat kebijakan akan mendapatkan gambaran mengenai dunia yang berpotensi untuk terdistorsi atau penuh dengan lubang.
Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah menunjukkan bagaimana mereka melihat dunia dan bagaimana mereka kemungkinan besar akan bersikap. Mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang pelanggaran-pelanggaran semacam itu seharusnya jadi bagian penting dari pekerjaan aparat intelijen. Para pembuat kebijakan yang sedang membuat kesepakatan perdagangan dengan negara tertentu, misalnya, mungkin merasa sangat berguna untuk mengetahui bahwa pemerintahnya memiliki undang-undang perburuhan yang diskriminatif dalam pekerjaan. Para pembuat kebijakan yang merencanakan konferensi iklim di luar negeri mungkin ingin mempertimbangkan pembatasan masyarakat sipil di negara tertentu sebelum menetap di sebuah lokasi. Pelanggaran hak asasi manusia yang tampaknya kecil juga bisa menjadi ujian, peringatan akan krisis lebih besar yang harus segera ditangani pada masa mendatang.
Kurangnya penekanan pada hak asasi manusia dalam pengumpulan data intelijen belum terbantu oleh pengabaian pemerintah AS yang lebih luas terhadap masalah ini dalam beberapa tahun terakhir. Presiden AS Donald Trump sengaja merusak hak asasi manusia dalam kebijakan luar negerinya — misalnya, dengan memberi sanksi kepada para pejabat Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan mengeluarkan kesehatan reproduksi dari resolusi internasional. Warisan Trump masih terbukti dalam proses pembuatan kebijakan saat ini, dengan kekurangan staf dan kurangnya pengetahuan institusional di seluruh lembaga yang menangani hak asasi manusia.
Biden datang ke Gedung Putih berjanji untuk menempatkan HAM kembali di pusat kebijakan luar negeri AS, tetapi dia belum cukup berinvestasi dalam membalikkan kerusakan yang terjadi pada selama masa pemerintahan Trump. Tahun lalu, pemerintahannya meniadakan jabatan senior yang telah dibuatnya di Dewan Keamanan Nasional yang didedikasikan untuk demokrasi dan HAM; dan Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Tenaga Kerja di Departemen Luar Negeri tidak memiliki asisten sekretaris yang dikonfirmasi sejak awal masa jabatan Biden. (Presiden belum mengajukan calon sejak pejuang demokrasi dan hak asasi yang sudah lama menjabat, Sarah Margon, mengundurkan diri pada Januari karena Senator James Risch asal Idaho, dari Partai Republik, menolak untuk melanjutkan pencalonannya ke tahap pemungutan suara.) Tanpa pemimpin yang bertugas meminta informasi intelijen khusus tentang hak asasi manusia, para pembuat kebijakan tidak mungkin menerima analisis real-time tentang isu-isu yang dapat membentuk pandangan mereka tentang dunia dan menginformasikan berbagai keputusan mereka.
Menugaskan komunitas intelijen untuk mengumpulkan informasi tentang HAM secara teratur tidak akan memperbaiki birokrasi yang lemah atau kurangnya kemauan politik untuk menjadikan HAM sebagai prioritas kebijakan yang lebih besar. Tetapi, hal itu akan memberikan gambaran yang lebih jelas kepada para pembuat kebijakan tentang negara-negara, rakyat mereka, dan bagaimana Amerika Serikat dapat terlibat dengan mereka — yang, tentu saja, merupakan tugas komunitas intelijen.
MEREKA-REKA
Delapan belas lembaga berbeda membentuk komunitas intelijen AS, dan semua bertanggung jawab untuk mengumpulkan data intelijen berdasarkan prioritas utama presiden, penasihat keamanan nasional, direktur intelijen nasional, dan para anggota kabinet lainnya. Kerangka Kerja Prioritas Intelijen Nasional, sebuah dokumen yang mengkomunikasikan prioritas presiden, memberi tahu komunitas intelijen di mana harus memfokuskan anggaran dan personelnya — uang, mata, dan telinganya. Para pakar senior ditugaskan pada setiap topik untuk memberi saran kepada direktur intelijen nasional tentang proses pengumpulan data intelijen pada topik tersebut.
Saat ini, pertimbangan hak asasi manusia masuk ke dalam buku pengarahan yang sampai ke tangan para pembuat kebijakan hanya secara ad hoc. Para pejabat senior dapat secara khusus meminta informasi intelijen untuk meneliti soal hak asasi manusia — misalnya, tentang protes yang berubah menjadi kekerasan atau penduduk yang melarikan diri dari konflik. Tetapi penyelidikan proaktif membutuhkan pemahaman tentang bagaimana HAM masuk ke dalam teka-teki kebijakan. Hal ini juga membutuhkan mengetahui apa yang tidak diketahui seseorang. Para pejabat senior tidak mungkin meminta informasi dari intelijen tentang isu-isu HAM terkait dengan peristiwa atau situasi yang tidak mereka ketahui.
Cara lain untuk memasukkan pertimbangan HAM masuk ke dalam perdebatan kebijakan adalah melalui kabel diplomatik dari semua kedutaan besar AS di seluruh dunia. Selain memberikan informasi bagi laporan tahunan Departemen Luar Negeri tentang HAM, kabel diplomatik ini juga memberikan gambaran pada para pembuat kebijakan soal apa yang terjadi di sebuah negara. Tetapi kabel diplomatik ini sering ditulis oleh para pejabat yang berbasis di ibu kota. Artinya bahwa mereka kadang-kadang melewatkan perkembangan HAM yang penting di tempat lain di negara-negara tersebut. Dan kabel semacam itu belum tentu diteruskan ke para pejabat di luar Departemen Luar Negeri, terutama jika hanya berisi perkembangan terbaru yang biasa tentang HAM.
Unit analisis internal Departemen Luar Negeri, Biro Intelijen dan Penelitian, memiliki analis yang meliputi isu-isu HAM dan menyampaikan informasi yang relevan kepada para pembuat kebijakan — misalnya, memberi tanda jika mitra militer AS semena-mena terhadap warga sipil. Tetapi biro tidak mengumpulkan data intelijennya sendiri. Sebaliknya, ia bergantung pada informasi yang datang dari sumber-sumber lain, yang tidak secara rutin mengumpulkan data intelijen tentang hak asasi manusia.
BATASAN MEDIA SOSIAL
Mereka yang menentang penugasan komunitas intelijen untuk mengumpulkan informasi tentang HAM berpendapat bahwa ledakan informasi sumber terbuka memberi bahan yang lebi dari cukup bagi para pembuat kebijakan untuk membuat keputusan. Dan benar, data sumber terbuka harus dimasukkan ke dalam pengarahan bagi para pembuat kebijakan. Tetapi bodoh untuk berpikir bahwa staf Departemen Pertahanan atau pejabat Departemen Luar Negeri akan menghabiskan berjam-jam menjelajahi Internet untuk mencari video pekerja anak di Eropa atau pengungsian masyarakat akibat penggunaan pestisida di Kolombia, terutama jika mereka tidak tahu bahwa hal-hal itu sedang terjadi. Begitu banyak informasi di luar sana, sehingga menemukan masalah hak asasi manusia hanya melalui intelijen sumber terbuka merupakan tugas yang berat.
Pembuat kebijakan juga membutuhkan akses ke informasi rahasia tentang pelanggaran HAM. Ada alasan mengapa Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat AS memiliki komite intelijen dan anggota Kongres memiliki izin keamanan. Mereka tidak bisa mendapatkan semua informasi yang mereka butuhkan dari Twitter dan Facebook. Menunjuk dengan tepat pelaku pembunuhan di luar hukum, misalnya, adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh analis intelijen namun tidak dapat dilakukan oleh para peneliti yang mengamati Facebook, dan analisis mereka memberi pengaruh terhadap para pembuat kebijakan yang tidak dimiliki media sosial.
Di mana dan kapan para pejabat AS telah mengerahkan kekuatan di balik pengumpulan data intelijen tentang hak asasi manusia, hasilnya sangat mengesankan. Pada tahun 2011, Presiden Barack Obama membentuk Dewan Pencegahan Kekejaman, sebuah komite antarlembaga yang bertanggung jawab untuk memberi pengarahan kepada para pejabat tinggi tentang risiko kekerasan massal di seluruh dunia. CIA dan Kantor Direktur Intelijen Nasional menjadi anggota dewan itu, dan mereka memberikan informasi reguler kepada para pejabat senior itu tentang risiko keamanan. Upaya itu terbukti berharga, membantu para pembuat kebijakan dalam mempersiapkan diri untuk krisis yang akan datang pada saat itu. Pada 2014 di Burundi, misalnya, komunitas intelijen menyoroti kemungkinan meletusnya kekerasan massal sebelum pemilu 2015. Akibatnya, pemerintah AS dapat menyesuaikan diplomasinya dan menempatkan sumber daya untuk mencegah pertumpahan darah.
Pemerintahan Obama melakukan upaya serupa untuk mengumpulkan informasi intelijen tentang kondisi demokrasi di seluruh dunia sebagai persiapan strategi dalam melawan otoritarianisme. Mereka bisa saja menyalin dan menempelkan (copy and paste) analisis dari Freedom House, sebuah organisasi nirlaba yang membuat peringkat negara demokrasi dan menerbitkan laporan tahunan tentang negara mana saja yang cenderung menuju otoritarianisme. Tetapi para pembuat kebijakan melihat nilai dalam penilaian internal yang dibuat analis intelijen AS, yang dapat menggabungkan informasi sumber terbuka dengan informasi intelijen rahasia guna memberikan gambaran lebih lengkap tentang kondisi demokrasi global.
Terakhir, Kebijakan Transfer Senjata Konvensional pemerintahan Biden, kerangka kerja yang baru saja direvisi untuk mengevaluasi potensi transfer senjata, mengacu pada penggunaan semua informasi yang tersedia tentang catatan hak asasi manusia mitra keamanan AS, termasuk apa yang dikumpulkan oleh badan-badan intelijen. Penjualan senjata dan bantuan keamanan AS mencapai lebih dari $ 47 miliar secara global selama tiga tahun terakhir, dan jumlah itu kemungkinan akan meningkat karena AS bersaing dengan Tiongkok untuk mendapatkan mitra. Mempersenjatai dunia pada dasarnya berisiko; melakukannya tanpa wawasan mendalam tentang situasi HAM di negara-negara yang menerima senjata adalah tindakan gegabah. Kebijakan baru ini merupakan langkah ke arah yang benar, tetapi penjualan senjata ini bukan satu-satunya bidang kebijakan yang akan mendapat manfaat dari intelijen HAM.
Biden seharusnya memasukkan arahan untuk mengumpulkan informasi intelijen semacam itu dalam Kerangka Prioritas Intelijen Nasional berikutnya. Dengan demikian, direktur intelijen nasional dapat menciptakan infrastruktur yang diperlukan untuk melatih personel dan mengarahkan mereka untuk mengumpulkan intelijen tentang HAM. Hal ini bisa berbentuk tim khusus di bawah direktur yang memikirkan di mana dan bagaimana badan intelijen dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam mengumpulkan informasi intelijen HAM. Atau bisa juga berupa pejabat tunggal yang berkoordinasi dengan analis yang ditunjuk di semua badan intelijen, seperti halnya penanggung jawab intelijen pemilu saat ini.
Para analis juga perlu secara rutin dilatih tentang cara mendeteksi pelanggaran HAM dan menandai semua. Organisasi seperti Human Rights Watch memiliki metodologi canggih untuk mengidentifikasi dan menganalisis pelanggaran semacam itu yang didokumentasikan dengan baik. Tentu saja, ada langkah penting terakhir: para pembuat kebijakan harus benar-benar menggunakan informasi intelijen tentang HAM ini untuk membuat keputusan yang lebih baik. Hal itu sulit untuk dipaksakan, tetapi itu pasti tidak akan terjadi jika informasi intelijen tersebut tidak pernah disampaikan sejak awal.