(New York) – Para atlet perempuan di cabang olahraga atletik akan diawasi secara ketat berdasarkan stereotipe gender di bawah seperangkat peraturan global baru, yang adalah peraturan terkini dari serangkaian kebijakan sewenang-wenang dan semakin ketat, kata Human Rights Watch hari ini.
World Athletics, badan internasional yang mengatur kompetisi atletik, menyetujui versi baru dari "Peraturan Kelayakan untuk Klasifikasi Perempuan" pada 23 Maret 2023. Aturan baru, yang mulai berlaku pada 31 Maret, mengharuskan perempuan dengan kadar testosteron lebih tinggi dari biasanya, dan diagnosis variasi tertentu dalam perbedaan karakteristik jenis kelamin dan kepekaan hormonal mereka untuk menjalani prosedur medis untuk mengurangi kadar testosteron mereka menjadi 2,5 nanomole per liter selama 24 bulan agar memenuhi syarat untuk berkompetisi sebagai perempuan dalam cabang atletik apa pun. Peraturan ini tidak didasarkan pada studi ilmiah baru dan tidak memiliki dasar objektif yang jelas.
"Sama seperti versi sebelumnya, peraturan baru ini akan memaksa perempuan untuk menjalani intervensi medis yang tidak perlu untuk mengubah kadar hormon mereka hanya karena testosteron alami mereka tidak lazim," kata Minky Worden, direktur urusan inisiatif global di Human Rights Watch. “Pengawasan, stigmatisasi, dan stereotipe merupakan hal yang melekat dalam peraturan pengujian ini.”
Pengetatan kebijakan “DSD” World Athletics—mengacu pada istilah medis “Differences of Sex Development atau Perbedaan Perkembangan Jenis Kelamin” —secara efektif memaksa intervensi yang secara medis tak diperlukan dan seringkali membahayakan atlet yang sehat sebagai syarat untuk bertanding, kata Human Rights Watch. Kebijakan ni juga memperluas sistem pengawasan terhadap tubuh semua atlet perempuan.
Penelitian Human Rights Watch menemukan perulangan dari beberapa peraturan serupa pada masa lalu yang sama-sama mendorong pengujian jenis kelamin, diskriminasi, pengawasan, dan intervensi medis paksa yang kejam pada para atlet perempuan, yang mengakibatkan cedera fisik dan psikologis serta kesulitan ekonomi. Perempuan yang dianggap "terlalu maskulin" bisa menjadi sasaran kecurigaan dan gosip dan mungkin terpaksa mengakhiri karir atletik mereka sebelum waktunya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa standar feminitas yang diterapkan seringkali sangat bias secara rasial.
Tidak ada konsensus ilmiah bahwa perempuan dengan testosteron lebih tinggi secara alami memiliki keunggulan performa dalam semua cabang olahraga. Kondisi fisik atlet tentu saja memiliki berbagai sifat yang menguntungkan, beberapa di antaranya terkait dengan karakteristik jenis kelamin, tetapi tentu saja tidak semuanya. Meskipun ada berbagai kadar testosteron di antara pria, tidak pernah ada peraturan serupa untuk para atlet pria.
Versi sebelumnya dari peraturan World Athletics memungkinkan dan memperbolehkan tingkat testosteron lebih tinggi dan hanya diterapkan pada ajang tertentu. Aturan itu saat ini sedang digugat di Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) oleh pelari Afrika Selatan Caster Semenya.
Pada konferensi pers yang mengumumkan peraturan baru tersebut, Presiden World Athletics, Sebastian Coe, mengatakan kepada wartawan bahwa di bawah peraturan baru tersebut, 13 perempuan yang saat ini berencana untuk bertanding di ajang kejuaraan dunia pada Agustus 2023 bakal tidak memenuhi syarat.
Fakta bahwa World Athletics dapat menunjuk 13 atlet yang saat ini berkompetisi dan mengetahui bahwa mereka tidak memenuhi syarat menunjukkan bahwa pengawasan terhadap tubuh atlet perempuan sudah terjadi di bawah peraturan saat ini, yang kemungkinan akan menjadi lebih buruk di bawah peraturan baru, kata Human Rights Watch.
Sepanjang sejarah pengujian jenis kelamin, regulator olahraga telah merugikan para atlet perempuan. Pada tahun 1985, Komite Olimpiade Internasional (IOC) mendiskualifikasi atlet lari gawang Spanyol, Maria José Martínez-Patiño, setelah petugas melakukan tes jenis kelamin menggunakan uji kromosom. Para pejabat menganggapnya "secara kromosom sebagai laki-laki" dan melarangnya bertanding. Hasil tesnya bocor ke media.
Menyusul kontroversi itu, IOC mulai menguji apa yang disebut "perkembangan testis", atau gen SRY, dengan gagasan bahwa ini adalah kunci untuk menyaring atlet "ambigu secara seksual" dari kategori perempuan. Dengan menggunakan tes ini, petugas mengelompokkan beberapa perempuan sebagai laki-laki, termasuk delapan perempuan di ajang Olimpiade Atlanta 1996.
Kemudian, setelah mendapat tekanan dari organisasi medis dan Komisi Atlet Olimpiade, IOC memutuskan untuk menghentikan tes jenis kelamin wajib bagi semua perempuan, meskipun beberapa federasi melanjutkan praktik tersebut berdasarkan kecurigaan—yaitu, menguji perempuan yang mereka anggap tidak akan lulus tes jenis kelamin.
Pengujian atas dasar kecurigaan ini melekat dalam peraturan World Athletics, yang telah menghasilkan profil dan penargetan perempuan menurut stereotipe gender. Perempuan yang dianggap terlalu “maskulin” dapat menjadi sasaran kecurigaan, stigma, dan kampanye bisikan dengan efek merugikan.
Stereotipe yang mendasari penargetan ini sangat rasialis. Di bawah lapisan legitimasi ilmiah, beberapa perempuan terjerat dalam tes dan pemeriksaan yang kejam dan tidak perlu secara medis. Sebagian besar korbannya adalah perempuan kulit berwarna dari Afrika dan Asia Selatan. Hasilnya bisa berupa pengucilan dari atletik kompetitif dan penghapusan mata pencarian mereka.
Komisaris tinggi PBB untuk urusan hak asasi manusia saat itu, Michelle Bachelet, memperingatkan dalam laporannya tahun 2020: “Sejarah menunjukkan bahwa, karena peraturan ini diterapkan di ratusan negara, di antara banyak pelaku, mustahil untuk menjamin privasi.”
Pada 2021, IOC mengesahkan sebuah “Kerangka Kerja tentang Keadilan, Inklusi, dan Nondiskriminasi Berdasarkan Identitas Gender dan Variasi Jenis Kelamin” setelah berproses selama bertahun-tahun, termasuk konsultasi dengan sejumlah atlet yang terkena dampak. Kerangka kerja tersebut meminta masing-masing federasi olahraga untuk menjalani proses guna menentukan kebijakan mereka sendiri dan memberikan panduan hak asasi manusia yang kuat.
IOC mengatakan bahwa “Kriteria untuk menentukan keunggulan kompetitif yang tidak proporsional bisa jadi, dalam sejumlah kesempatan, memerlukan pengujian kinerja atlet dan kapasitas fisik si atlet. Namun, tidak ada atlet yang boleh menjadi sasaran pengujian, atau ditujukan untuk menentukan jenis kelamin, identitas gender, dan/atau variasi jenis kelamin mereka.”
“Peraturan Atletik Dunia ini sama saja dengan mengatur tubuh perempuan berdasarkan definisi feminitas yang sewenang-wenang,” kata Worden. “Apa yang kita miliki sekarang adalah sistem yang membuat tubuh semua atlet perempuan diawasi. Mengidentifikasi atlet yang relevan melalui observasi dan kecurigaan menciptakan situasi di mana tubuh atlet perempuan diawasi, sementara pengawasan seperti itu tidak diterapkan pada laki-laki.”