Skip to main content
Rohingya refugees walk through rice fields after crossing the border from Myanmar into Palang Khali, Bangladesh, October 19, 2017.

Mahkamah Internasional Tolak Keberatan Myanmar atas Kasus Genosida

Keputusan tersebut Mempercepat Keadilan bagi Rohingya

Pengungsi Rohingya berjalan melalui sawah setelah melintasi perbatasan dari Burma ke Palang Khali, dekat Cox's Bazar, Bangladesh, 19 Oktober 2017.  © 2017 Jorge Silva/Reuters

(Den Haag) – Mahkamah Internasional (ICJ) pada 22 Juli 2022 menolak keberatan awal Myanmar atas kasus yang diajukan oleh Gambia berdasarkan Konvensi Genosida internasional, kata Human Rights Watch hari ini. Kasus ini menyangkut dugaan genosida yang dilakukan Myanmar terhadap populasi etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, dengan fokus pada operasi militer yang diluncurkan pada Oktober 2016 dan Agustus 2017.

Gambia mengajukan kasus ini ke ICJ pada November 2019 dengan tuduhan bahwa militer Myanmar melakukan tindakan genosida seperti “membunuh, menyebabkan cedera fisik dan mental yang serius, menimbulkan kondisi yang diperkirakan akan membawa kehancuran fisik, memaksakan sejumlah tindakan untuk mencegah kelahiran, dan pemindahan paksa. … dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok Rohingya secara keseluruhan atau sebagian.”

“Keputusan ICJ membuka pintu untuk membuat perhitungan yang terlambat terhadap kampanye pembunuhan militer Myanmar terhadap populasi Rohingya,” kata Elaine Pearson, penjabat direktur Asia di Human Rights Watch. “Dengan meminta pertanggungjawaban militer atas kekejamannya terhadap Rohingya, Mahkamah Internasional dapat memberikan dorongan untuk tindakan internasional yang lebih besar menuju keadilan bagi semua korban kejahatan pasukan keamanan Myanmar.”

Pada Februari 2022, ICJ mendengarkan empat keberatan Myanmar yang menantang yurisdiksi mahkamah dan kedudukan hukum Gambia untuk mengajukan kasus tersebut, demikian juga tanggapan Gambia.

Dalam putusannya, mahkamah dengan suara bulat menolak tiga keberatan Myanmar, dan menolak satu dengan suara 15 banding 1. Dalam pertimbangannya, mahkamah menegaskan bahwa “pemohon dalam kasus ini adalah Gambia”; bahwa “perselisihan yang berkaitan dengan interpretasi, penerapan, dan pemenuhan Konvensi Genosida ada di antara para pihak pada saat pengajuan aplikasi oleh Gambia”; dan bahwa “Gambia, sebagai pihak penandatangan Konvensi Genosida, telah bersikap untuk meminta tanggung jawab Myanmar atas dugaan pelanggaran kewajibannya berdasarkan Pasal I, III, IV dan V Konvensi.”

Menanggapi argumen Myanmar bahwa Gambia tidak memiliki kedudukan untuk membawa kasus ini karena kurangnya ikatan dengan Myanmar maupun Rohingya, mahkamah menyimpulkan, “Semua negara penandatangan Konvensi Genosida memiliki kepentingan bersama untuk memastikan pencegahan, penindakan, dan penghukuman genosida, dengan berkomitmen untuk memenuhi kewajiban yang terkandung dalam Konvensi.”

Dengan menolak keberatan awal, ICJ memberi lampu hijau agar kasus tersebut berlanjut ke tahap pemeriksaan tuduhan genosida Gambia terhadap Myanmar. Myanmar sekarang harus menyerahkan tanggapannya atas argumen utama Gambia yang diajukan pada Oktober 2020 yang merinci kasusnya.

Kasus ICJ bukanlah kasus pidana terhadap tersangka individu, melainkan sebuah langkah hukum yang diambil oleh Gambia melawan Myanmar yang menuduh Myanmar bertanggung jawab atas genosida sebagai sebuah negara.

Pada Desember 2019, mahkamah melakukan pemeriksaan atas permintaan Gambia agar diambil sejumlah langkah darurat guna melindungi orang Rohingya yang masih berada di Myanmar dari genosida, yang diadopsi dengan suara bulat pada Januari 2020. Langkah-langkah darurat itu mengharuskan Myanmar untuk mencegah semua tindakan genosida terhadap orang Rohingya, untuk memastikan pasukan keamanan tidak melakukan tindakan genosida, dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi bukti yang terkait dengan kasus tersebut. Mahkamah juga memerintahkan Myanmar untuk melaporkan kepatuhannya terhadap penerapan langkah darurat tersebut setiap enam bulan.

A Rohingya man fixes his roof

A Decade of Detention for Rohingya in Myanmar’s Rakhine State

View Feature

Myanmar secara hukum terikat untuk mematuhi perintah tersebut. Namun, Human Rights Watch dan beberapa kelompok lain terus mendokumentasikan pelanggaran berat terhadap 600.000 orang Rohingya yang masih ada di Myanmar, bertentangan dengan langkah-langkah darurat itu. Pembatasan ketat yang diterapkan terhadap etnis Rohingya oleh otoritas Myanmar sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti penganiayaan, apartheid, dan perampasan kebebasan yang kejam. Sejak kudeta Februari 2021, junta militer telah menempatkan pembatasan gerakan yang lebih besar dan hukuman yang lebih keras pada Rohingya karena berusaha meninggalkan Negara Bagian Rakhine.

Penasihat Negara Aung San Suu Kyi memimpin delegasi Myanmar pada sidang pembukaan ICJ pada Desember 2019. Sejak penangkapannya selama kudeta 2021, Suu Kyi telah dijatuhi hukuman 11 tahun penjara, sembari menghadapi ancaman hukuman total lebih dari 180 tahun atas berbagai tuduhan palsu.

Dalam pemeriksaan keberatan awal, Myanmar diwakili oleh Menteri Kerja Sama Internasional junta Ko Ko Hlaing dan Jaksa Agung Thida Oo, yang telah diakui karena peran kedua orang tersebut dalam rezim militer oleh Amerika Serikat dan pemerintah lain. Sejak kudeta 2021, junta telah memberlakukan tindakan keras yang brutal secara nasional, menewaskan lebih dari 2.000 orang dan secara sewenang-wenang menangkap lebih dari 14.000 lainnya.

Meski oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan lainnya menyuarakan keprihatinan mengenai perwakilan junta Myanmar pada sidang Februari, partisipasi junta tidak berpengaruh pada pengakuannya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai perwakilan sah Myanmar, kata Human Rights Watch.

Keputusan mahkamah atas keberatan awal Myanmar seharusnya mendorong Inggris, Belanda, Kanada, dan pemerintah sejumlah negara terkait lainnya untuk mendukung kasus Gambia melalui intervensi formal untuk mendukung analisis hukum pada aspek-aspek tertentu dari Konvensi Genosida yang berkaitan dengan Rohingya, kata Human Rights Watch.

Berdasarkan pasal 41(2) Statuta ICJ, perintah mahkamah untuk mengambil langkah darurat secara otomatis dikirim ke Dewan Keamanan PBB. Menjelang peringatan tahun kelima kekejaman militer terhadap etnis Rohingya, anggota Dewan Keamanan seharusnya mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kegagalan mengamankan keadilan dan keamanan bagi orang Rohingya. Anggota dewan semestinya bekerja untuk mengadopsi sebuah resolusi yang memberikan mandat kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas situasi di Myanmar dan memutuskan pasokan senjata dan pendapatan junta, bahkan jika resolusi tersebut akan diveto oleh Rusia atau Tiongkok.

Karena pasukan bersenjata Myanmar terus melakukan kekejaman terhadap warga sipil dan etnis minoritas, ICJ tetap menjadi salah satu dari sedikit jalan yang tersedia untuk meminta pertanggungjawaban militer. Kelompok etnis dan pembela hak asasi manusia telah bersatu di Myanmar guna mendorong pembentukan pemerintahan demokratis, upaya yang diperkuat dengan pencarian keadilan di ICJ.

“Pemerintah dari negara-negara yang peduli dan berusaha menjadi pemimpin untuk akuntabilitas di Myanmar seharusnya secara resmi turun tangan dalam kasus Konvensi Genosida,” kata Elaine Pearson. “Kasus ini memberikan kesempatan penting untuk meneliti sejumlah kebijakan dan praktik kejam militer Myanmar yang telah mempertahankan kekuasaannya selama puluhan tahun.”

 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Tags