(Jakarta) - Kerusakan yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, Indonesia, terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menegakkan kebijakan dan hukumnya sendiri, menurut Human Rights Watch dalam laporan yang dirilis hari ini. Pemerintah hingga kini gagal meningkatkan perlindungan terhadap warga dan tanah mereka, dan sejumlah undang-undang yang baru diterbitkan justru semakin memfasilitasi terjadinya berbagai pelanggaran.
Laporan setebal 78 halaman berjudul “Mengapa Tanah Kami?”: Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Membahayakan Lahan Gambut dan Penghidupan Masyarakat” ini meneliti perilaku PT Sintang Raya, anak perusahaan Deasang Corporation Korea Selatan, di tiga desa yang terimbas pasang surut di Provinsi Kalimantan Barat. Human Rights Watch menemukan bahwa perusahaan telah mendirikan dan memperluas perkebunannya di lahan gambut, yang seharusnya berperan membantu mengatasi perubahan iklim, tanpa konsultasi bermakna dengan penduduk setempat dan tanpa kompensasi yang memadai atas hilangnya lahan pertanian atau mata pencarian warga. Polisi melecehkan, mengintimidasi, dan menuntut warga desa yang melawan atau memprotes.
“Pihak berwenang di Indonesia mengizinkan perusahaan kelapa sawit menghancurkan lahan gambut dan menyebabkan kerusakan lingkungan lainnya tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal atau konsekuensi lingkungan,” kata Juliana Nnoko-Mewanu, peneliti senior tentang perempuan dan tanah di Human Rights Watch sekaligus penulis laporan ini. “Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa perusahaan mematuhi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan hak warga atas tanah serta peraturan lingkungan dan menjalankan peran mereka untuk mengatasi krisis iklim.”
Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 90 warga dari tiga komunitas lokal, Seruat Dua, Mengkaleng Jambu, dan Olak-Olak. PT Sintang Raya dan perusahaan induknya, PT Miwon Indonesia Tbk dan Daesang Corporation, tidak menanggapi pertanyaan Human Rights Watch tentang operasional perusahaan, dan pejabat pemerintah Indonesia juga tidak menanggapi temuan awal penelitian ini.
Pemerintah Indonesia gagal melindungi hak-hak masyarakat yang tinggal di atau dekat lahan gambut yang dikonversi menjadi pertanian komersial. Hal ini juga memungkinkan penghancuran besar-besaran salah satu penyerap karbon terpenting dunia, kata Human Rights Watch. Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 80 miliar ton karbon, sekitar lima persen dari cadangan karbon yang tersimpan di tanah secara global. Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, telah membabat sebagian besar hutan alamnya, termasuk hutan lahan gambut, untuk membuka jalan bagi perkebunan kelapa sawit, yang secara signifikan meningkatkan emisi gas rumah kaca Indonesia.
Pemerintah Indonesia seharusnya memperkuat hak atas tanah masyarakat pedesaan. Pemerintah juga perlu menyelidiki dan memberi sanksi kepada perusahaan kelapa sawit yang tidak mematuhi undang-undang tentang pengadaan tanah dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, yang pada akhirnya merugikan sumber penghidupan masyarakat lokal, kata Human Rights Watch.
Human Rights Watch menemukan bahwa hilangnya akses ke lahan pertanian dan hutan yang berubah menjadi perkebunan PT Sintang Raya telah mengakibatkan kehilangan sumber penghidupan warga dan meningkatkan kemiskinan dan kerentanan pangan, yang pada akhirnya dapat mengancam kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.
“Lebih dari 100 orang, termasuk warga dari desa lain, mendatangi [PT Sintang Raya] untuk melaporkan keluhan mereka,” kata seorang perempuan berusia 48 tahun di Seruat Dua. “[PT Sintang Raya] tidak pernah berbicara dengan saya, tetapi mereka merampas tanah saya. Kami sudah menyampaikan pengaduan. Kami bahkan mendatangi pejabat kabupaten di Kubu Raya. Kami melapor ke Polres Kubu Raya, tapi mereka tetap tidak melakukan apa-apa.”
Penduduk dari tiga desa yang diteliti merupakan orang-orang yang pindah ke daerah itu sejak tahun 1970-an di bawah program transmigrasi pemerintah, yang memindahkan keluarga dari Jawa dan pulau-pulau padat lainnya ke daerah-daerah yang kurang padat penduduknya. Sebagian besar transmigran memiliki sertifikat atas tanah mereka, tetapi sebagian besar petani lainnya tidak.
Penduduk desa menggugat keabsahan izin yang dikeluarkan pemerintah untuk PT Sintang Raya. Mereka yang diwawancarai mengatakan bahwa baik pemerintah maupun perusahaan tidak berkonsultasi atau memberikan kompensasi yang memadai atas hilangnya lahan pertanian dan mata pencarian mereka sebelum pemerintah mengeluarkan izin konsesi pada 2008 atau selama perluasan perkebunan. Pada 2012, pengadilan negeri mewajibkan PT Sintang Raya untuk mengembalikan tanah kepada sejumlah warga, putusan yang kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2014. Namun, perusahaan belum mengembalikan tanah tersebut dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum melaksanakan putusan tersebut.
Aparat pemerintah telah melecehkan dan mengancam anggota masyarakat yang berdemonstrasi menentang perluasan perkebunan PT Sintang Raya. Aparat juga melakukan penangkapan massal, penahanan, dan penuntutan sewenang-wenang. Di seluruh Indonesia, media dan organisasi nonpemerintah telah melaporkan bahwa peraturan dan undang-undang yang awalnya diberlakukan untuk memberi sanksi kepada perusahaan dan membatasi deforestasi telah digunakan untuk menuntut masyarakat adat dan tokoh masyarakat yang memprotes atau menolak hilangnya tanah mereka.
Anggota masyarakat melaporkan peningkatan hama dan intrusi air laut sejak perkebunan mulai beroperasi yang menurut mereka berdampak negatif terhadap pertanian dan hasil panen mereka. Beberapa orang mengatakan bahwa sejak perkebunan PT Sintang Raya didirikan di dekat desa mereka, kumbang tanduk semakin sering menyerang pohon kelapa, tanaman utama warga, menyebabkan sejumlah warga kehilangan hampir semua hasil tanamnya. Penduduk juga mengatakan bahwa peningkatan populasi hewan pengerat telah menghancurkan sawah mereka. Studi ilmiah menunjukkan telah terjadi peningkatan populasi hama-hama ini di sekitar perkebunan kelapa sawit berskala besar.
Selain itu, warga melaporkan intrusi air laut semakin sering terjadi pada musim kemarau, yang menyebabkan peningkatan kadar garam atau salinitas tanah dan mengakibatkan hasil panen yang buruk. Hal ini juga sejalan dengan hasil studi di sekitar wilayah pesisir dengan lahan gambut yang terdegradasi.
Berbagai undang-undang dan peraturan yang ada di Indonesia melindungi hak milik dan tanah masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di desa yang diteliti. Selain itu, ada pula undang-undang yang mengatur izin yang diperlukan untuk memperoleh tanah dan mendirikan perkebunan. Meski demikian, mekanisme peraturan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan keberlanjutan kelapa sawit masih lemah dan tidak menjamin akuntabilitas. Pada 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden tentang reforma agraria, dan menginstruksikan pembentukan Tim Reforma Agraria Nasional, untuk mempercepat program yang memberi masyarakat lokal kendali yang lebih besar atas tanah mereka. Akan tetapi, tindakan ini bertentangan dengan sejumlah undang-undang baru yang bertujuan mendorong investasi di Indonesia dan membatasi keterlibatan publik dan pengawasan pemerintah.
“Badan Pertanahan Nasional bersama dengan Tim Reforma Agraria Nasional yang dibentuk Presiden seharusnya menyelidiki dan memberikan sanksi kepada perusahaan kelapa sawit yang gagal berkonsultasi dan memberi kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak,” kata Nnoko-Mewanu. “Negara merugikan hak-hak masyarakat tersebut, dan memperburuk perubahan iklim. Semua orang menderita jika pemerintah gagal menjalankan pengawasan.”
Kutipan wawancara:
Abdul Majid, pria berusia 42 tahun dari Seruat Dua, mengatakan:
Ketika polisi dan pejabat mengadakan pertemuan dengan perusahaan pada tahun 2010, saya hadir. Perusahaan (perwakilan PT Sintang Raya) mengatakan, “Kami memiliki semua izin yang diperlukan dari pemerintah, Anda bisa mendatangkan 10 pengacara untuk menuntut, dan kami siap menghadapinya.” Tidak ada diskusi tentang kompensasi atau apa pun.
Ahmad, aktivis berusia 39 tahun di Mengkaleng Jambu, mengatakan:
Selama sosialisasi (secara harfiah, “sosialisasi” - istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses penyebaran informasi tentang suatu hal kepada masyarakat dan mencari penerimaan atas suatu keputusan atau kebijakan), mereka (PT Sintang Raya) mengatakan ‘ini adalah HGU. HGU berarti kepemilikan.’ Bagaimana bisa pemerintah memberikan kepemilikan tanpa berbicara dengan kami?
Bethari, perempuan berusia 44 tahun dan ibu dari bayi berusia 8 bulan di Olak Olak, mengatakan:
Suami saya bekerja di perkebunan. Saya dan putra-putra kami harus membantunya untuk mencapai target. Saya bekerja sambil menggendong bayi, sebab dia tidak mungkin ditinggal di rumah.
Aulia, seorang ibu berumur 58 tahun dengan enam anak dan lima cucu di Olak Olak, mengatakan:
Kami menanam padi di tanah yang tersisa. Panen kali ini kami dapat tujuh karung, tidak cukup. Perusahaan tidak mau mempekerjakan suami saya (karena dia sudah tua). Yang kami punya cuma gabah yang kami tanam sendiri. Tidak cukup untuk makan anak-cucu tiga kali sehari—sarapan, makan siang, dan makan malam. Kalau beras habis, saya menggali singkong. Saya harus kreatif untuk memberi makan seisi rumah.
Wahyu Setiawan, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalimantan Barat, mengatakan:
Meskipun sudah ada putusan Mahkamah Agung, PT Sintang Raya tetap beroperasi, seolah-olah putusan itu cuma sehelai kertas tak bermakna. Bupati [Kubu Raya] saat itu, Rusman Ali, bicara di depan umum bahwa perusahaan harus menjalankan putusan pengadilan, tetapi perusahaan tetap tidak melakukannya. Kami sudah melakukan segala yang kami bisa secara hukum.