Pembunuhan sembilan pekerja perkebunan tebu pada Sabtu malam - termasuk tiga perempuan dan dua anak remaja - memunculkan kembali perjuangan petani Filipina atas tanah yang sudah berjalan lama. Polisi melaporkan bahwa sejumlah penyerang tak dikenal menembaki para pekerja dan membakar tenda darurat mereka di sebuah perkebunan tebu di Sagay di Pulau Negros di Filipina tengah.
Para korban adalah anggota kelompok buruh berhaluan kiri, Federasi Pekerja Perkebunan Tebu Nasional, yang bergabung dengan hari pertama bungkalan, istilah yang mengacu pada sebuah protes “pendudukan tanah” di bagian lahan perkebunan.
Polisi secara tidak langsung mengatakan kemungkinan tersangka di balik pembunuhan itu. Mereka termasuk pemilik perkebunan yang menentang pendudukan tanah, dan pemberontak Tentara Rakyat Baru berhaluan komunis yang mencoba mendiskreditkan pemerintah.
Kekerasan agraria sering terjadi di Filipina, yang masih bergumul dengan orang-orang yang tidak memiliki tanah yang dituding sebagai penyebab kemiskinan besar-besaran yang pada gilirannya telah memicu pemberontakan komunis selama setengah abad. Di Negros, terjadi pembunuhan politik yang tak terhitung jumlahnya yang dikaitkan dengan para pemilik tanah dan Tentara Rakyat Baru, serta pasukan keamanan pemerintah. Di antara insiden paling terkenal adalah “Pembantaian Escalante” tahun 1985, di mana 20 petani dan aktivis tewas ketika polisi dan militer menembaki sebuah aksi unjuk rasa.
Pasukan keamanan di Negros juga telah mengincar para petani, pekerja perkebunan tebu, dan aktivis buruh dalam kampanye kontra-pemberontakan yang dilancarkan pemerintah, sering menuduh mereka sebagai anggota Tentara Rakyat Baru. Brigadir Jenderal Eliezer Losañes, komandan Tentara Filipina di Negros, mengatakan pada bulan April bahwa pendudukan petani di lahan perkebunan di Negros “dimaksudkan untuk memberikan logistik” bagi Tentara Rakyat Baru. Kelompok pekerja kebun tebu dengan cepat mengecam tuduhan itu, membantah bahwa tindakan mereka untuk menduduki paksa dan mengolah tanah adalah untuk kelangsungan hidup mereka.
Perhatian internasional yang besar telah benar-benar terfokus pada pembunuhan tanpa proses pengadilan terhadap para tersangka narkoba dalam “perang melawan narkoba” Presiden Rodrigo Duterte. Namun, Pembantaian Sagay menyoroti fakta bahwa pelanggaran hak asasi manusia serius di Filipina tidak terbatas pada “perang narkoba.” Pemerintahan Duterte harus melakukan investigasi segera, secara kredibel, pun tidak memihak dan secara tepat menuntut mereka yang bertanggung jawab - dan bertindak untuk mencegah kekerasan agraria lebih lanjut.