(New York) – Para pemangku kepentingan dan pemegang saham di Google dan Facebook seharusnya mendesak kedua perusahaan ini untuk tidak menukar hak-hak pengguna untuk mendapatkan akses ke pasar Tiongkok, kata Human Rights Watch. Menurut laporan di The Intercept, Google mengembangkan aplikasi mesin pencari untuk mematuhi persyaratan sensor ekspansif Tiongkok. Sebelumnya Facebook telah mengembangkan versi layanan yang disensor untuk Tiongkok, meski tak pernah meluncurkannya.
Kongres Amerika Serikat, Parlemen Eropa, dan legislatif lain di seluruh dunia seharusnya menyatakan keprihatinan terhadap perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang bekerja sama dengan sensor dan pengawasan di Tiongkok, kata Human Rights Watch.
“Perusahaan teknologi seharusnya menolak sensor Tiongkok – bukan malah terlibat di dalamnya,” kata Cynthia Wong, peneliti senior internet di Human Rights Watch. “Para pemegang saham di Google dan Facebook yang peduli dengan hak asasi manusia seharusnya mendesak perusahaan-perusahaan ini agar tidak berkompromi dengan mereka untuk mendapatkan akses ke pasar Tiongkok.”
Dokumen-dokumen bocor yang diperiksa oleh The Intercept menggambarkan rencana perusahaan untuk meluncurkan versi yang disensor dari mesin pencarinya sebagai aplikasi Android. Menurut laporan media, Google telah mendemonstrasikan aplikasi tersebut di hadapan para pejabat Tiongkok dan sedang menunggu persetujuan untuk peluncuran. Proyek ini, yang diberi kode Dragonfly, telah dikembangkan sejak musim semi 2017. Menurut laporan The Intercept, pekerjaan di proyek dipercepat setelah pertemuan antara CEO Google Sundar Pichai dan pejabat pemerintah Tiongkok pada Desember 2017, dan aplikasi ini dapat diluncurkan dalam enam hingga sembilan bulan ke depan. Perusahaan itu juga sedang dalam pembicaraan dengan mitra potensial Tiongkok untuk menyediakan layanan cloud lain di dalam negeri, menurut laporan media terpisah.
Human Rights Watch menghubungi Google untuk menanyakan bagaimana perusahaan itu berniat untuk melindungi Hak Asasi Manusia saat mereka berusaha memperluas produk dan layanannya di Tiongkok. HRW belum menerima tanggapan atas peertanyaan itu saat artikel ini dipublikasikan.
Rezim sensor ekstensif Tiongkok membatasi berbagai ekspresi damai yang dianggap oleh para pejabat sensitif secara politik, termasuk kritik terhadap kebijakan dan informasi pemerintah yang tidak sesuai dengan narasi resmi. Sistem penyaringan Internet, Great Firewall Tiongkok, memblokir situs web di tingkat nasional, termasuk layanan Google dan Facebook. Undang-undang yang dirancang secara luas ini juga mensyaratkan layanan media sosial, mesin pencari, dan situs web yang menjadi host konten pengguna untuk menyensor informasi yang sensitif secara politik atas nama pemerintah. Pemerintah mengeluarkan perintah sensor yang secara samar dan mengharapkan perusahaan secara proaktif membatasi akses ke kategori informasi yang lebih luas.
“Google menarik diri dari Tiongkok tahun 2010 karena suasana hak asasi manusia dan kemananan sibernya terlalu berbahaya,” kata Wong. “Sejak itu, Tiongkok memperbarui tindakan kerasnya terhadap hak asasi manusia dan memberlakukan undang-undang baru yang mengharuskan perusahaan teknologi wajib disensor dan diawasi, tetapi perusahaan itu belum menjelaskan bagaimana saat ini kondisinya akan lebih baik.”
Menurut laporan media, aplikasi pencarian khusus Google Tiongkok akan mematuhi rezim sensor dengan secara otomatis mengidentifikasi dan menyaring situs yang diblokir oleh Great Firewall. Situs yang difilter tidak akan ditampilkan sebagai jawaban atas pencarian, dan perusahaan itu akan memberi tahu pengguna bahwa beberapa hasil pencarian mungkin telah dihapus. Contoh situs web yang akan disensor termasuk British Broadcasting Corporation (BBC) dan Wikipedia, menurut dokumen yang dilihat oleh The Intercept.
Google bukan satu-satunya perusahaan internet asal Amerika Serikat yang mempertimbangkan apakah akan melakukan sensor dalam mencari akses ke pasar Tiongkok. Pada bulan November 2016, New York Times melaporkan bahwa Facebook sedang mengembangkan perangkat lunak “untuk menekan unggahan agar tidak muncul di feed berita orang-orang di wilayah geografis tertentu,” secara khusus “untuk membantu Facebook masuk ke Tiongkok.” Laporan itu menyatakan bahwa Facebook akan “menawarkan perangkat lunak untuk memungkinkan pihak ketiga — dalam hal ini, kemungkinan besar perusahaan mitra Tiongkok — untuk memantau berbagai cerita dan topik populer,” dan akan mengizinkan pihak ketiga itu untuk “memiliki kontrol penuh untuk memutuskan apakah unggahan tersebut akan muncul di feed pengguna atau tidak.”
Masuknya Facebook secara resmi ke Tiongkok akan meningkatkan banyak masalah hak asasi manusia seperti yang dihadapi oleh Google. Facebook memegang informasi sangat sensitif tentang jaringan dan afiliasi para penggunanya, di mana perusahaan itu mungkin akan diminta pemerintah untuk mengungkapkannya. Aktivis daring kemungkinan menghadapi risiko karena kebijakan Facebook mengharuskan pengguna untuk menggunakan “identitas asli” - nama yang biasa digunakan oleh keluarga dan teman, yang mungkin juga ditemukan pada jenis dokumen identitas tertentu. Organisasi dan pejabat hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch dan pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kebebasan berekspresi David Kaye, telah sejak lama mengkritik kebijakan ini, karena dapat meredam ekspresi daring dan juga kemungkinan akan ditegakkan secara tidak proporsional terhadap mereka yang menggunakan nama samaran karena mereka berisiko mengalami pembalasan.
Pada 2016, Human Rights Watch menulis surat untuk Facebook untuk menanyakan apakah sistem yang diusulkan akan dilanjutkan dan bagaimana cara Facebook menghindari keterlibatan dengan sensor negara Tiongkok, dan juga bertanya bagaimana Facebook akan melindungi penggunanya dari pengawasan dan pembalasan kasar atas aktivitas daring mereka jika Facebook meluncurkan versi aplikasi mereka yang sesuai dengan hukum Tiongkok. Dalam sebuah tanggapan tertulis, Facebook menyatakan bahwa “saat ini kami belum menyimpulkan bagaimana atau kapan akses ke Facebook dapat dipulihkan untuk masyarakat di Tiongkok, mengakui peran utama pemerintah Tiongkok dalam membuat keputusan ini” dan bahwa “karena kami terus mempelajari pasar ini, kami akan mempertimbangkan hal-hal penting yang Anda angkat.”
Pada Mei 2017, Facebook secara diam-diam meluncurkan aplikasi berbagi foto, Colorful Balloons, di Tiongkok menggunakan perusahaan lokal tanpa koneksi publik ke Facebook. Perusahaan itu juga gagal membuka sebuah pusat inovasi dan anak perusahaan di Tiongkok.
Pada Agustus 2018, Human Rights Watch kembali menghubungi Facebook menanyakan hal-hal terbaru terkait pendekatan yang dilakukan perusahaan itu ke Tiongkok. Tapi HRW belum menerima tanggapan pada saat publikasi ini diterbitkan.
Dari 2006 hingga 2010, Google menjalankan versi mesin pencarian yang disensor di Tiongkok. Pada Maret 2010, perusahaan itu mengumumkan akan menghentikan penyensoran hasil pencarian di Tiongkok, mengutip kekhawatiran tentang sensor daring, pengintaian dan serangan siber yang diarahkan pada akun Gmail para aktivis hak asasi manusia Tiongkok. Akibatnya, mesin pencari tetap tidak dapat diakses oleh pengguna di Tiongkok daratan, bersama dengan layanan Google lainnya.
Sejak 2010, pemerintah Tiongkok hanya memperluas dan mengintensifkan tindakan kerasnya terhadap Hak Asasi Manusia, terutama setelah Presiden Xi Jinping berkuasa pada tahun 2013. Dalam beberapa tahun terakhir, pihak berwenang telah memperketat persyaratan sensor, membatasi akses ke alat penangkal sensor, dan memperkuat pengawasan ideologis atas semua media. Pada 2017, pemerintah menutup puluhan akun media sosial, menyerukan kepada perusahaan-perusahaan internet untuk “secara aktif mempromosikan nilai-nilai inti sosialis,” dan mengesahkan sejumlah peraturan yang lebih ketat untuk meminta pendaftar menggunakan nama asli, membuat orang-orang tidak bisa melindungi identitas mereka jika terlibat dalam ujaran yang tidak disukai. Pihak berwenang telah menempatkan lebih banyak pembela hak asasi manusia, termasuk orang asing, muncul di persidangan, menjadikan mereka sasaran penyiksaan, dan sering menahan mereka dalam isolasi selama berbulan-bulan.
Pemerintah secara signifikan memperluas upaya pengintaian massal dengan menggunakan data besar dan teknologi berbasis kecerdasan buatan di seluruh Tiongkok, khususnya di wilayah minoritas Xinjiang. Pemerintah juga baru-baru ini memberlakukan undang-undang yang menerapkan persyaratan baru pada perusahaan untuk memfasilitasi pengawasan daring. Undang-Undang Cybersecurity atau Keamanan Siber mewajibkan perusahaan teknologi tertentu untuk menahan, menyimpan, dan mengungkapkan data pengguna di Tiongkok serta memantau dan melaporkan “insiden keamanan jaringan.” Aturan baru lainnya mengharuskan penyedia aplikasi untuk menyimpan catatan pengguna selama 60 hari untuk mengurangi penyebaran “informasi ilegal.” Berdasarkan hukum Tiongkok, “insiden keamanan” dan “informasi ilegal” sering didefinisikan secara luas untuk mencakup kritik damai terhadap pemerintah.
Serangan intensif pemerintah Tiongkok terhadap hak asasi manusia membuat pemilihan waktu dan terutama langkah Google dan Facebook sangat mengganggu dan mengecewakan, kata Human Rights Watch.
Google sudah menyediakan dua aplikasi di Tiongkok, Google Translate dan aplikasi manajemen file Files Go, meski toko aplikasinya sendiri, Google Play, tetap diblokir. Namun, menawarkan layanan melalui aplikasi ponsel menimbulkan kekhawatiran hak asasi manusia tambahan yang tidak hadir ketika Google pertama kali masuk ke Tiongkok tahun 2006, ketika ponsel pintar belum ada di mana-mana. Aplikasi seluler dapat mengakses data sangat sensitif yang disimpan di ponsel, termasuk daftar kontak, file, pesan, foto, pengenal perangkat, dan informasi lokasi, dan juga dapat menyalakan kamera dan mikrofon ponsel jika diberi izin oleh pengguna. Seringkali pengguna menyetujui akses tanpa sepenuhnya memahami data pribadi yang akan tersedia. Data pribadi seperti itu akan lebih rentan terhadap pemantauan dan pengumpulan oleh penyedia layanan seluler dan badan keamanan publik di Tiongkok.
“Perusahaan-perusahaan teknologi asal Amerika Serikat tidak boleh masuk ke Tiongkok sampai mereka dapat menunjukkan bahwa mereka tidak akan menjadi penyambung tangan penindasan,” kata Wong. “Di lingkungan hak asasi manusia saat ini, hal itu sepertinya tidak mungkin.”