Saya pertama kali menggunakan hak suara saya dalam satu dari enam referendum yang pernah Irlandia gelar perihal aborsi. Hari ini, saya menyaksikan, sambil menangis bahagia: dua-pertiga rakyat Irlandia menuntut agar larangan konstitusional atas aborsi yang telah berumur 35 tahun dicabut dan agar parlemen diizinkan meregulasi akses aborsi di kemudian hari. Jumlah pemilih yang hadir memecahkan rekor. Saya bangga sekaligus lega.
Pada 1983, saya terlampau muda untuk memilih dalam referendum pertama yang membuat Irlandia mengubah konstitusinya, menambahkan pasal-pasal yang kemudian dikenal sebagai amendemen kedelapan, melarang aborsi dalam hampir semua situasi, sekalipun aborsi sebenarnya sudah dikriminalisasi di Irlandia selama lebih dari seabad.
Di bawah larangan konstitusional, sementara pertimbangan yang adil (due regard) diberikan kepada hak hidup para perempuan hamil, kewajiban negara adalah "mempertahankan" hak hidup bayi “dalam kandungan”. Sewaktu saya kuliah, para aktivis anti-pilihan berhasil menggunakan larangan itu untuk meng-ilegal-kan pemberian informasi oleh para dokter serta klinik-klinik keluarga berencana kepada pasien tentang layanan aborsi di luar Irlandia. Serikat-serikat pelajar diadili karena menyebarkan informasi serupa. Majalah-majalah dari luar negeri hadir di Irlandia dengan halaman-halaman kosong, yang semestinya memuat iklan yang dilengkapi informasi layanan aborsi di Inggris.
Selama ini, pelarangan aborsi telah menciptakan: perintah kepada seorang korban pemerkosaan berusia 14 tahun agar ia membatalkan kunjungannya ke Inggris dengan tujuan aborsi, dan yang lebih baru pada 2014, pemaksaan operasi caesar kepada seorang pencari suaka muda, yang sekalipun diperkosa tak diizinkan bepergian untuk aborsi. Sejumlah perempuan, misalnya Savita Halappanavar, meninggal dunia karena amendemen kedelapan. Pengadilan HAM Eropa dan Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan dalam banyak kesempatan bahwa pelarangan aborsi itu melanggar hak perempuan, dan berkali-kali menyuruh Irlandia merubah aturan hukumnya.
Saya menggunakan hak suara dalam tiga referendum yang membuahkan kemenangan-kemenangan kecil tetapi penting: hak perempuan hamil yang bertendensi untuk bunuh diri mendapatkan aborsi penyelamat nyawa; hak memperoleh informasi tentang layanan aborsi di luar negeri; dan hak bepergian untuk mengakses layanan-layanan tersebut. Dalam rentang 1980 dan 2016, lebih dari 170 ribu perempuan dan gadis Irlandia "bepergian" (kata itu punya makna eufimistik) untuk menjalani aborsi: para korban pemerkosaan, perempuan yang didiagnosis mengalami anomali kandungan yang membahayakan nyawa, perempuan yang perlu mengakhiri kehamilannya agar dapat memperoleh perawatan yang menyelamatkan nyawa, dan mereka yang, karena bermacam-macam alasan pribadi, tak dapat meneruskan kehamilan mereka. Agaknya, semua orang di Irlandia punya anggota keluarga atau teman yang telah "bepergian" – sering kali sendirian dan diam-diam. Saya begitu.
Setelah bertahun-tahun para perempuan menempuh jalan sunyi dan penuh penderitaan ini, mendengarkan orang-orang berani yang maju untuk memecah kebisuan, menyaksikan komitmen para pejuang pro-choice yang tak kenal lelah, dan melihat ribuan orang yang pulang ke Irlandia untuk memilih (#hometovote), referendum kemarin sungguh mengharukan. Sifat empatik pilihan 'ya' memberi saya harapan bahwa ini akan jadi penanda permulaan era baru yang jujur dan menghormati hak-hak perempuan dan anak perempuan di Irlandia.
Para aktivis di Polandia, Malta, Italia, dan kawasan-kawasan lain seperti Amerika Latin--di mana perempuan dan anak perempuan terus berjuang untuk mendapatkan akses kepada aborsi--menyaksikan Irlandia bersuara. Saya harap hari ini menjadi tanda bahwa perjuangan kaum perempuan untuk mengamankan atau melindungi hak-hak reproduktif mendasar mereka, di mana pun mereka berada, telah jadi berkali-kali lipat lebih kuat.