Saat merayakan R.A. Kartini, seorang feminis asal Jawa (1879-1904) yang menulis tentang hak-hak perempuan pada awal abad ke-20, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengundang sejumlah aktivis hak-hak perempuan di Jakarta untuk membicarakan tentang pemberdayaan perempuan.
Naila Rizqi Zakiah dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menggunakan kesempatan dalam pertemuan tersebut untuk meminta Jokowi menghapus pernikahan anak di Indonesia. Zakiah merujuk pada sebuah diskusi yang viral di media sosial tentang seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang ingin menikahi pacarnya yang berusia 15 tahun.
Jokowi memberitahu Zakiah bahwa ia berkomitmen mengakhiri pernikahan anak. Dia mengatakan bahwa dua kementerian, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat ini sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menggantikan Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974.
Ini merupakan pernyataan berani di sebuah negara yang menganggap pernikahan anak sebagai hal lumrah. Menurut Badan PBB untuk Perlindungan Anak (UNICEF), sebanyak 14 persen anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun, dan satu persen menikah sebelum mencapai usia 15. UU Perkawinan No.1 tahun 1974 memperbolehkan perempuan dan laki-laki menikah pada usia 21 tahun, tetapi anak perempuan diizinkan menikah pada usia 16 dan anak laki-laki pada usia 19 tahun atas izin orang tua. Pihak orang tua juga dapat meminta pengadilan agama atau petugas pemerintahan setempat untuk menikahkan anak perempuan pada usia lebih muda, tanpa memberlakukan batas usia dalam kasus-kasus ini. UNICEF melaporkan bahwa lebih dari 90 persen dari permohonan pengecualian tersebut disetujui.
Di seluruh dunia, telah banyak bukti bahwa pernikahan anak mengakibatkan kesengsaraan. Anak-anak yang menikah seringkali putus sekolah, kian menenggelamkan mereka dalam kemiskinan. Perempuan yang menikah di bawah umur juga seringkali hamil di usia yang sangat muda, dengan jarak antar kehamilan yang sangat dekat. Hal ini menimbulkan berbagai risiko kesehatan yang serius, termasuk kematian bagi ibu dan bayinya. Selain itu, para perempuan ini juga cenderung berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Pada Juni 2015, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan untuk mengakhiri pernikahan anak dengan hasil suara 8-banding-1. Putusan tersebut merupakan sebuah kemunduran, namun juga dijadikan oleh banyak pihak sebagai energi untuk terus mendorong diakhirinya pernikahan anak. Yohana Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, seringkali secara terbuka berbicara menentang putusan mahkamah tersebut. Dia juga mendesak DPR untuk mengamendemen Undang-Undang Perkawinan.
Indonesia adalah salah satu pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Konvensi Hak-Hak Anak, serta berkewajiban untuk mengakhiri pernikahan anak. Jokowi harus menepati komitmennya ini tanpa ditunda-tunda.