(New York) - Pemerintah Afghanistan dan militer Amerika Serikat seharusnya menyelidiki laporan yang menyatakan pasukan khusus Afghanistan mengeksekusi secara kilat sejumlah warga sipil di Provinsi Kandahar selama operasi militer dari tanggal 31 Januari sampai 1 Februari 2018, sebut Human Rights Watch hari ini. Petugas keamanan yang dianggap bertanggung jawab atas perlakuan kejam ini, termasuk gagal melaporkan adanya kemungkinan kejahatan perang, sepantasnya dimintai pertanggungjawaban.
Pada 31 Januari malam hari, Unit Pasukan Khusus Direktorat Keamanan Nasional (NDS) yang didukung oleh serangan udara Amerika Serikat mulai menggempur gerilyawan Taliban di Wilayah Band-e Timor di Distrik Maiwand dan Wilayah Reg di Distrik Panjwai, menurut sejumlah laporan resmi. Kepada Human Rights Watch Penduduk setempat mengatakan melalui telepon, bahwa pasukan keamanan Afghanistan menembaki sejumlah laki-laki yang coba melarikan diri, menewaskan sekitar 50 pejuang Taliban dan setidaknya 20 warga sipil. Seorang saksi mata mengatakan, “Ketika beberapa pesawat terbang datang, kami melarikan diri. Tapi saat orang-orang melarikan diri, pasukan tersebut menembaki mereka.”Personel keamanan diduga menyeret beberapa orang dari rumah mereka dan kemudian menembaki mereka. NDS melaporkan bahwa 38 orang ditahan setelah operasi tersebut.
“Dugaan kematian setidaknya 20 warga sipil di Band-e Timor menuntut dilakukannya penyelidikan yang cepat dan tidak memihak," kata Patricia Gossman, peneliti senior soal Afghanistan. "Dengan mengeksekusi secara kilat orang-orang yang berada dalam tahanan, terlepas apakah mereka pejuang atau warga sipil, adalah sebuah kejahatan perang. Hanya investigasi menyeluruh yang bisa mengungkap siapa saja yang bertanggung jawab.”
Pembunuhan tanpa melalui proses hukum di Band-e Timor, sebuah benteng Taliban sejak lama yang berada di jalur transportasi strategis, bisa jadi merupakan pembalasan atas kekejaman Taliban baru-baru ini. Dalam sebuah pidato kepada rakyatnya, Presiden Ashraf Ghani mengatakan sebagai tanggapan atas dua serangan baru-baru ini terhadap warga sipil di Kabul, pemerintah telah memulai operasi dengan target pangkalan Taliban. “Rakyat Afghanistan akan membalaskan dendam mereka, bahkan jika harus berlangsung selama 100 tahun,” ujarnya. Ia memuji operasi di Band-e Timor “lebih sukses” dan berkata, “itu akan terus berlanjut.”
Kepala operasi tersebut adalah Kepala Polisi Maiwand, Letnan Kolonel Sultan Mohammad, yang melapor kepada Jenderal Abdul Raziq, kepala polisi Kandahar, yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis.
Dalam laporan bulan Februari 2018, Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Afghanistan (UNAMA) mencatat bahwa operasi pencarian yang melibatkan Pasukan Khusus NDS, baik secara sendiri maupun bersama-sama pasukan internasional, menyebabkan 61 warga sipil tewas dan 25 orang cedera pada tahun 2017. Dalam satu kasus, Pasukan Khusus NDS di Nangarhar memasuki sebuah rumah dan menembak mati tujuh lelaki warga sipil. Dalam operasi lain di Kandahar, Pasukan Khusus NDS menembak mati tiga laki-laki dan seorang anak laki-laki serta melukai tujuh lainnya di sebuah rumah. UNAMA menemukan bahwa “pasukan ini tampaknya beroperasi di luar rantai komando reguler NDS, yang mengakibatkan kurangnya pengawasan dan pertanggungjawaban mengingat tidak adanya yurisdiksi yang jelas untuk menyelidiki tuduhan terhadap mereka.”
Berdasarkan hukum perang yang berlaku untuk konflik bersenjata di Afghanistan, pemerintah berkewajiban untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang oleh pasukannya dan secara tepat menuntut mereka yang bertanggung jawab. Pasukan asing yang ikut dalam operasi juga perlu menggelar penyelidikan. Para komandan yang mengetahui atau seharusnya mengetahui kejahatan para bawahan mereka namun tidak melakukan tindakan apapun, dapat dianggap bertanggung jawab secara pidana sebagai bentuk tanggung jawab komando.
“Kegagalan pemerintah Afghanistan untuk menyelidiki kemungkinan kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pasukan keamanan Kandahar membuat penyelidikan atas insiden ini semakin penting,” kata Gossman. “Pembunuhan tanpa proses hukum tidak akan berhenti kecuali ada pertanggungjawaban nyata.”